Senin, 10 Desember 2012

Cerita sederhana tentang kemarau

0



 


Diantara mendung yang menggulung ini, aku diliputi perasaan dingin. Gelap menjalar dimana – mana, seakan semua akan tampak sirna. Hujan akan turun, dan sebagian manusia pada siap memuja. Setiap kata disiapkan, setiap moment diadakan, maka carita pun akan lahir. Dari rahim siapa saja.

Aku makin dingin saja, selentingan perasaan tak menentu. Rindu akan cahaya yang lamat – lamat muncul, diantara kisaran langit kuning di ufuk timur. Cahya yang menghangatkan. Kamu tahu tentang dia?

Baiklah, aku akan sedikit bertutur.

Dia bukan hujan yang di puja dengan kesusastraan yang puitis oleh beberapa pujangga, tapi seperti kaum proletariat yang tersisi di kolom jembatan, pengemis di jalan-jalan, atau pencopet di pasar-pasar, dia kemarau yang hanya sesekali dikisahkan dengan angka-angka statistic, kadang muncul diantara  Mei dan September, lalu menjadi hilang dengan emoh dan caci maki pada awal December.

Kemarau adalah sosok yang sabar dalam takdirnya yang dianugerahi terik. Terik yang membawa hangat dikala hujan datang bertamu dengan tiba-tiba, dengan amuknya yang deras mengguyur siapa saja. Terik yang memberi ruh kepada tanaman-tanaman petani agar berfotosintesis, lalu menjadi bunga, lalu berbuah. Dan kemarau yang terik tak juga menjadi ruang yang utuh untuk sekadar dibingkai dalam kata-kata yang tampak indah. Dia juga bukan atmosfir yang tapat untuk menggelar acara diskusi yang sejuk tenang. Dia kadang-kadang hanya menjadi ukuran pembeda untuk melihat endapan teduh dan dingin hujan. Kesempurnaan yang estetik untuk setitik garis air.

Suatu ketika, kering melanda dataran sebuah wilayah. Tanah menjadi retak, ikan-ikan menghilang, petani dan nelayan tambak pun ikut melarat. Kemarau menjadi buah bibir cibiran. Manusia mengumpat, menyalahkan kemarau yang berkepanjangan, bahkan tuhan ikut-ikutan disematkan namanya. Objek caci maki yang diam-diam disisipkan.

Adalah serangkai tindakan agresif manusia yang cenderung melakukan tindakan kekerasan terhadap alam. Terhadap pepohonan di hutan-hutan dan pinggir jalan, atau dimanapun hijau coba bebas  merambat dengan lebat. Konsep estetika manusia coba diterapkan terhadap lingkungan. Hasrat menguasai dan menggatinya dengan membangun gedung-gedung seakan tak punya ujung dari batas-batas kemanusiaan. Manusia menjadi liar. Mereka merusak tata kosmik semesta.dan kemarau semakin mendapat ruang yang nyaman untuk tumbuh, tapi sekaligus menjadi malapetaka.

Kemaraupun diseret ke pembaringan, hendak dipenggal lehernya. Dia menjadi satu-satunya titik perhentian manusia melampiaskan amarah berkepanjangan. Kemarau menjadi biang keladi. Sebuah latar permusuhan yang semakin menjadi-jadi. Imbasnya, alampun menjadi buas. Dan manusia tampak panik.
Hanya hujan yang sekali-kali menjadi penghibur mereka. Hujan menjadi teman, menjadi kekasih yang selalu dikisahkan diantara ranjang dan meja makan, diantara buku dan layar datar. Dan kadang-kadang menjadi sebaris sajak yang tiba-tiba hadir begitu saja. Tanpa kita sadar, bahwa ada juga jejak hitam diantara setiap baris air yang dia bawa. Dan kita manusia tak punya cukup bahasa untuk sekedar menyapanya.

Lalu, kemarau terlupakan, kalau bukan diumpat disetiap terik. Ketika anak-anak kecil bersorak ria menunggu hujan, diantara mendung yang menggunung di ufuk timur sana. Maka, aku hanya bisa menuliskan jejak kemarau dengan sedikit kata.
Itu saja.

[ Rumah Asal. 2012]





No Response to "Cerita sederhana tentang kemarau"

Posting Komentar