Rabu, 27 Februari 2013

Kenshin, Samurai, dan sedikit tentang Eksistensi

0
Saat seseorang membunuh, akan lahir kebencian. (hingga) Membiarkan mereka membunuh diri mereka sendiri.Sampai Idealisme itu terputus.Itulah tujuan Pedangku.
(Rurouni Kenshin)

Beberapa waktu yang lampau, seorang sahabat menganjurkan menonton beberapa film.Salah satunya adalah Rurouni kenshin, seorang samurai yang mencecap hidup pada revolusi jepang (restorasi Meiji) kala itu.Dia adalah salah satu dari Hitokiri atau pembunuh berdarah dingin.Disanalah dia memanggul tugas sebagai seorang Battoshai sang pembantai. Dan kita tahu, tugassangat identik dengan tanggung jawab yang luhur dan pada zaman perang menjadi satu-satunya harapan, mengorbankan puluhan nyawa, untuk hidup yang lebih baik. Itulah mungkin yang diyakininya ; membantai manusia – manusia hingga ditemui cita – cita jalan kedamaian. Semacam pesan ‘rahasia’ yang tak lazim bagi seorang Samurai.Karena kita tahu, keberadaan mereka adalah untuk membunuh dengan sebilah katana* ditangannya.

Perang berakhir ; Era baru dimulai. Segalanya seperti angin kering yang meninggalkan gersang.Samurai berhenti, tak punya tujuan.Dan Kenshin pun menikmati identitas barunya sebagai seorang pengelana.Mengembara kesana kemari dengan katana terbaliknya. Dia berjanji tak akan lagi membunuh. Dia menjadi legenda, tokoh yang menyisakan cerita tersendiri.Benarkah demikian? Bukankah perang hanya akan menyisakan lega yang terbalut perih? Senyum yang mengembang adalah symbol untuk menutupi wajah manusia yang penuh lamur darah.Wajah yang mengguratkan ‘betapa barbarnya’ kita.Bukan ‘legenda’ ataupun ‘pahlawan’.

Perang (dalam konteks jepang) juga telah memberangus eksistensi sebagian samurai yang masih hidup kala itu.Mereka kehilangan tujuan hidup (membunuh) yang sekaligus menjadi pekerjaan.Apalagi setelah pelarangan membawa pedang kemana – mana.Dan pada akhirnya, demi bertahan hidup, merekapun menjilat kesana kemari pada segelintir orang – orang kaya, saling menebas dan menumpahkan darah.Mereka menjadi pembunuh bayaran.Kepentingan kuasa mesti selaras dengan identitas mereka.Dan pada akhirnya, pembunuhan tak bisa dihindarkan.
 
Samurai sebenarnya adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata "samurai" berasal dari kata kerja "samorau" asal bahasa Jepang kuno, yang  berubah menjadi "saburau" yang berarti "melayani", Dan akhirnya menjadi "samurai" yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan. Istilah yang lebih tepat adalah bushi (harafiah: "orang bersenjata") yang digunakan semasa zaman Edo. Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan bangsawan, dan bukan untuk ashigaru (tentara berjalan kaki), misalnya. Bagi mereka, Samurai tanpa katana tak memiliki arti sama sekali. Katana hanyalah alat untuk membunuh.Inilah yang menjadi satu-satunya tanda keberadaan mereka.

Tapi dilain pihak, juga ada beberapa yang keluar dari batasan itu. Samurai yang tidak terikat dengan klan atau bekerja untuk majikan (daimyo) disebut ronin (harafiah: "orang ombak"). Ronin ; jalan inilah yang dipilih oleh Kenshin. Jalan yang sedikit mustahil. Berharap akan kedamaian dengan membenamkan diri pada laut, dan laut tak selamanya ramah. Akan selalu ada badai yang mengempas dan menerjang.Pada saat itu, kita tak bisa menghindar, kecuali menjadi karang.Tapi, Kenshin beruntung, dia bertemu dengan Kaoru, seorang gadis cantik, pemilik perguruan Dojo warisan ayahnya.“Jangan pernah mencari keuntungan dari sebilah pedang”, katanya. Dan kenshin menjadi sadar, dia akan menjadi karang, melindungi siapapun yang ada disekitarnya. Tak peduli sebesar apapun badai itu.Tapi sampai kapan?

“Saat seseorang membunuh, akan lahir kebencian. (hingga) Membiarkan mereka membunuh diri mereka sendiri.Sampai Idealisme itu terputus.Itulah tujuan Pedangku”, katanya.

Bagaimana sebenarnya kita melihat ‘keberadaan’?Apa itu eksistensi? Saya sebenarnya adalah pembaca yang awam.Tapi dari beberapa kepingan literature, saya mendapatkan bahwa Eksistensi merupakan ‘cara khas’ manusia hidup atau berada di alam ini.Cara mereka hidup menggambarkan eksistensi mereka.Manusia hidup di luar dirinya, sibuk dengan kesibukan dan rutinitas untuk sampai kedalam dirinya.Berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari diri sendiri.Seperti itu mungkin sederhananya.Heidegger menyebutnya sebagai dasein(being-there) yaitu eksistensi manusia didunia empiris ini.Baginya manusia selalu ada dalam dunia, bersama seluruh benda-benda (being-in-the-world). Dan ‘ada’ nya manusia ini bukan sekedar ‘ada’ atau etre tetapi a etre (istilah Sartre). Ada-nya terus menjadi (becoming), berproses tanpa henti, tidak pernah selesai.Heidegger mengistilahkannya dengan "zu sein", sedangkan gerakan memperbaharui diri ini disebutnya eksistensial. Eksistensialisme adalah corak pemikiran jaman modern yang merupakan pemberontakan terhadap model pemikran sebelumnya, yaitu materialisme dan idealisme (Drijarkara :1981)

Itulah mungkin yang berusaha dilakukan Kenshin. Meninggalkan pekerjaanya sebagai seorang Batthosai sang pembantai. Dan berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang secara aktif dan kreatif, keluar dari dirinya, dan menjadi manusia baru untuk dirinya dan orang – orang disekitarnya (yang dia cintai).Berusaha untuk selalu melampaui kedirian sebagai manusia. Itu mungkin yang penting.

Untuk J, hanya ini kata yang dapat aku rangkai pada pembaringan titik nadir 'kita', mungkin ini jugalah sketsa yang lebih maknawi, seutas makna yang lahir dari rahim ketakberhinggaan sejarah. aku, kamu, melebur menjadi 'kita', suatu saat nanti.
 
(Mangasa, 27 April 2013)








*Katana adalah pedang panjang (daito), walaupun di Jepang sendiri merujuk pada semua jenis pedang. Katana adalah kunyomi (sebutan Jepang) dari bentuk kanji  刀 ; sedangkan onyomi (sebutan untuk Hanzi) karakter kanji tersebut adalah to. Ia merujuk kepada pedang satu mata, melengkung yang khusus yang secara tradisi digunakan oleh samurai Jepang.

Kenshin menggunakan katana terbalik, dimana bagian yang tajam menjadi punggung pedang dan yang tumpul digunakan untuk menebas lawan-lawannya. dengan ini, lawannya tidak akan mati karenanya. Ini sebagai bukti kuat untuk mengekang keinginannya membunuh.




Sabtu, 09 Februari 2013

Essay Tanpa Judul

0

 

 

 

 

Aku Menemukan secarik Lusuh Tissue
Disana ada beberapa bait kata
Yang diukir dengan tinta merah dan senyum simpul yang absurd
yang membawa imajiku kembali ke masa silam
pada sebuah beranda Mall kala senja melamur
dan disana, aku duduk
memungut kenangan, mungkin juga kutukan
sebuah takdir yang telah digariskan jauh hari yang lalu

"Happy b;day bang :)
sehat selalu
sukses selalu
thx kadony :D
se minta maap :) :)
for something. I can't tell u now
swry se gk bs ngasih harapan apa2."

Dan kata yang dia bubuhkan sekaligus tanda perjalanan
kisahku sakarang. Perjalanan tanpa "harap" yang pasti. Namun aku berjalan saja, meskipun aku tersesat dalam belantara ketidaktahuan, ketidakpastian, tohh aku masih bisa mengada untuknya. Ketiadaan harapan itu mungkin bisa dikatakan tak menghentikan jejak dan rinduku yang aku ukir sendiri. Harapan tak menjadi matahariku, harapan hanyalah sebuah kata yang terlalu subjektif kita bubuhi sebagai sesuatu yang objektif. Orang yang hidup dalam 'harapan' tak akan menikmati hidup yang pasti. baginya, hidup adalah masa depan, dan masa depan selalu menjadi mimpi yang mengawan- awan.

aku mungkin tak hidup berdampingan dengan harapan, tapi ada kenangan
yang juga setia setiap saat membelaiku, menghiburku dan menjadi penyemangatku melangkah di atas bumi yang kering ini. seperti secarik lusuh Tissue itu, aku masih hidup meskipun tak ada kepastian yang kan ku renggut.

Kamu tahu kenapa masalah muncul? karena harapan tak sesuai dengan kenyataan. disana kan kita temui rerimbunan persoalan. mengepungmu hingga kau terhimpit dan terpenjara. cukuplah kamu berusaha saja dan sesekali mengirim sekuntum do'a pada Dia yang Pemilik segala Kasih, bukan karena kamu ingin 'berharap', tapi untuk usaha dan do'amu sendiri. aku tahu, ada berbagai keganjilan dalam laku manusia - manusia, itu wajar, kita ini bukan manusia, tapi manusia yang sedang mencari kemanusiaanya. Kebingungan dalam pencarian tentu saja mesti dibarengi dengan pertanyaan - pertanyaan, dengan keraguan - keraguan. Hingga pada suatu saat, kita bisa menarik benang merah, untuk selaksa kebenaran. Begitupun kebenaran tentang "Cinta" yang telah diBingkai dalam wajah ketidakpastian.

Ahh.. Pagi. Kamu begitu jumawa menemaniku mengukir sketsa tentang Masa lalu.
Jangan Pergi, jangan beranjak. Duduk saja disini, aku tuangkan Teh hangat untuk kita berdua. Bedua saja. Itulah 'mungkin' hidup yang aku maksud. Menghargai lakon hidup yang menjuntai tak tentu.
Kenangan adalah segalanya, Jangan Lupakan itu ; 10 Februari 2013
Untuk Perempuan itu ; dan Masih Perempuan itu yang aku sematkan huruf konsonan J di awalnya 

^^

Jumat, 01 Februari 2013

Renate dan Selembar Teratai Kering

0

 Aku pernah berkata kepada salah seorang seniorku di IPM, Hamsah Fanshuri namanya, bahwa aku suka buku Menidurkan Cinta ( sudah raib ) dan Kisah Tak Berwajahnya Pak Ahyar, dua buah buku yang 'cukup baik' dibaca ketika kita sedang dihimpit galau yang pilu. Senior ini jugalah yang telah mewartakan bahwa membaca mesti menjadi kebutuhan pokok yang paling dasar dan budaya yang mesti kita pelihara, sehingga sampai sekarang, aku sedikit gila terhadap buku - buku. Kini, musim hujan sedang bergumul di semesta kisahku, mau tak mau, Kisah Tak berwajah aku bawa kemana-mana. dan disana, Kisah Renate kembali aku telusuri dengan khidmat. Surat Ahyar itu aku baca. Selembar demi selembar. Lalu tertariklah aku membuka situsnya.

Renate, perempuan yang mensimbolisasi dirinya dengan Hawa dan Hong sang Kekasih Pujaan sebagai Adam. Sebuah simbol yang musykil mungkin. Dia, Perempuan yang mendefinisikan cinta tidak dengan kata, mungkin juga air mata, tapi dengan laku. penantian yang terentang oleh ruang dan waktu dia telusur, dia gadai dengan umur.
Hati macam apa yang telah dititipkan tuhan padamu? Cinta yang kamu pungut dan pahat kala kuliah di Universitas Friedrich Schiller Jena ( Jerman Timur kala itu), dan mesti hilang selama 47 lamanya. Toh kamu masih menunggu, dengan modal surat - surat dan selembar teratai kering dari Hong ok Geun, mahasiswa dari Korea Utara. Meyakini kuat cintamu dan menanti dalam ketidakjelasan yang sungguh sumir itu seperti menghilangkan nalar yang rasional. Dan ketika itu jelas pada waktunya, kamu menemukannya, Hong, Kekasihmu, setelah 47 tahun kalian terpisah.

Aku tak hanya ingin memuja kesetiaanmu kepada laki - laki Korea Utara itu, atau puncak dari segala pencarianmu, tapi, Hati itu. bagaimana kamu menempatkannya pada posisinya yang pasti? Bagaimana kamu me'manage' perasaanmu ketika kamu tahu, tak ada lagi masa depan? Kamu tahu kan, dia sudah menjadi milik yang lain. Dia telah berkeluarga. Lalu, Kata apa yang akan kamu ucap ketika bertemu dengannya, Renate?

“Kami akan berbicara hanya mengenai masa lalu, karena kami tidak punya lagi masa depan.”

Hmm...aku suka kalimat itu,. tapi, aku mungkin tak terlalu setuju.
Aku mulai menggumang lagi. Kamu sedikit membuatku teguh. Tuhan memang selalu menjadi Pencerita yang terbaik. Kisahmu sungguh menjadi terang jalan hidupku yang rapuh. Sebuah jalan hidup yang tak pasti. tapi tetap saja, kepastian aku rengkuh dengan ketidakpastian darinya. Kamu tahu, seribu puisi telah aku dedahkan, di kamar - kamarku hampir penuh coretan tentangnya. Meskipun tak selama penantianmu, tiga minggu bagiku seperti tiga abad, Renate. Adakah kamu menulis puisi juga untuk Hong? seperti aku menulis puisi untuk J?

"Tentu saja, aku punya beberapa puisi untuk Hong, salah satunya aku menulis seperti ini,"




Pada Selembar Daun


Pada selembar daun
Pernah kau rekam ingatan itu
Kau berkisah tentang pohon-pohon elm
Dahan-dahannya yang menggigil dalam angin

Salju juga jatuh di sana
Kota jadi putih dan jam membisu
Sementara kau sendokkan suap
Penghabisan sepi pada mangkukmu itu
Kau pernah menuliskan itu semua
Pada selembar daun, lantas kau kirimkan
Dengan pos kilat khusus musim gugur
Ke sebuah alamat di dasar mimpi
Kini musim berangkat coklat di jendela
Pada secarik warta yang akhirnya melapuk
Ingin kuputar kembali ingatan itu, barangkali
Bakal kubawa ke sebuah addres lain di batas cuaca

Wahh...aku baru tahu, ternyata waktu telah membuat kemampuan menulismu cerkas,
Tapi tentu saja tulisan amat sederhana menggurat kisahmu yang muram
Aku ingin sesekali bertutur sapa denganmu, tidak dengan Imaji,.Bolehkan?
Salam hangat untukmu, semoga berkas kesetiaan itu mengucur pada setiap pecinta - pecinta.

Tabe,


[ Membaca 'Setia' Renate Kleinle, Mangasa, 24 januari 2013 ]