Jumat, 16 November 2012

Sabtu

1

Sabtu

“Hari kadang menjadi lelucon paling kering dalam melihat babakan hidup ; tak selalu tanpak berarti. Manusia menjalaninya tanpa berfikir. Seperti sebuah lingkaran, hanya menyisakan kembali”
Hari ini hari sabtu, hari yang bagi kebanyakan mahasiswa adalah hari yang cukup dinanti. sebuah akhir pekan bahagia dan cerah. aktivitas akadeimik untuk sementara ditinggalkan, disimpan di bawah bantal atau meja belajar, yang ada adalah pesta dan beberapa kebebasan. Dan itu bisa dimana saja. di Mall, di pantai. dan di lorong - lorong kos. Muda mudi bertemu, melepas rindu, dan bermanja menyulam kasmaran yang lama terpingit oleh rumus - rumus dan tugas - tugas. Pada akhirnya hanya ada satu moment. kau dan aku.

Di sudut kota Makassar, kita akan melihat beberapa ramai yang nampak menjadi estetika sebuah budaya metropolis. Di setiap persimpangan lampu merah misalnya, beberapa anak jalanan dan penjaja koran akan menyibukkan diri menjamu lalu lintas. sesekali memetik gitar dan mengulurkan tangan meminta. Bagi mereka sudah hukum modernisme si miskin mesti bergantung terhadap si kaya atau si berpunya. Yang cukup kita lakukan adalah menengadah mengaduh nasib pada keras altar jalanan.

Penjaja koran cukup punya tempat, mereka bisa termasuk dalam lintasan yang menghubungkan jalur lalulintas informasi birokrasi pemerintah kepada publik. Para penjaja koran yang kebanyakan dari kaum proletariat (istilah Marxian) atau Mustadafin (ala islam) tak begitu sadar akan posisinya sebagai jembatan gantung politik yang juga ikut andil dalam menentukan nasib mereka. Mereka kadang tak tersentuh tangan - tangan kebijakan yang cukup layak. Seperti kataku, mereka hanyalah ornamen yang sedikit banyak menjadi penghias untuk sebuah kota metropolis.

Masih di simpang jalan Kota Makassar, mahasiswa juga tak pernah absen. Lampu merah menjadi tempat yang mumpuni digelarnya aksi - aksi. Saat ini, cukup susah agaknya menggelar aksi dalam kampus. Toh selain sempit, kampus kebanyakan sudah terdiri dari ornamen - ornamen mewah yang dibangun dari pajak (istilah untuk SPP yang dipaksakan) mahasiswa, ketika sedikit saja lecet, maka biaya perbaikannya tentu saja akan kembali menggerayangi kantong mahasiswa yang kembang kempis karena biaya hidup. Maka aksi yang paling aman, mungkin saja di jalan - jalan. meraka pun cukup bebas, berteriak hingga tenggorokan kering kerontang dengan Isu yang tak terlalu jelas.

Ahh...ketenangan di hari sabtu terlalu berharga untuk digunakan untuk aksi demonstrasi, apalagi sampe bakar - bakar ban dan membuat macet jalanan. Cobalah sedikit memanjakan diri dengan minum kopi dan bercengkrama dengan anak - anak kumal jalanan atau panti asuhan. Ceritakanlah keluh kesah kalian akan pemerintah yang bobrok dan system pendidikan yang tak jelas arahnya. Ceritakanlah juga tentang idealisme kalian (kalau pun ada), agar mereka tahu, hidup tanpa idealisme itu adalah hidup yang kering.

Sabtu itu begitu rupawa untuk dijejalkan dengan ketiadaan. Inilah moment dimana kita bisa berbagi dengan cinta dan kasih sayang. sebuah moment yang tak selalu bisa ditangkap oleh sibuk yang berkelindang para politisi atau pengusaha. Tapi bagi kita, manusia - manusia bebas, mesti menyempatkan tetirah hadir diantara jiwa yang sesak, agar ada ruang untuk menengok jauh ke dalam diri yang satu.

Sudah pukul 10.03, aku hendak keluar, bertamu menemui pesisir laut. Disana sudah ada awan-awan kecil yang berlari kesana kemari menyambut Sang Surya yag tak berhenti mengalir.

[ Mangasa, di tulis pada hari sabtu yang manist - 2012 ]

1 Response to Sabtu

17 November 2012 pukul 21.45

hahahahahhahahhahhahha ini kata kata ataukah puisi?

Posting Komentar