Jumat, 16 November 2012

Jilbab dan Kisah yang Lalu


oleh : Syahrul Ibn Arabi


Aku rindu kabar Nidah, perempuan yang mananggalkan Jilbab besar dan kesuciannya pada aras yang rapuh, pada lelaki yang menipu,  di balik retorika idealisme dan Jidat hitam karena sujud. Nidah, yang menurut aku, labil dalam cercah pencerahan yang intelek, mesti menanggung tanggung jawab yang tidak ringan. Menjadi Pelacur dan Putri Api di Kota Pelajar, Nabi Kejahatan romantic bagi agamanya, bagi Tuhan yang meninggalkannya.

Aku rindu pikiran-pikirannya yang ‘lugas’ menggugat. Yang tajam menyudut Dogma otoritatif, bersikukuh dengan pahammnya yang dramatis argumentative dan juga parasnya yang interested. Laki –laki manapun mesti jatuh dan menanggalkan segala-gala pikiran dan pakaiannya – telanjang - di depan Nidah, bahkan Tuhannya.

Aku tak tahu lagi kabar Nidah, Muhidin juga ikut-ikut menghilang dengan ide-ide tulisannya yang controversial. “Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur” adalah memoar  terakhir yang aku sempat baca. Kisah perempuan Sholeha yang berjilbab besar itu kini tak banyak lagi menjadi bahan gunjingan dan hujatan.  Dia mungkin juga sibuk menghutbakan ajaran-ajarannya, sabda-sabdanya.

Lalu, bagaimana dengan perempuan kini? Adakah mereka menelusur jejak-jejak semangat intelektual  dari Nidah? Setahu aku, tidak. Yang ada ( sekarang ) adalah perempuan-perempuan malang yang digunjing karena tak sholat, keluar rumah tanpa muhrim, atau ‘pacaran’ dan bunting di luar nikah. Tak ada yang seperti Nidah, yang berani secara lantang  menantang Tuhan yang menyejarah, Tuhan yang berdiam di mesjid dan terbungkus sorban sutra. Tuhan-tuhan kecil yang menyerukan Poligami juga Mut’ah, dengan segudang Mahar  yang  silau.

Ataukah mereka tak punya model? Kalaupun ada, maka sejarah tak akan memberinya ruang baca yang jelas.
Tentu saja Nidah adalah kisah yang lalu. Dan manusia tak hidup di masa lalu. Elena Cornaro Piscopia memilih jalan lain, sebuah jalan yangjuga  tak mudah. Tak seperi Nidah, perempuan ini menjadi yang pertama diantara kaumnya yang mendapatkan gelar doctor di bidang filsafat di Universitas Padua, Vinecia. Tentu saja itu menghebohkan dan menggemparkan rakyat kota Vinecia kala itu. Mungkin juga ‘tidak’ bagi kita sekarang. Aku tak tahu pasti.

Perempuan berfilsafat? Untuk sekarang, mungkin tak layak. Bagi mereka, daripada berpusing-pusing dengan alur logika yang berderet-deret itu, perempuan sebaiknya ‘diam’ menunggu laki-laki baik dan kaya raya datang melamar, lalu hidup akan dimulai dengan membincang previlese yang punya ‘merk’ , yang megah dan penting juga untuk secara runut mendiskusikan seberapa banyak anak. Bukan Agama, bukan filsafat, ataupun spiritualitas yang punya makam. Kesemuanya mungkin tak penting lagi.

Dan sekali lagi, aku rindu Nidah dan pikiran-pikirannya yang punya sejumput argumentasi menerobos tabu. Adakah dia sedang berdiri dengan Jilbab besarnya pada sebuah ruang kuliah dimana mahasiswa-mahasiswa dengan lugu dan lucu ingin mendengarkan? atau mungkin juga  pada sebuah hotel dan pinggiran Sarkem*  yang penuh geliat oleh birahi manusia-manusia yang telah antri sejak magrib?

Sekali lagi, aku tak tahu pasti.


[ ...., 01 / 06 / 12 ]

1 Response to

16 November 2012 pukul 05.16

good job

Posting Komentar