Jumat, 18 April 2014

Euphemia

1


Inilah mungkin surat terakhir yang akan aku gubah, untukmu. Setelah lima windu kita bersama, tak pernah aku alpa menulis karangan. Bagiku, kamu adalah cinta yang dititipkan tuhan untuk hatiku dan apalah daya hamba yang lemah seperti saya, menerimanya meski remuk syaraf – syaraf nadirku. Kita akan bersama selamanya sehingga mungkin seluruh kata akan berhenti. Tinggal kenangan yang akan kita rindu bersama – sama. Sebuah keseluruhan episode yang banyak mengabadikan hidup. Dan kamu tahu, hidup bagi kita adalah seruang rindu yang mungil dipelataran pinggir desa yang ranum. Itulah sabdamu dulu. Dan titahmu menjadi cahaya senja yang takkan lamur.

Pernah pada sebuah Mall, ketika kita duduk diantara ramai kaca gedung – gedung bertingkat, imajinasimu menyentuh buku harian tuhan, disana kamu ingin menuliskan kisah kita dengan sebahagia mungkin. Dengan keriangan yang membuncah, aku hanya tersenyum melihat jalan pikirmu itu. Mungkin karena terlalu cinta atau sebuah ketakutan meramalkan masa depan, aku tak tahu pasti. Hanya kebahagian yang aku tangkap dari kata – kata itu. Dan kita tahu, kata hanya sebagian kecil menerjemahkan pikiran, kadang juga dia keliru. Maka yang manakah kebenaran?
Aku masih duduk dikamarku, berusaha meramu kata terakhir, tapi selalu saja tak kulihat dia mau berbaik hati menunjukkan batas – batas jalannya. Aku berhenti sejenak, menerawang, lalu memalingkan wajahku melihat deretan foto – foto dan puluhan hadiah yang pernah kamu berikan. Aku tersenyum simpul dan mengucap syukur akan moment – moment itu. Sepertinya aku terlalu beruntung.

Aku berdiri, melangkah keluar menuju dapur. Kunyalakan kompor, dan kunaikkan air hingga mendidih. Setelah itu, kuramu kopi hitam dan sedikit gula. Jadilah sebuah jalan ini menjadi sepekat  warna dikopi itu. Aku hirup pelan – pelan sambil asapnya masih mengepul membelai wajahku. Seperti ganja dan asap – asap tukang sihir, aku terjerembab pada kubah mimpi yang sesekali kamu kutip, melayang melukis hitam pelangi. Aku ingat betul!

Mimpi itu – lebih tepatnya sekuntum do’a – yang kamu rapal dengan pelan diantara jejeran kata – kata pongah. Doa yang berharap ‘kelam kisah2 sunyi’, sebuah do’a yang cukup masgul, karena diucap pada keperihan dan ketakberdayaan yang rumit. Aku tak begitu pandai menerjemahkan. Tapi mungkin itu ‘isyarat’, prasaan tak bisa dipaksakan bertahan dan mengkarat. Akan sia-sia menjalaninya, hari-hari akan terlihat hambar, karena diam dan jengah telah menjadi sejarah.

Aku basuh wajahku dengan guyuran air kran yang tersendat – sendat. Aku rasakan dinginnya hingga ketulang sumsum. Hingga tetes terakhir, aku sadar, jiwaku telah mati membeku. Aku diam saja, sambil tersenyum miris. Manusia tak mesti selalu bahagia, kadang duka mesti menjadi rukun penting melengkapi kepingan bahagia itu. Tapi benarkah aku pernah bahagia?

Kemeja hijau terbaikku telah kusetrika. Begitupun setelan jas yang baru kemarin aku ambil dari binatu. Aku bercermin sambil lamat – lamat melihat tubuhku yang tampak kusut dan kurus. Wajahku yang lain mencibir dan sempat mengumpat, “Kamu belalang yang renta”. Aku cuek saja. Tak percaya lagi pada bisikan – bisikan tuhan. Rambut aku minyaki dan kusisir dengan rapi. Tak lupa parfum aku semprotkan. Sempurnalah aku jadinya. Kesempurnaan yang absurd.

Aku kini siap. Berjalan keluar rumah, sambil menenteng bingkisan yang terbalut kertas minyak yang menyala – nyala. Sebuah kado pernikahan. Meski tak semahal Hidupmu, tapi aku cukup yakin akan sedikit menutupi keretakan kecil yang pernah aku singgahkan. Malam menanggapi deburan langkahku dengan muram durja. Terlalu berlebihan mungkin. Tapi itulah wujud belasungkawannya. Aku acuh saja. Langkahku aku seret. Kini lebih cepat, agar duka ini berlalu dengan waktu.

Dan tibalah aku ; pada sekuntum pesta warna warni yang berbau ranum kemana-mana. Harumnya menyimpul membentuk bergulung – gulung kebahagian. Dan setiap mata menjadi silau dengan pesta cahaya malam ini. Begitukah juga rasa yang melilit hatimu malam ini? Aku berdoa, ‘semoga’.

Dengan langkah sedikit gontai, tapi dengan senyum yang mantap, aku kuatkan hati dan diriku untuk berjalan naik menyusur ke pelaminan tempat kau berdiri dengan suamimu. Euphemia, kasihku yang aku titipkan segala rasa dan takdirku untukmu. Aku ucapkan selamat atas ikatan suci yang telah kau pilin dengan sedikit tragedy bulan kemarin. Kamu harus kuat, demikian juga aku. Meskipun tak sekuat dirimu, tapi aku telah memiliki jiwamu yang lampau. itulah kemenangan terbesar dalam paruh hidupku. 

Kamu jangan menangis. Simpan saja air mata itu untuk pemakamanku suatu saat nanti. Aku ini kuat. Aku masih bisa berjalan menyusur malam ditengah badai bahagia yang mendera jalan hidupmu. Aku masih kuat. Kamu yakin saja. Jangan kau hirau lagi. Sudah tak ada ruang yang tersisa. Dan bingkisan ini, aku serahkan. Bukan sebagai tanda kasihku, tapi tanda kematian sisa jiwa yang tak kau miliki sebelumnya. Jiwa – jiwa kelam yang kunubuat dalam lembar pepuisi dan sajak kala kemarin. Itu saja.

 Aku pulang dengan mata sedikit lembab. Moga mendung ini tak mengundang badai. Aku sudah terlampau lelah. Jalan ini bukan lagi jalanku. Aku serahkan seja tapak kaki ini pada angin. Tak peduli aku walau sejengkal. Surat ini telah usai berkisah. Dan malam menjadi penutup moment kisah terbaik.


[ Bantaeng 2013 ; Pada pukul 23.00 Wita _serangkai kisah tlah usai ]

1 Response to Euphemia

12 Agustus 2014 pukul 18.56

Beehh kata katanya.. SubhanaAllah skali kak... Ahhahaa

Posting Komentar