Senin, 19 November 2012

LEVITES'

0





Para Levites’ itu terjebak pada sebuah arena. Pada sebuah problem atau persoalan yang likat dan serius. Tak ada setitik jalan cahaya sebagai pemandu menuju yang benar. Dan kronik itu berjuntai dan berkelindang meng-sketsa dan lamur.

Dan apapun itu, ketika sudah terkait dengan persoalan kecamuk rasa, lebih kurang akan atau agak susah dibawa ke dalam arena yang sehat ( yang sifatnya intelektual). Persoalan rasa atau emotif dalam hal ini marah, benci, cemburu, diskriminatif, anarki dan yang sejenisnya, akan susah menemukan sebuah titik simpul dalam sebuah arena diskusi. Apalagi ketika persoalan itu adalah persoalan-persoalan prinsipil yang sudah mengakar dan mendarah daging, maka ‘diam’ menjadi jalan alternatif untuk berdamai sesaat. Kebenaran itu persoalan belakangan, Ego itu lebih utama. Benarkah?

Selain ‘diam’, menjadi bijak mungkin sedikit ampuh. Bijak yang saya maksud adalah bagaimana kemudian mendamaikan atau mendinginkan diskursus dua kutub yang saling bersitegang tersebut (?). Sikap dewasa dan mengalah adalah kompilasi sederhana kerangka sistemik dari sikap ‘bijaksana tersebut’. Kosakata ‘Bijak’ disini sebenarnya cenderung ingin melihat persoalan (kebenaran) sebagai sesuatu yang belakangan (sekunder), termasuk efek atau perubahan (kesadaran dari si subjek). Yang ‘primer’ atau yang utama atau yang paling penting dan urgen bagi ‘manusia bijak’ adalah bagaimana melihat, mengerti, memahami orang lain/subjek yang bertikai itu sebagai pribadi yang berbeda dari orang lain, yang belakangan melahirkan sikap ‘pengertian’ yang cenderung mendiamkan. Dalam hal ini ‘memahami’ si subjek itu sendiri. Mendiamkan sesuatu sama saja tak berbuat apa-apa yang juga berarti memposisikan sesuatu sebagaimana adanya. Efeknya, si subjek akan mempertegas dirinya sebagai seorang pribadi yang kaku, tak berdaya, bodoh, dan cenderung untuk selalu mempsisikan diri sebagai korban yang tak berdaya.

Mungkin, bagi kebanyakan orang, bijaksana dan dewasa selalu dilekatkan sebagai makna yang membei efek positif. Bijaksana dan kedewasaan menjadi karakter seorang pribadi yang wajib dimiliki dan lebih jauh lagi diteladani. Filsafat dan beberapa disiplin ilmu yang lain cenderung menuju makam tersebut. Selain itu, masih dalam sebagian besar pahaman kebanyakan orang, bahwa orang-orang yang senang membaca dan berdiskusi tentang buku-buku filsafat atau yang lainnya, secara otomatis akan menjadi bijak dan dewasa. Apalagi ketika jenjang akademiknya sudah lumayan tinggi.
Prestise di atas tentu saja tidak sepenuhnya benar. Tapi kalau betul, maka saya adalah orang pertama yang tak ingin menjadi bijak dan dewasa. Mengapa?

Pertama, kebijaksanaan-bagi saya-  ketika melumpuhkan atau menutup ruang-ruang diskusi dan intelektual dengan tutur yang seolah –olah sejuk dan damai adalah kebijaksanaan yang palsu. Kebijaksanaan yang tak mempunyai kedalaman dan juga tak ingin mengungkap apa-apa. Kebijaksanaan yang hanya ingin mewartakan ketenangan dan kedamaian dalam melihat persoalan-persoalan yang sebenarnya kompleks, kebijaksanaan itu mungkin hanya ada di menara gading. Dia ( baca ; sikap bijak) absurd dan cenderung menipu. Dia ibarat pil extasi yang ketika kita minum akan mendatangkan ketenangan dan kesejukan. Tak ada lagi persoalan, entah itu benar atau salah. Atau dalam agama, sikap itu seperti dogma-dogma atau ayat-ayat yang dicomot yang mesti kita membuta tanpa dialog. Ketika kebenarn itu akan mengancam silaturahmi atau relasi sosial, maka sesegera mungkin kita bungkam dia.

Kedua, ketika kebijaksanaan itu kemudian menutup ruang-ruang kesadaran yang secara inheren atau fitrah ada dalam diri kita, maka penting untuk kita bongkar dan munculkan ke permukaan. Sikap bijaksana yang enggan untuk secara jujur mengkritik dan menelusur lebih dalam  dan lebih luas lagi  khasanah berfikir dan realitas objektif ( konteks ruang) dimana individu-individu atau para levites’ yang berbeda secara pribadi adalah sikap bijaksana yang pasif kalau bukan apatis.
Oleh karenanya, sebagai seorang yang sedang menelusur jejak jejak kedirian yang simpan siur dalam arena cultural dan intelektual, maka saya menolak menjadi bijak ataupun dewasa. Lalu, kamu akan menjadi seperti apa kalau tidak keduanya?

[ Mangasa, 18 April 2012 ]

No Response to "LEVITES'"

Posting Komentar