Sabtu, 15 Desember 2012

HENTZA

0

Aku bersamanya ketika dia mesti bolak balik dari satu daerah ke daerah lain hanya untuk seutas benang perasaan yang dengan mudah terputus oleh derajat  “strata sosial”. Beras sama beras, setiap atau mungkin sebagian orang tua akan mencari yang sederajat dengan mereka. “Kita ini keluarga besar, harusnya kamu tahu itu Nak. Pilihlah perempuan yang baik – baik, yang tak mendatangkan siri’ diantara keluarga kita.”, selalu kata Ibunya.
Tapi mungkin tidak baginya. Karna, sahabatku semenjak SMP. Aku bersamanya ketika dia kelelahan sehabis pulang dari melaksanakan tanggung jawabnya sebagai laki-laki yang baik, sebagai guru, sebagai aktivis sebuah lembaga, dan teman yang baik dan bersetia, tapi mungkin tidak untuk  bebas. Kadang kala dia dengan tulus meluangkan waktu diantara beban-beban fisik dan psikisnya untuk sekadar mengajak aku berdiskusi, bercanda , atau menikmati segelas kopi di sore hari yang kering oleh kesedihan dan kelelahan yang teramat.
“Hidup itu keras Kar, tapi sekeras apapun hidup, dia akan tampak cantik dihadapan puisi-puisi,” kataku menghibur.
“Aku sama sekali tak puitis, apalagi mesti menulis puisi sepertimu. Kelak, kalau aku punya masalah, kamu sajalah yang menuliskannya,” kelakarnya sambil menyungging senyum. Selanjutnya, kami akan berdiskusi beberapa persoalan yang kadang hinggap tiba-tiba.
Aku masih ingat ketika dia pertama kali mengajak bertemu gadis malang itu. Gadis yang mesti menjadi lembaran teks yang lusuh dalam buku-bukunya. Dengan perasaan bangga yang terpancar dari sela-sela matanya, dia berkata “ Gadis itu yang mengantarku menjelajah bumi pikiran”. Dan kau selalu mengatakan itu sambil tersenyum simpul. Engkau kemudian merogoh saku celanamu dan kembali mengajakku menikmati mie pansit langgananmu yang sering engkau banggakan, dan tentu saja itu di dekat rumah kos Hentza, si gadis malang itu.
Aku tak habis pikir bila mesti mensistematisasi cintamu padanya. Engkau begitu aneh dengan kesetiaanmu yang menggila. Aku tak mengerti bagaimana engkau melihat eros yang begitu dangkal bagi beberapa manusia-manusia. Menjadi laki-laki ansar dalam menyelesaikan studinya. Engkau selalu memberi dan tak pernah menuntut. Bahkan terkadang, dengan beraninya engkau melanggar tabu tanggung jawab formalistik dari kewajibanmu sebagai seorang guru. Belakangan, aku tahu, kamu mengundurkan diri akibat seringnya kamu tidak masuk mengajar.
Terkadang, aku ingin selalu bersamamu tercelup, menyelam dan tenggelam dalam kobaran pahammu yang penuh letupan ide berhadapan dengan berbagai persoalan hidup yang parau. Termasuk pilihanmu untuk mengundurkan diri sebagai seorang pendidik. Tapi setiap kali aku tengah asyik berdiskusi, kau malah kembali sibuk dengan perempuan itu. Tiga sampai empat jam akan kau habiskan dibalik telfon. Pada tahapan itu aku bisa mengerti. Itu sudah semestinya bagi seorang yang mengatakan dirinya laki-laki. Bagaimana sebuah sikap komitmen mewujud dalam bingkai kesetiaan. Kalau tidak seperti itu, lebih baik dia jadi banci sajalah.
Perempuan adalah manifestasi dari keindahan Tuhan yang terpancar dari sikapnya yang kasih dan penyayang. Dia (perempuan) adalah penggambaran Jamal dalam teks-teks suci yang sering dikutip Murata dalam  salah satu bukunya. Sudah sepantasnyalah kita menyerahkan diri kita pada yang lebih tinggi (Tuhan) melalui manifestasi perempuan. Maka berbuat baiklah kalian kepada mereka, gumangku padanya.
Itu yang dia lakukan selama tiga tahun ini dalam kisahnya. Bayang abu-abu ketidak jelasan Orang Tua yang setiap anak di belahan bumi manapun sepakat untuk menjunjung mereka, memuliakan meraka, dan berbuat baik meskipun dengan bentuk kepatuhan yang buta. Mereka (orang tua) menjadi hakim tak resmi untuk menghukumi fitrah yang diberikan Tuhan pada diri dua manusia yang saling mencinta. Silsilah mulai dibentang, sejarah mulai bertutur, dan ketakutan yang tak rasional mulai diketengahkan di atas altar suci. Kau cukup mendengar dan patuh. Kalau tidak, silahkan angkat kaki dari daftar keluarga ini. Silahkan pergi  sebagai seorang pembangkan yang selalu kau bungkus dengan baju kebebasan yang tak mendasar.
Begitulah selalu petuah yang keluar dari mulut kedua orang tuamu. Petuah yang tak pernah kamu bisa patahkan dengan logika manapun. Petuah yang menjadi bilah pisau tajam mengiris hatimu. Mereka tak tahu kawan. Apa yang bisa kau dan aku perbuat?
Tapi engkau tak hirau akan realitas yang timpang itu. Bagimu hidup adalah rentetan kisah indah yang akan terus kita kenang. Dia tak perlu disesali apalagi ditangisi. Tapi menangis juga tak apa-apa jika itu bisa membasuh hatimu yang luka. Kita manusia hanya perlu terus bergerak dan menolak diam. Dan cinta itupun mengalir  ketika seluruh rangkaian gerak memilih berhenti oleh TuhanNya. Terus memberi kasih  tanpa harap cemas dengan Tsunami yang menghadang di persimpangan jalanmu. Dan  itu  jalan yang kau pilih. Jalan para pecinta dengan kemenangan – kemenagan kecil yang terkadang diratapi pada seperempat malam yang sepi. Kamu selalu tampak tak gentar.
“Bagaimana jalinan kasihmu dengan Hentza? Sudah diberikan jalan”? kataku pada sebuah sore di beranda rumahmu.
“Tidak sama sekali, orang tuaku masih bersikukuh tak merestui hubungan kami. Aku juga mulai khawatir. Dia sudah hampir wisuda, kamu tahu sendiri. Perempuan biasanya akan segera dinikahkan oleh orang tuanya jika sudah sarjana”.
“Aku kira, Batara punya skenario tersendiri atas cintamu. Kamu cukup berdo’a dan bersabar kawan”.
“Thanks”.
###
Kaki – kaki kecil waktu terus saja berlalu, tak hirau akan orang – orang yang membawa kisah yang kusut disana – sini. Dan waktu selalu saja menjadi moment pertama yang teringat dalam sejarah. Seperti pada waktu itu.
Kalau kita benar - benar mengamati hidup,  ada orang-orang yang diberi mandat oleh keterhubungan yang tak jelas oleh Tuhan, tepatnya mereka dengan senang hati mengambil peran antagonis dengan menentang  dan melawan realitas yang dalam kacamata mereka itu keliru dan tentu saja mesti melakukan pemotongan kisah. Terlepas itu benar atau salah. Ini budaya siri’ kawan, adat istiadat yang harus dijunjung tinggi. Tak bisa dibiarkan berlalu lalang sesuka hati. Dan merekapun muncul dengan tiba-tiba dengan seonggok kata-kata suci yang mematikan rasa. Seakan mereka tak pernah merasakan manis berkasih sayang. Entahlah. Tapi mau tidak mau, dimulailah klimaks itu.
Siang itu , disebuah apotik tempat Hentza bekerja paruh waktu, dia bertemu dengan seorang ibu paruh baya (teman baik ibu Karna). Kata mulai dilontarkan oleh ibu yang kebetulan istri seorang kepala desa tempat Hentza tinggal.
“Kamu sebaiknya menjauhi Karna, anaknya Daeng Menang, bagaimanapun kamu berusaha, kalian tetap tak akan mendapat restu. Kamu pasti tahu, perbedaan derajat diantara keluarga kalian, ditambah lagi sejarah orang tuamu yang Silariang  tak akan berterima. Saran saya, sebaiknya kamu mulai menjauh dari sekarang”..
Hentza tertegung mematung dalam ramai orang-orang. Dadanya mulai sesak, perih oleh kata dan kenyataan. Berita itu menderas begitu saja tanpa petanda kabar. Tangis dia tahan untuk menyiram hatinya yang melepuh. Dunianya hancur, dan tibalah gelap singgah disepanjang hidupnya yang penuh riang dan bahagia. Entah bagaimana selanjutnya dia melangkah menjejak hidup.
Ketidaksetujuan orang tuamu atas hubungan kalian berdua diketengahkan dihadapan gadis itu. Ketidaksetujuan yang selama ini tak mau engkau ungkap kepadanya untuk menjaga hubungan kalian ternyata terlontar oleh tokoh antagonis itu. Alasanmu cukup beralasan kenapa kau menunda untuk mengatakannya. Selain masih berusaha membujuk orang tuamu, gadis yang hampir menyelesaikan skripsinya itu tak mau engkau ganggu dengan pikiran-pikiran tak berpengharapan
Pukul tiga dini hari itu, aku terbangun oleh suara dering handphone pada saku celanaku. Suaranya sayup-sayup terdengar pelan diseberang sana. Isak tangis kamu perdengarkan untuk mengekspresikan kesedihanmu atas kesedihannya. Tragedy  telah lepas dari buhulnya. Keputusan telah diambil oleh gadis itu. Mundur dan Putus asa menjadi jalan yang samar-samar untuk dijelajahi. Aku mendengarkan dengan hidmat, terkejut dan simpati. Kamu yang selama ini tak pernah terlukis kesedihan diwajahmu kini mesti terisak  dalam sunyi kepahitan. Malam semakin asik bersembunyi dalam gelap. Dan sesekali mengintip manusia-manusia yang  terbaring di atas Arasy keagungannya .
Gadis itu menghilang selama dua hari, dan kau mencarinya di setiap sudut-sudut Makassar yang panas dan pengap penuh debu jalanan. Dikemudian hari, ketika kau menemukannya kembali, gadis itu akhirnya berkisah tentang sesuatu yang dia katakan  prinsip . restu orang tua menjadi salju dihatinya. Dia junjung tinggi-tinggi. Menjadi sakral baginya untuk dijadikan pegangan dalam meniti hidup yang keruh. Tapi sebelum salju itu turun dalam gersang hidupnya, dia terlanjur mencair dan mengalir ke hilir tak berujung. Pikiran-pikiran yang cukup radikal dalam budaya masyarakat Makassar menjadi alternative pilihan.
“Baiklah, kita akan silariang, aku siap menanggung siri’ dan terbunuh dikampung seberang oleh keluargamu”. Kata Karna dengan tiba-tiba kepada Hentza.
Hentza menggeleng tanda tak setuju. Silariang yang kau tawarkan dia tampik dengan sejarah kelam kedua orang tuanya. Masih terngiang diingatannya ketika haid pertamanya mesti dimandikan oleh orang lain, bukan oleh ibunya. Gadis itu tak mau mengulang sejarah siri’ keluarganya.
“Kalau begitu, aku tidak akan menikah sebelum kau menikah”, lanjut Karna dengan cepat. Sebuah ujaran yang cukup terburu – buru rupanya. Kamu mungkin lupa, statemen itu agak lucu bagi Hentza, karena sebelumnya dia pernah mendengar perkataan yang sama dari mulut laki-laki sebelum engkau. Dan satu tahun berikutnya, laki-laki itu ternyata telah menikah dengan gadis lain. Janji tak ditepati dan  Pacce tak terelakkan. Kamu jatuh lunglai. Kisah yang kamu bangun selama tiga tahun ini mesti terjerembab dalam sebuah epos siri’ na pacce. Selengkungan kultur yang mendarah daging.
Hari hari berikutnya adalah hari-hari gersang tanpa belaian nyaman kata-kata si lelaki itu, laki-laki yang telah membawa separuh hatinya, lelaki yang terlanjur menanam semburat kasih dan sayang yang menumbuhkan kenangan hitam putih kesedihan. Tawa berhenti pada detik ketiga jarum jam, setelah itu  hati menjerit dan berteriak lantang memanggil namanya. Diri kadang menjadi hipokrit pada saat tertentu kesedihan. Sekadar untuk menahan sakit yang terlunta-lunta. Tak mampu bangun untuk menatap bayang matahari.
Pada sebuah senja yang menguning, pada garis pantai Lamangkia di kampungmu, jilbabmu yang putih berkibar diterbangkan angin laut menelusur belantara terdalam samudra. Kamu berdiri sendirian. Disana, sayup-sayup bergumang lusuh pikiran – pikiran yang terbang bersama burung-burung laut.
“Ada masa ketika kenangan menyimpan kisah hitam di taman hati, yang mengharuskan kita belajar pada filosofi pasir yang tak pernah menyimpan dendam pada setiap tapak kaki yang menginjaknya,,lepaskan semua beban di hati ki ta”, kata gadis itu menutup lembaran terhitam kisahnya. 

Senin, 10 Desember 2012

Cerita sederhana tentang kemarau

0



 


Diantara mendung yang menggulung ini, aku diliputi perasaan dingin. Gelap menjalar dimana – mana, seakan semua akan tampak sirna. Hujan akan turun, dan sebagian manusia pada siap memuja. Setiap kata disiapkan, setiap moment diadakan, maka carita pun akan lahir. Dari rahim siapa saja.

Aku makin dingin saja, selentingan perasaan tak menentu. Rindu akan cahaya yang lamat – lamat muncul, diantara kisaran langit kuning di ufuk timur. Cahya yang menghangatkan. Kamu tahu tentang dia?

Baiklah, aku akan sedikit bertutur.

Dia bukan hujan yang di puja dengan kesusastraan yang puitis oleh beberapa pujangga, tapi seperti kaum proletariat yang tersisi di kolom jembatan, pengemis di jalan-jalan, atau pencopet di pasar-pasar, dia kemarau yang hanya sesekali dikisahkan dengan angka-angka statistic, kadang muncul diantara  Mei dan September, lalu menjadi hilang dengan emoh dan caci maki pada awal December.

Kemarau adalah sosok yang sabar dalam takdirnya yang dianugerahi terik. Terik yang membawa hangat dikala hujan datang bertamu dengan tiba-tiba, dengan amuknya yang deras mengguyur siapa saja. Terik yang memberi ruh kepada tanaman-tanaman petani agar berfotosintesis, lalu menjadi bunga, lalu berbuah. Dan kemarau yang terik tak juga menjadi ruang yang utuh untuk sekadar dibingkai dalam kata-kata yang tampak indah. Dia juga bukan atmosfir yang tapat untuk menggelar acara diskusi yang sejuk tenang. Dia kadang-kadang hanya menjadi ukuran pembeda untuk melihat endapan teduh dan dingin hujan. Kesempurnaan yang estetik untuk setitik garis air.

Suatu ketika, kering melanda dataran sebuah wilayah. Tanah menjadi retak, ikan-ikan menghilang, petani dan nelayan tambak pun ikut melarat. Kemarau menjadi buah bibir cibiran. Manusia mengumpat, menyalahkan kemarau yang berkepanjangan, bahkan tuhan ikut-ikutan disematkan namanya. Objek caci maki yang diam-diam disisipkan.

Adalah serangkai tindakan agresif manusia yang cenderung melakukan tindakan kekerasan terhadap alam. Terhadap pepohonan di hutan-hutan dan pinggir jalan, atau dimanapun hijau coba bebas  merambat dengan lebat. Konsep estetika manusia coba diterapkan terhadap lingkungan. Hasrat menguasai dan menggatinya dengan membangun gedung-gedung seakan tak punya ujung dari batas-batas kemanusiaan. Manusia menjadi liar. Mereka merusak tata kosmik semesta.dan kemarau semakin mendapat ruang yang nyaman untuk tumbuh, tapi sekaligus menjadi malapetaka.

Kemaraupun diseret ke pembaringan, hendak dipenggal lehernya. Dia menjadi satu-satunya titik perhentian manusia melampiaskan amarah berkepanjangan. Kemarau menjadi biang keladi. Sebuah latar permusuhan yang semakin menjadi-jadi. Imbasnya, alampun menjadi buas. Dan manusia tampak panik.
Hanya hujan yang sekali-kali menjadi penghibur mereka. Hujan menjadi teman, menjadi kekasih yang selalu dikisahkan diantara ranjang dan meja makan, diantara buku dan layar datar. Dan kadang-kadang menjadi sebaris sajak yang tiba-tiba hadir begitu saja. Tanpa kita sadar, bahwa ada juga jejak hitam diantara setiap baris air yang dia bawa. Dan kita manusia tak punya cukup bahasa untuk sekedar menyapanya.

Lalu, kemarau terlupakan, kalau bukan diumpat disetiap terik. Ketika anak-anak kecil bersorak ria menunggu hujan, diantara mendung yang menggunung di ufuk timur sana. Maka, aku hanya bisa menuliskan jejak kemarau dengan sedikit kata.
Itu saja.

[ Rumah Asal. 2012]