Aku
bersamanya ketika dia mesti bolak balik dari satu daerah ke daerah lain hanya
untuk seutas benang perasaan yang dengan mudah terputus oleh derajat “strata sosial”. Beras sama beras, setiap atau mungkin sebagian orang tua akan
mencari yang sederajat dengan mereka.
“Kita ini keluarga besar, harusnya kamu tahu itu Nak. Pilihlah perempuan yang
baik – baik, yang tak mendatangkan siri’ diantara
keluarga kita.”, selalu kata Ibunya.
Tapi
mungkin tidak baginya. Karna, sahabatku semenjak SMP. Aku bersamanya ketika dia
kelelahan sehabis pulang dari melaksanakan tanggung jawabnya sebagai laki-laki
yang baik, sebagai guru, sebagai aktivis sebuah lembaga, dan teman yang baik
dan bersetia, tapi mungkin tidak untuk bebas. Kadang kala dia dengan tulus
meluangkan waktu diantara beban-beban fisik dan psikisnya untuk sekadar
mengajak aku berdiskusi, bercanda , atau menikmati segelas kopi di sore hari
yang kering oleh kesedihan dan kelelahan yang teramat.
“Hidup itu keras Kar,
tapi sekeras apapun hidup, dia akan tampak cantik dihadapan puisi-puisi,”
kataku menghibur.
“Aku sama sekali tak
puitis, apalagi mesti menulis puisi sepertimu. Kelak, kalau aku punya masalah,
kamu sajalah yang menuliskannya,” kelakarnya sambil menyungging senyum.
Selanjutnya, kami akan berdiskusi beberapa persoalan yang kadang hinggap
tiba-tiba.
Aku masih ingat ketika
dia pertama kali mengajak bertemu gadis malang itu. Gadis yang mesti menjadi
lembaran teks yang lusuh dalam buku-bukunya. Dengan perasaan bangga yang
terpancar dari sela-sela matanya, dia berkata “ Gadis itu yang mengantarku
menjelajah bumi pikiran”. Dan kau selalu mengatakan itu sambil tersenyum
simpul. Engkau kemudian merogoh saku celanamu dan kembali mengajakku menikmati
mie pansit langgananmu yang sering engkau banggakan, dan tentu saja itu di
dekat rumah kos Hentza, si gadis malang itu.
Aku tak habis pikir
bila mesti mensistematisasi cintamu padanya. Engkau begitu aneh dengan
kesetiaanmu yang menggila. Aku tak mengerti bagaimana engkau melihat eros yang begitu dangkal bagi beberapa
manusia-manusia. Menjadi laki-laki ansar
dalam menyelesaikan studinya. Engkau selalu memberi dan tak pernah menuntut.
Bahkan terkadang, dengan beraninya engkau melanggar tabu tanggung jawab
formalistik dari kewajibanmu sebagai seorang guru. Belakangan, aku tahu, kamu
mengundurkan diri akibat seringnya kamu tidak masuk mengajar.
Terkadang, aku ingin selalu
bersamamu tercelup, menyelam dan tenggelam dalam kobaran pahammu yang penuh
letupan ide berhadapan dengan berbagai persoalan hidup yang parau. Termasuk
pilihanmu untuk mengundurkan diri sebagai seorang pendidik. Tapi setiap kali
aku tengah asyik berdiskusi, kau malah kembali sibuk dengan perempuan itu. Tiga
sampai empat jam akan kau habiskan dibalik telfon. Pada tahapan itu aku bisa mengerti.
Itu sudah semestinya bagi seorang yang mengatakan dirinya laki-laki. Bagaimana sebuah sikap komitmen mewujud dalam bingkai
kesetiaan. Kalau tidak seperti itu, lebih baik dia jadi banci sajalah.
Perempuan adalah
manifestasi dari keindahan Tuhan yang terpancar dari sikapnya yang kasih dan
penyayang. Dia (perempuan) adalah penggambaran Jamal dalam teks-teks suci yang sering dikutip Murata dalam salah satu bukunya.
Sudah sepantasnyalah kita menyerahkan diri kita pada yang lebih tinggi (Tuhan)
melalui manifestasi perempuan. Maka berbuat baiklah kalian kepada mereka,
gumangku padanya.
Itu yang dia lakukan
selama tiga tahun ini dalam kisahnya. Bayang abu-abu ketidak jelasan Orang Tua
yang setiap anak di belahan bumi manapun sepakat untuk menjunjung mereka,
memuliakan meraka, dan berbuat baik meskipun dengan bentuk kepatuhan yang buta.
Mereka (orang tua) menjadi hakim tak resmi untuk menghukumi fitrah yang
diberikan Tuhan pada diri dua manusia yang saling mencinta. Silsilah mulai
dibentang, sejarah mulai bertutur, dan ketakutan yang tak rasional mulai
diketengahkan di atas altar suci. Kau cukup mendengar dan patuh. Kalau tidak,
silahkan angkat kaki dari daftar keluarga ini. Silahkan pergi sebagai seorang pembangkan yang selalu kau
bungkus dengan baju kebebasan yang tak mendasar.
Begitulah selalu petuah
yang keluar dari mulut kedua orang tuamu. Petuah yang tak pernah kamu bisa patahkan
dengan logika manapun. Petuah yang menjadi bilah pisau tajam mengiris hatimu. Mereka
tak tahu kawan. Apa yang bisa kau dan aku perbuat?
Tapi engkau tak hirau
akan realitas yang timpang itu. Bagimu hidup adalah rentetan kisah indah yang
akan terus kita kenang. Dia tak perlu disesali apalagi ditangisi. Tapi menangis
juga tak apa-apa jika itu bisa membasuh hatimu yang luka. Kita manusia hanya
perlu terus bergerak dan menolak diam. Dan cinta itupun mengalir ketika seluruh rangkaian gerak memilih
berhenti oleh TuhanNya. Terus memberi kasih
tanpa harap cemas dengan Tsunami yang menghadang di persimpangan
jalanmu. Dan itu jalan yang kau pilih. Jalan para pecinta
dengan kemenangan – kemenagan kecil yang terkadang diratapi pada seperempat
malam yang sepi. Kamu selalu tampak tak gentar.
“Bagaimana jalinan
kasihmu dengan Hentza? Sudah diberikan jalan”? kataku pada sebuah sore di
beranda rumahmu.
“Tidak sama sekali,
orang tuaku masih bersikukuh tak merestui hubungan kami. Aku juga mulai
khawatir. Dia sudah hampir wisuda, kamu tahu sendiri. Perempuan biasanya akan
segera dinikahkan oleh orang tuanya jika sudah sarjana”.
“Aku kira, Batara punya
skenario tersendiri atas cintamu. Kamu cukup berdo’a dan bersabar kawan”.
“Thanks”.
###
Kaki – kaki kecil waktu
terus saja berlalu, tak hirau akan orang – orang yang membawa kisah yang kusut
disana – sini. Dan waktu selalu saja menjadi moment pertama yang teringat dalam
sejarah. Seperti pada waktu itu.
Kalau kita benar -
benar mengamati hidup, ada orang-orang
yang diberi mandat oleh keterhubungan yang tak jelas oleh Tuhan, tepatnya
mereka dengan senang hati mengambil peran antagonis dengan menentang dan melawan realitas yang dalam kacamata
mereka itu keliru dan tentu saja mesti melakukan pemotongan kisah. Terlepas itu
benar atau salah. Ini budaya siri’ kawan, adat istiadat yang harus dijunjung
tinggi. Tak bisa dibiarkan berlalu lalang sesuka hati. Dan merekapun muncul
dengan tiba-tiba dengan seonggok kata-kata suci yang mematikan rasa. Seakan
mereka tak pernah merasakan manis berkasih sayang. Entahlah. Tapi mau tidak
mau, dimulailah klimaks itu.
Siang itu , disebuah
apotik tempat Hentza bekerja paruh
waktu, dia bertemu dengan seorang ibu paruh baya (teman baik ibu Karna). Kata
mulai dilontarkan oleh ibu yang kebetulan istri seorang kepala desa tempat
Hentza tinggal.
“Kamu sebaiknya
menjauhi Karna, anaknya Daeng Menang, bagaimanapun kamu berusaha, kalian tetap
tak akan mendapat restu. Kamu pasti tahu, perbedaan derajat diantara keluarga
kalian, ditambah lagi sejarah orang tuamu yang Silariang tak akan
berterima. Saran saya, sebaiknya kamu mulai menjauh dari sekarang”..
Hentza tertegung mematung
dalam ramai orang-orang. Dadanya mulai sesak, perih oleh kata dan kenyataan.
Berita itu menderas begitu saja tanpa petanda kabar. Tangis dia tahan untuk
menyiram hatinya yang melepuh. Dunianya hancur, dan tibalah gelap singgah
disepanjang hidupnya yang penuh riang dan bahagia. Entah bagaimana selanjutnya
dia melangkah menjejak hidup.
Ketidaksetujuan orang
tuamu atas hubungan kalian berdua diketengahkan dihadapan gadis itu.
Ketidaksetujuan yang selama ini tak mau engkau ungkap kepadanya untuk menjaga
hubungan kalian ternyata terlontar oleh tokoh antagonis itu. Alasanmu cukup
beralasan kenapa kau menunda untuk mengatakannya. Selain masih berusaha
membujuk orang tuamu, gadis yang hampir menyelesaikan skripsinya itu tak mau
engkau ganggu dengan pikiran-pikiran tak berpengharapan
Pukul tiga dini hari
itu, aku terbangun oleh suara dering handphone pada saku celanaku. Suaranya
sayup-sayup terdengar pelan diseberang sana. Isak tangis kamu perdengarkan untuk
mengekspresikan kesedihanmu atas kesedihannya. Tragedy telah lepas dari buhulnya. Keputusan telah
diambil oleh gadis itu. Mundur dan Putus asa menjadi jalan yang samar-samar
untuk dijelajahi. Aku mendengarkan dengan hidmat, terkejut dan simpati. Kamu
yang selama ini tak pernah terlukis kesedihan diwajahmu kini mesti terisak dalam sunyi kepahitan. Malam semakin asik
bersembunyi dalam gelap. Dan sesekali mengintip manusia-manusia yang terbaring di atas Arasy keagungannya .
Gadis itu menghilang
selama dua hari, dan kau mencarinya di setiap sudut-sudut Makassar yang panas
dan pengap penuh debu jalanan. Dikemudian hari, ketika kau menemukannya
kembali, gadis itu akhirnya berkisah tentang sesuatu yang dia katakan prinsip
. restu orang tua menjadi salju dihatinya. Dia junjung tinggi-tinggi.
Menjadi sakral baginya untuk dijadikan pegangan dalam meniti hidup yang keruh.
Tapi sebelum salju itu turun dalam gersang hidupnya, dia terlanjur mencair dan
mengalir ke hilir tak berujung. Pikiran-pikiran yang cukup radikal dalam budaya
masyarakat Makassar menjadi alternative pilihan.
“Baiklah, kita akan silariang, aku siap menanggung siri’ dan
terbunuh dikampung seberang oleh keluargamu”. Kata Karna dengan tiba-tiba
kepada Hentza.
Hentza menggeleng tanda
tak setuju. Silariang yang kau
tawarkan dia tampik dengan sejarah kelam kedua orang tuanya. Masih terngiang
diingatannya ketika haid pertamanya mesti dimandikan oleh orang lain, bukan
oleh ibunya. Gadis itu tak mau mengulang sejarah siri’ keluarganya.
“Kalau begitu, aku
tidak akan menikah sebelum kau menikah”, lanjut Karna dengan cepat. Sebuah
ujaran yang cukup terburu – buru rupanya. Kamu mungkin lupa, statemen itu agak
lucu bagi Hentza, karena sebelumnya dia pernah mendengar perkataan yang sama
dari mulut laki-laki sebelum engkau. Dan satu tahun berikutnya, laki-laki itu
ternyata telah menikah dengan gadis lain. Janji tak ditepati dan Pacce
tak terelakkan. Kamu jatuh lunglai. Kisah yang kamu bangun selama tiga tahun
ini mesti terjerembab dalam sebuah epos siri’ na pacce. Selengkungan kultur
yang mendarah daging.
Hari hari berikutnya
adalah hari-hari gersang tanpa belaian nyaman kata-kata si lelaki itu,
laki-laki yang telah membawa separuh hatinya, lelaki yang terlanjur menanam
semburat kasih dan sayang yang menumbuhkan kenangan hitam putih kesedihan. Tawa
berhenti pada detik ketiga jarum jam, setelah itu hati menjerit dan berteriak lantang memanggil
namanya. Diri kadang menjadi hipokrit pada saat tertentu kesedihan. Sekadar
untuk menahan sakit yang terlunta-lunta. Tak mampu bangun untuk menatap bayang
matahari.
Pada sebuah senja yang
menguning, pada garis pantai Lamangkia di
kampungmu, jilbabmu yang putih
berkibar diterbangkan angin laut menelusur belantara terdalam samudra. Kamu
berdiri sendirian. Disana, sayup-sayup bergumang lusuh pikiran – pikiran yang
terbang bersama burung-burung laut.
“Ada
masa ketika kenangan menyimpan kisah hitam di taman hati, yang mengharuskan
kita belajar pada filosofi pasir yang tak pernah menyimpan dendam pada setiap
tapak kaki yang menginjaknya,,lepaskan semua beban di hati ki ta”,
kata gadis itu menutup lembaran terhitam kisahnya.