Inilah mungkin surat
terakhir yang akan aku gubah, untukmu. Setelah lima windu kita bersama, tak
pernah aku alpa menulis karangan. Bagiku, kamu adalah cinta yang dititipkan
tuhan untuk hatiku dan apalah daya hamba yang lemah seperti saya, menerimanya
meski remuk syaraf – syaraf nadirku. Kita akan bersama selamanya sehingga
mungkin seluruh kata akan berhenti. Tinggal kenangan yang akan kita rindu
bersama – sama. Sebuah keseluruhan episode yang banyak mengabadikan hidup. Dan
kamu tahu, hidup bagi kita adalah seruang rindu yang mungil dipelataran pinggir
desa yang ranum. Itulah sabdamu dulu. Dan titahmu menjadi cahaya senja yang
takkan lamur.
Pernah pada sebuah Mall,
ketika kita duduk diantara ramai kaca gedung – gedung bertingkat, imajinasimu menyentuh
buku harian tuhan, disana kamu ingin menuliskan kisah kita dengan sebahagia
mungkin. Dengan keriangan yang membuncah, aku hanya tersenyum melihat jalan
pikirmu itu. Mungkin karena terlalu cinta atau sebuah ketakutan meramalkan masa
depan, aku tak tahu pasti. Hanya kebahagian yang aku tangkap dari kata – kata
itu. Dan kita tahu, kata hanya sebagian kecil menerjemahkan pikiran, kadang
juga dia keliru. Maka yang manakah kebenaran?
Aku masih duduk
dikamarku, berusaha meramu kata terakhir, tapi selalu saja tak kulihat dia mau
berbaik hati menunjukkan batas – batas jalannya. Aku berhenti sejenak,
menerawang, lalu memalingkan wajahku melihat deretan foto – foto dan puluhan
hadiah yang pernah kamu berikan. Aku tersenyum simpul dan mengucap syukur akan
moment – moment itu. Sepertinya aku terlalu beruntung.
Aku berdiri, melangkah
keluar menuju dapur. Kunyalakan kompor, dan kunaikkan air hingga mendidih.
Setelah itu, kuramu kopi hitam dan sedikit gula. Jadilah sebuah jalan ini
menjadi sepekat warna dikopi itu. Aku
hirup pelan – pelan sambil asapnya masih mengepul membelai wajahku. Seperti
ganja dan asap – asap tukang sihir, aku terjerembab pada kubah mimpi yang
sesekali kamu kutip, melayang melukis hitam pelangi. Aku ingat betul!
Mimpi itu – lebih
tepatnya sekuntum do’a – yang kamu rapal dengan pelan diantara jejeran kata –
kata pongah. Doa yang berharap ‘kelam kisah2 sunyi’, sebuah do’a yang cukup
masgul, karena diucap pada keperihan dan ketakberdayaan yang rumit. Aku tak
begitu pandai menerjemahkan. Tapi mungkin itu ‘isyarat’, prasaan tak bisa
dipaksakan bertahan dan mengkarat. Akan sia-sia menjalaninya, hari-hari akan
terlihat hambar, karena diam dan jengah telah menjadi sejarah.
Aku basuh wajahku dengan
guyuran air kran yang tersendat – sendat. Aku rasakan dinginnya hingga ketulang
sumsum. Hingga tetes terakhir, aku sadar, jiwaku telah mati membeku. Aku diam
saja, sambil tersenyum miris. Manusia tak mesti selalu bahagia, kadang duka
mesti menjadi rukun penting melengkapi kepingan bahagia itu. Tapi benarkah aku
pernah bahagia?
Kemeja hijau terbaikku
telah kusetrika. Begitupun setelan jas yang baru kemarin aku ambil dari binatu.
Aku bercermin sambil lamat – lamat melihat tubuhku yang tampak kusut dan kurus.
Wajahku yang lain mencibir dan sempat mengumpat, “Kamu belalang yang renta”. Aku
cuek saja. Tak percaya lagi pada bisikan – bisikan tuhan. Rambut aku minyaki
dan kusisir dengan rapi. Tak lupa parfum aku semprotkan. Sempurnalah aku
jadinya. Kesempurnaan yang absurd.
Aku kini siap. Berjalan
keluar rumah, sambil menenteng bingkisan yang terbalut kertas minyak yang
menyala – nyala. Sebuah kado pernikahan. Meski tak semahal Hidupmu, tapi aku
cukup yakin akan sedikit menutupi keretakan kecil yang pernah aku singgahkan.
Malam menanggapi deburan langkahku dengan muram durja. Terlalu berlebihan
mungkin. Tapi itulah wujud belasungkawannya. Aku acuh saja. Langkahku aku
seret. Kini lebih cepat, agar duka ini berlalu dengan waktu.
Dan tibalah aku ; pada
sekuntum pesta warna warni yang berbau ranum kemana-mana. Harumnya menyimpul
membentuk bergulung – gulung kebahagian. Dan setiap mata menjadi silau dengan
pesta cahaya malam ini. Begitukah juga rasa yang melilit hatimu malam ini? Aku
berdoa, ‘semoga’.
Dengan langkah sedikit
gontai, tapi dengan senyum yang mantap, aku kuatkan hati dan diriku untuk
berjalan naik menyusur ke pelaminan tempat kau berdiri dengan suamimu.
Euphemia, kasihku yang aku titipkan segala rasa dan takdirku untukmu. Aku
ucapkan selamat atas ikatan suci yang telah kau pilin dengan sedikit tragedy
bulan kemarin. Kamu harus kuat, demikian juga aku. Meskipun tak sekuat dirimu,
tapi aku telah memiliki jiwamu yang lampau. itulah kemenangan terbesar dalam
paruh hidupku.
Kamu jangan menangis.
Simpan saja air mata itu untuk pemakamanku suatu saat nanti. Aku ini kuat. Aku
masih bisa berjalan menyusur malam ditengah badai bahagia yang mendera jalan
hidupmu. Aku masih kuat. Kamu yakin saja. Jangan kau hirau lagi. Sudah tak ada
ruang yang tersisa. Dan bingkisan ini, aku serahkan. Bukan sebagai tanda
kasihku, tapi tanda kematian sisa jiwa yang tak kau miliki sebelumnya. Jiwa –
jiwa kelam yang kunubuat dalam lembar pepuisi dan sajak kala kemarin. Itu saja.
Aku pulang dengan mata sedikit lembab. Moga
mendung ini tak mengundang badai. Aku sudah terlampau lelah. Jalan ini bukan
lagi jalanku. Aku serahkan seja tapak kaki ini pada angin. Tak peduli aku walau
sejengkal. Surat ini telah usai berkisah. Dan malam menjadi penutup moment kisah
terbaik.
[
Bantaeng 2013 ; Pada pukul 23.00 Wita _serangkai kisah tlah usai ]
1 Response to Euphemia
Beehh kata katanya.. SubhanaAllah skali kak... Ahhahaa
Posting Komentar