Jumat, 01 Februari 2013

Renate dan Selembar Teratai Kering

0

 Aku pernah berkata kepada salah seorang seniorku di IPM, Hamsah Fanshuri namanya, bahwa aku suka buku Menidurkan Cinta ( sudah raib ) dan Kisah Tak Berwajahnya Pak Ahyar, dua buah buku yang 'cukup baik' dibaca ketika kita sedang dihimpit galau yang pilu. Senior ini jugalah yang telah mewartakan bahwa membaca mesti menjadi kebutuhan pokok yang paling dasar dan budaya yang mesti kita pelihara, sehingga sampai sekarang, aku sedikit gila terhadap buku - buku. Kini, musim hujan sedang bergumul di semesta kisahku, mau tak mau, Kisah Tak berwajah aku bawa kemana-mana. dan disana, Kisah Renate kembali aku telusuri dengan khidmat. Surat Ahyar itu aku baca. Selembar demi selembar. Lalu tertariklah aku membuka situsnya.

Renate, perempuan yang mensimbolisasi dirinya dengan Hawa dan Hong sang Kekasih Pujaan sebagai Adam. Sebuah simbol yang musykil mungkin. Dia, Perempuan yang mendefinisikan cinta tidak dengan kata, mungkin juga air mata, tapi dengan laku. penantian yang terentang oleh ruang dan waktu dia telusur, dia gadai dengan umur.
Hati macam apa yang telah dititipkan tuhan padamu? Cinta yang kamu pungut dan pahat kala kuliah di Universitas Friedrich Schiller Jena ( Jerman Timur kala itu), dan mesti hilang selama 47 lamanya. Toh kamu masih menunggu, dengan modal surat - surat dan selembar teratai kering dari Hong ok Geun, mahasiswa dari Korea Utara. Meyakini kuat cintamu dan menanti dalam ketidakjelasan yang sungguh sumir itu seperti menghilangkan nalar yang rasional. Dan ketika itu jelas pada waktunya, kamu menemukannya, Hong, Kekasihmu, setelah 47 tahun kalian terpisah.

Aku tak hanya ingin memuja kesetiaanmu kepada laki - laki Korea Utara itu, atau puncak dari segala pencarianmu, tapi, Hati itu. bagaimana kamu menempatkannya pada posisinya yang pasti? Bagaimana kamu me'manage' perasaanmu ketika kamu tahu, tak ada lagi masa depan? Kamu tahu kan, dia sudah menjadi milik yang lain. Dia telah berkeluarga. Lalu, Kata apa yang akan kamu ucap ketika bertemu dengannya, Renate?

“Kami akan berbicara hanya mengenai masa lalu, karena kami tidak punya lagi masa depan.”

Hmm...aku suka kalimat itu,. tapi, aku mungkin tak terlalu setuju.
Aku mulai menggumang lagi. Kamu sedikit membuatku teguh. Tuhan memang selalu menjadi Pencerita yang terbaik. Kisahmu sungguh menjadi terang jalan hidupku yang rapuh. Sebuah jalan hidup yang tak pasti. tapi tetap saja, kepastian aku rengkuh dengan ketidakpastian darinya. Kamu tahu, seribu puisi telah aku dedahkan, di kamar - kamarku hampir penuh coretan tentangnya. Meskipun tak selama penantianmu, tiga minggu bagiku seperti tiga abad, Renate. Adakah kamu menulis puisi juga untuk Hong? seperti aku menulis puisi untuk J?

"Tentu saja, aku punya beberapa puisi untuk Hong, salah satunya aku menulis seperti ini,"




Pada Selembar Daun


Pada selembar daun
Pernah kau rekam ingatan itu
Kau berkisah tentang pohon-pohon elm
Dahan-dahannya yang menggigil dalam angin

Salju juga jatuh di sana
Kota jadi putih dan jam membisu
Sementara kau sendokkan suap
Penghabisan sepi pada mangkukmu itu
Kau pernah menuliskan itu semua
Pada selembar daun, lantas kau kirimkan
Dengan pos kilat khusus musim gugur
Ke sebuah alamat di dasar mimpi
Kini musim berangkat coklat di jendela
Pada secarik warta yang akhirnya melapuk
Ingin kuputar kembali ingatan itu, barangkali
Bakal kubawa ke sebuah addres lain di batas cuaca

Wahh...aku baru tahu, ternyata waktu telah membuat kemampuan menulismu cerkas,
Tapi tentu saja tulisan amat sederhana menggurat kisahmu yang muram
Aku ingin sesekali bertutur sapa denganmu, tidak dengan Imaji,.Bolehkan?
Salam hangat untukmu, semoga berkas kesetiaan itu mengucur pada setiap pecinta - pecinta.

Tabe,


[ Membaca 'Setia' Renate Kleinle, Mangasa, 24 januari 2013 ]

No Response to "Renate dan Selembar Teratai Kering"

Posting Komentar