Ketika
kalian para mahasiswa meluangkan waktu berjalan menyusur lorong di
pinggiran Gowa sebelum perbatasan dengan Makassar - sebuah tempat yang
sepertinya disekap oleh ruang juga waktu - untuk sekadar mencari tempat
kos, maka kalian akan disuguhkan secangkir tragedy itu. Ruang
memberinya kuasa di belakang sebuah bangunan masjid, pada lorong yang
bercabang dua, memutar ke kiri, lalu kekanan. Dan waktu dengan tersipu
malu memberinya jejak pada malam minggu yang girang pada tengah Mei.
Maka sampailah kita pada sebuah bangunan rumah kos yang mewartakan
petaka. Mangasa.
Pada sebuah malam yang ranum, sunyi yang aneh,tak seperti biasanya, suara-suara jangkrik yang biasanya ramai, malam itu seakan dibungkam oleh suatu ngeri yang mengancam. Sebuah atmosfir luka tengah menganga tanpa batas. Dan alam seakan lebih tahu kapan untuk diam berduka ketimbang manusia yang kering oleh sibuk. Dan betul, alam pada malam itu sedang berdukah. Hujan mengguyur bumi mangasa. Sebuah epos khayal baru saja tergelar.
Laki-laki itu ditemukan oleh warga sudah tak punya nafas. Tubuhnya terbalut almamater biru yang berubah merah kecoklatan oleh darah. Tubuhnya yang kurus kecil tergeletak di atas selembar sejadah biru yang juga telah penuh dengan lumuran darah. Di tangan kanannya sebuah pisau dapur masih erat tergenggam, seakan ingin mempertegas bahwa aku tak menyesal hidup, dan selembar kertas lusuh bertuliskan kalimat :
“aku sudah bilang, hidupku adalah rasa yang kau balut dengan lipur cinta, ketika engkau hempaskan pada laut, aku tenggelam”.
Yahh…laki-laki itu memilih mati pada sebuah malam yang dingin, dimana beberapa mahasiswa memilihnya sebagai sebuah malam yang penuh ekstasi kebahagiaan di sepajang Losari atau Mall-mall yang berdiri dengan cahaya megah.
Kenapa laki-laki itu memilih mati adalah persoalan yang akan menimbulkan spekulasi yang beragam. Spekulasi yang hanya akan menyeret korban yang tak punya tahu, tak punya jawab. Dan seperti yang dikatakan Erin Gruwel, tokoh guru dalam film The Freedom Writers, ketika kita mati, tak akan ada yang mau mengingat kita lagi. Tapi, tentu saja itu butuh pengecualian-pengecualian. Pada laki-laki ini.
Konon, rumah kos itu tak pernah lagi menjadi tempat yang memberi damai untuk di tempati. Ada sepi yang ganjil. Setiap warga yang tak terjaga pada pukul 01.00 tengah malam akan mendengar sayup-sayup suara yang membacakan sajak dan puisi. Sajak dan puisi yang memelas dan melangkolis untuk sesosok darah yang tak punya tuan. Sesekali juga terdengar bunyi gitar dan biola yang menyahut bergantian. Memberikan kesan mistik pada suara-suara. Pada sedih yang tak punya tempat dalam sejarah. Tak punya tempat untuk pulang.
Cinta, kalau bukan bahagia yang menggilak, maka kesedihanlah yang dia kumandangkan. Dan manusia dibuatnya menjadi manusia yang dilematis menentukan jalan takdir. Kadang jalan itu pasti, tapi kematian menjadi kepastian satu-satunya. Cinta menjadi sebuah paradox sebuah kebenaran. Sebuah lakon sejarah yang tak pernah usai memberi jejak dan petanda pada sebuah tragedy percintaan sekaligus kematian. Tapi , seperti kata teman saya, manusia tidak perlu takut pada kematian itu. Yang sebenarnya manusia mesti takutkan adalah ketika dia tak punya jejak ataupun tanda yang bisa ditinggalkan sebagai kenangan di atas pusara jasadnya.
Dan rumah kos itu tetap kosong, hingga pada suatu ketika, seorang perempuan kurus dengan kerudung biru membungkus rambutnya dan stelan jas putih, berjalan pelan lalu berhenti di depan pintu rumah kecil itu. Pada hitungan menit selanjutnya, setelah hening dan bercakap dengan diam, maka sayup-sayup ia berkata dengan pasti, “ aku akan tinggal disini bersama kenangan itu”.
Untuk Jangkrik yang tlah membentangkan Tetirah ;
Aku tak marah,.
Aku hanya bersedih bersama sunyi dalam kamar kos ini,.
Engkau sedang sakit dan aku tak punya daya untuk sekadar berucap sayang.
[ Mangasa, 05 Mei 12]
Pada sebuah malam yang ranum, sunyi yang aneh,tak seperti biasanya, suara-suara jangkrik yang biasanya ramai, malam itu seakan dibungkam oleh suatu ngeri yang mengancam. Sebuah atmosfir luka tengah menganga tanpa batas. Dan alam seakan lebih tahu kapan untuk diam berduka ketimbang manusia yang kering oleh sibuk. Dan betul, alam pada malam itu sedang berdukah. Hujan mengguyur bumi mangasa. Sebuah epos khayal baru saja tergelar.
Laki-laki itu ditemukan oleh warga sudah tak punya nafas. Tubuhnya terbalut almamater biru yang berubah merah kecoklatan oleh darah. Tubuhnya yang kurus kecil tergeletak di atas selembar sejadah biru yang juga telah penuh dengan lumuran darah. Di tangan kanannya sebuah pisau dapur masih erat tergenggam, seakan ingin mempertegas bahwa aku tak menyesal hidup, dan selembar kertas lusuh bertuliskan kalimat :
“aku sudah bilang, hidupku adalah rasa yang kau balut dengan lipur cinta, ketika engkau hempaskan pada laut, aku tenggelam”.
Yahh…laki-laki itu memilih mati pada sebuah malam yang dingin, dimana beberapa mahasiswa memilihnya sebagai sebuah malam yang penuh ekstasi kebahagiaan di sepajang Losari atau Mall-mall yang berdiri dengan cahaya megah.
Kenapa laki-laki itu memilih mati adalah persoalan yang akan menimbulkan spekulasi yang beragam. Spekulasi yang hanya akan menyeret korban yang tak punya tahu, tak punya jawab. Dan seperti yang dikatakan Erin Gruwel, tokoh guru dalam film The Freedom Writers, ketika kita mati, tak akan ada yang mau mengingat kita lagi. Tapi, tentu saja itu butuh pengecualian-pengecualian. Pada laki-laki ini.
Konon, rumah kos itu tak pernah lagi menjadi tempat yang memberi damai untuk di tempati. Ada sepi yang ganjil. Setiap warga yang tak terjaga pada pukul 01.00 tengah malam akan mendengar sayup-sayup suara yang membacakan sajak dan puisi. Sajak dan puisi yang memelas dan melangkolis untuk sesosok darah yang tak punya tuan. Sesekali juga terdengar bunyi gitar dan biola yang menyahut bergantian. Memberikan kesan mistik pada suara-suara. Pada sedih yang tak punya tempat dalam sejarah. Tak punya tempat untuk pulang.
Cinta, kalau bukan bahagia yang menggilak, maka kesedihanlah yang dia kumandangkan. Dan manusia dibuatnya menjadi manusia yang dilematis menentukan jalan takdir. Kadang jalan itu pasti, tapi kematian menjadi kepastian satu-satunya. Cinta menjadi sebuah paradox sebuah kebenaran. Sebuah lakon sejarah yang tak pernah usai memberi jejak dan petanda pada sebuah tragedy percintaan sekaligus kematian. Tapi , seperti kata teman saya, manusia tidak perlu takut pada kematian itu. Yang sebenarnya manusia mesti takutkan adalah ketika dia tak punya jejak ataupun tanda yang bisa ditinggalkan sebagai kenangan di atas pusara jasadnya.
Dan rumah kos itu tetap kosong, hingga pada suatu ketika, seorang perempuan kurus dengan kerudung biru membungkus rambutnya dan stelan jas putih, berjalan pelan lalu berhenti di depan pintu rumah kecil itu. Pada hitungan menit selanjutnya, setelah hening dan bercakap dengan diam, maka sayup-sayup ia berkata dengan pasti, “ aku akan tinggal disini bersama kenangan itu”.
Untuk Jangkrik yang tlah membentangkan Tetirah ;
Aku tak marah,.
Aku hanya bersedih bersama sunyi dalam kamar kos ini,.
Engkau sedang sakit dan aku tak punya daya untuk sekadar berucap sayang.
[ Mangasa, 05 Mei 12]
No Response to " "
Posting Komentar