Sabtu, 17 November 2012


KARTINI

Perempuan ; adalah sosok yang dalam budaya yang mengakar di masyarakat menjadi penentu status kehormatan sebuah keluarga.  Dia (baca ; perempuan) adalah Aib yang terselubung yang berpotensi merusak nama baik suatu keluarga.  Selain itu dalam sejarah umat manusia, perempuan terkadang (bahkan selalu) menjadi mahluk kedua setelah laki-laki.  Para psikolog dan sosiolog  telah mendokumentasikan mereka  sebagai mahluk yang tak sempurna, sebagai pelengkap kehidupan kaum adam. Mereka adalah mahluk kedua (the second sex) setelah laki-laki yang keberadaanya hanya untuk menjadi pelayan yang hak-haknya telah dipenjara.
Perempuan; dibeberapa literature-literatur barat mendeskripsikan mereka sebagai mahluk yang tidak lebih dari binatang ternak yang tidak boleh menikmati hak-haknya.  Dan lebih ironis lagi beberapa ulama tradisional mengatakan bahwa “Wanita harus tunduk kepada laki-laki, meskipun sedapat mungkin juga diberi hak,namun tidak melebihi apa yang telah ditetapkan oleh syariat" [1]
Ada sebuah penindasan terselubung dan halus terhadap perempuan oleh kaum laki-laki yang perempuan (bahkan kita masyarakat) tidak sadari.  Tapi Kadang-kadang (segelintir perempuan) menyadari hal ini tapi sebagian dari mereka dengan keterpaksaan yang bahagia menerimanya sebagai sebuah bentuk ‘kenikmatan’.   Bentuk serta konsep dari penindasan ini secara sangat sistematis dan jelas dimuat dalam lembaran kitab-kitab tafsir klasik, pendidikan, disiplin, pemikiran, budaya, peradaban, dan tata cara kemasyarakatan.

Maka, terbentuklah sketsa wajah perempuan dari system  dominasi tersebut.   Wajah perempuan yang sangat akrab dengan kita dan menjadi banyak referensi ideal bagi anak-anak perempuan mereka yang terlahir pada generasi selanjutnya.
Bahwa; Perempuan yang mengasuh anak-anaknya ,atau perempuan yang duduk dirumah sambil menunggu suami-suami mereka datang, atau perempuan yang hidup dalam dunia sempit jilbabnya yang terhampar lebar.
Kawan; Perempuan bukanlah aurat yang seharusnya ditutupi dari orang lain sampai tertutup seluruh tubuhnya,mukanya,suaranya,dan bahkan namanya. 
Mereka (perempuan) yang ditindas dan direnggut hak-hak kemanusiaannya oleh agamanya yang sakral dan suci.  Mereka tidak dibiarkan menghirup alam kebebasan layaknya laki-laki.  Atas nama agama dan budaya,mereka menjadi mahluk yang hanya hidup dalam rumah.  Kaum perempuan ditempatkan dalam kategori yang sama seperti mesin cuci.  Nilai-nilai manusiawinya telah direndakan menjadi “ibu si anak”[3] Tak lagi menyandang nama,apalagi identitasnya.
Boleh jadi, inilah yang mereka harapkan. Menjadi pelayan terhormat bagi suaminya, inilah wajah perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan tradisional dan konservatif.  Lalu,apa yang mesti diperbuat?
Dibelahan bumi yang lain,ada sketsa wajah perempuan lucu yang dibesarkan oleh modernitas. Kata Ali Syariati, mereka adalah perempuan-perempuan malam minggu, para nyonya rumah, milik bapak-bapak usia senja. Mereka dengan mudah  kita temukan di sudut-sudut malam yang dingin, mereka juga dapat kita temui di lorong-lorong rumah dan kontrakan,mendapati mereka bergunjing atau mempertengkarkan anak perempuan mereka jika mereka telah usai bertengkar sesama ibu-ibu. 

Atau kita akan mendapati mereka sibuk mengeluh, menggerutu, dan berbangga diri dengan perhiasannya di pasar-pasar ,di pabrik,dan emperan-emperan toko,bahkan dalam kamar mandi yang penuh sesak oleh nyonya-nyonya rumah.
Dan tibalah saatnya bagi perempuan-perempuan muda,”Putri dari perempuan ini”[4], untuk mencari dan menemukan identitasnya yang autentik. Tapi, pertanyaanya, sosok seperti apa? Identitas seperti apa?
Mereka menjadi perempuan muda yang kesepian dan hampa dalam pencariannya.  Mereka menjadi mahluk gelap yang coba mencari secercah cahaya ideal perempuan.  Terkadang mereka lelah dalam pencariannya dan  berhenti,menerima diri sebagaimana adanya,bukan sebagaimana mestinya.  ”Mereka adalah generasi yang berbeda dan musim yang berbeda, hidup dalam dunia pertengahan yang mempunyai dua makna”[5]. 
Pada tahap dimana seorang perempuan muda berhenti dalam usahanya memilih budaya masa lampau,budaya leluhur dan nenek moyangnya dengan sebuah tatanan dunia yang menawarkan buku-buku,novel,terjemahan,pemikiran, dan berbagai kesenian,maka saat itulah secara bersamaan dia hancur dan tergilas.
Perempuan muda ini menjadi penjilat konsumerisme,mereka berjalan di mall-mall dengan membanggakan tubuh telanjang mereka,atau mereka akan menjadi mahluk jualan di TV atau film-film,serta produk – produk jualan terbaru.  Mereka adalah pendukung setia kapitalisme. Mereka ikut ambil bagian dalam hal penggusuran rumah orang-orang miskin,orang-orang lemah dan pinggiran. 
Mereka adalah perempuan-perempuan muda yang siap mentransformasi masyarakat sesuai selera perusahaan-perusahaan asing.
Apa yang mesti dilakukan perempuan-perempuan sekarang? Apakah mereka akan tetap dibiarkan menjadi mahluk tanpa ruh yang berjalan dengan perhiasan-perhiasan,baju dan kebudayaan baru yang mereka kutip di TV dan media lainnya?Atau perempuan yang memberikan ‘arti’ hidup di belakang layar budaya dan tradisi yang bias melihat nilai-nilai kemanusiaan?Atau perempuan yang mendekap dan mengintip di lubang kunci atau jendela sampai menunggu seorang pencuri yang diberi wewenang untuk membawanya pergi ke dalam heremnya atau dibiarkan bebas menikmati alam modernitas yang absurd dan tetap dibatasi oleh tembok budaya diam dan patriarchy oleh orang tuanya yang tentu saja akan menghancurkan kebebasan individualnya?
Apa yang mesti dilakukan?
Menurut pendapat Hatta, manusia terlebih dulu harus diberikan kebebasannya.  Perempuan mesti merdeka. Mereka mesti dilepaskan dari jeratan-jeratan penindasan dan penjajahan, apakah itu penjajahan fisik ataupun psikis, budaya, tradisi, ekonomi, sosial, maupun agama.  Setelah itu, biarkan mereka secara bebas dan berani mempertanyakan identitasnya. Siapakah aku?Harus menjadi apakah aku?
Dan tentu saja pertanyaan –pertanyaan itu akan melahirkan jawaban yang paling tidak membantu proses pencarian mereka.
“Mereka menghendaki seorang model perempuan.  ”
Siapa?
Radeng Ajeng Kartini.  []

Catatan-catatan :
[1] Asgar Ali Engineer,Islam dan Teologi Pembebasan,Hal 236
 [2] Ibid, Hal 236
[3] Ali Syariati,Fatimah ‘’The Greatest Woman in Islamic History,Hal 138
[4] Ali Syariati,Fatimah ‘’The Greatest Woman in Islamic History’’, Hal 151
[5] Ibid, Hal 151

No Response to " "

Posting Komentar