Sabtu, 15 Desember 2012

HENTZA

0

Aku bersamanya ketika dia mesti bolak balik dari satu daerah ke daerah lain hanya untuk seutas benang perasaan yang dengan mudah terputus oleh derajat  “strata sosial”. Beras sama beras, setiap atau mungkin sebagian orang tua akan mencari yang sederajat dengan mereka. “Kita ini keluarga besar, harusnya kamu tahu itu Nak. Pilihlah perempuan yang baik – baik, yang tak mendatangkan siri’ diantara keluarga kita.”, selalu kata Ibunya.
Tapi mungkin tidak baginya. Karna, sahabatku semenjak SMP. Aku bersamanya ketika dia kelelahan sehabis pulang dari melaksanakan tanggung jawabnya sebagai laki-laki yang baik, sebagai guru, sebagai aktivis sebuah lembaga, dan teman yang baik dan bersetia, tapi mungkin tidak untuk  bebas. Kadang kala dia dengan tulus meluangkan waktu diantara beban-beban fisik dan psikisnya untuk sekadar mengajak aku berdiskusi, bercanda , atau menikmati segelas kopi di sore hari yang kering oleh kesedihan dan kelelahan yang teramat.
“Hidup itu keras Kar, tapi sekeras apapun hidup, dia akan tampak cantik dihadapan puisi-puisi,” kataku menghibur.
“Aku sama sekali tak puitis, apalagi mesti menulis puisi sepertimu. Kelak, kalau aku punya masalah, kamu sajalah yang menuliskannya,” kelakarnya sambil menyungging senyum. Selanjutnya, kami akan berdiskusi beberapa persoalan yang kadang hinggap tiba-tiba.
Aku masih ingat ketika dia pertama kali mengajak bertemu gadis malang itu. Gadis yang mesti menjadi lembaran teks yang lusuh dalam buku-bukunya. Dengan perasaan bangga yang terpancar dari sela-sela matanya, dia berkata “ Gadis itu yang mengantarku menjelajah bumi pikiran”. Dan kau selalu mengatakan itu sambil tersenyum simpul. Engkau kemudian merogoh saku celanamu dan kembali mengajakku menikmati mie pansit langgananmu yang sering engkau banggakan, dan tentu saja itu di dekat rumah kos Hentza, si gadis malang itu.
Aku tak habis pikir bila mesti mensistematisasi cintamu padanya. Engkau begitu aneh dengan kesetiaanmu yang menggila. Aku tak mengerti bagaimana engkau melihat eros yang begitu dangkal bagi beberapa manusia-manusia. Menjadi laki-laki ansar dalam menyelesaikan studinya. Engkau selalu memberi dan tak pernah menuntut. Bahkan terkadang, dengan beraninya engkau melanggar tabu tanggung jawab formalistik dari kewajibanmu sebagai seorang guru. Belakangan, aku tahu, kamu mengundurkan diri akibat seringnya kamu tidak masuk mengajar.
Terkadang, aku ingin selalu bersamamu tercelup, menyelam dan tenggelam dalam kobaran pahammu yang penuh letupan ide berhadapan dengan berbagai persoalan hidup yang parau. Termasuk pilihanmu untuk mengundurkan diri sebagai seorang pendidik. Tapi setiap kali aku tengah asyik berdiskusi, kau malah kembali sibuk dengan perempuan itu. Tiga sampai empat jam akan kau habiskan dibalik telfon. Pada tahapan itu aku bisa mengerti. Itu sudah semestinya bagi seorang yang mengatakan dirinya laki-laki. Bagaimana sebuah sikap komitmen mewujud dalam bingkai kesetiaan. Kalau tidak seperti itu, lebih baik dia jadi banci sajalah.
Perempuan adalah manifestasi dari keindahan Tuhan yang terpancar dari sikapnya yang kasih dan penyayang. Dia (perempuan) adalah penggambaran Jamal dalam teks-teks suci yang sering dikutip Murata dalam  salah satu bukunya. Sudah sepantasnyalah kita menyerahkan diri kita pada yang lebih tinggi (Tuhan) melalui manifestasi perempuan. Maka berbuat baiklah kalian kepada mereka, gumangku padanya.
Itu yang dia lakukan selama tiga tahun ini dalam kisahnya. Bayang abu-abu ketidak jelasan Orang Tua yang setiap anak di belahan bumi manapun sepakat untuk menjunjung mereka, memuliakan meraka, dan berbuat baik meskipun dengan bentuk kepatuhan yang buta. Mereka (orang tua) menjadi hakim tak resmi untuk menghukumi fitrah yang diberikan Tuhan pada diri dua manusia yang saling mencinta. Silsilah mulai dibentang, sejarah mulai bertutur, dan ketakutan yang tak rasional mulai diketengahkan di atas altar suci. Kau cukup mendengar dan patuh. Kalau tidak, silahkan angkat kaki dari daftar keluarga ini. Silahkan pergi  sebagai seorang pembangkan yang selalu kau bungkus dengan baju kebebasan yang tak mendasar.
Begitulah selalu petuah yang keluar dari mulut kedua orang tuamu. Petuah yang tak pernah kamu bisa patahkan dengan logika manapun. Petuah yang menjadi bilah pisau tajam mengiris hatimu. Mereka tak tahu kawan. Apa yang bisa kau dan aku perbuat?
Tapi engkau tak hirau akan realitas yang timpang itu. Bagimu hidup adalah rentetan kisah indah yang akan terus kita kenang. Dia tak perlu disesali apalagi ditangisi. Tapi menangis juga tak apa-apa jika itu bisa membasuh hatimu yang luka. Kita manusia hanya perlu terus bergerak dan menolak diam. Dan cinta itupun mengalir  ketika seluruh rangkaian gerak memilih berhenti oleh TuhanNya. Terus memberi kasih  tanpa harap cemas dengan Tsunami yang menghadang di persimpangan jalanmu. Dan  itu  jalan yang kau pilih. Jalan para pecinta dengan kemenangan – kemenagan kecil yang terkadang diratapi pada seperempat malam yang sepi. Kamu selalu tampak tak gentar.
“Bagaimana jalinan kasihmu dengan Hentza? Sudah diberikan jalan”? kataku pada sebuah sore di beranda rumahmu.
“Tidak sama sekali, orang tuaku masih bersikukuh tak merestui hubungan kami. Aku juga mulai khawatir. Dia sudah hampir wisuda, kamu tahu sendiri. Perempuan biasanya akan segera dinikahkan oleh orang tuanya jika sudah sarjana”.
“Aku kira, Batara punya skenario tersendiri atas cintamu. Kamu cukup berdo’a dan bersabar kawan”.
“Thanks”.
###
Kaki – kaki kecil waktu terus saja berlalu, tak hirau akan orang – orang yang membawa kisah yang kusut disana – sini. Dan waktu selalu saja menjadi moment pertama yang teringat dalam sejarah. Seperti pada waktu itu.
Kalau kita benar - benar mengamati hidup,  ada orang-orang yang diberi mandat oleh keterhubungan yang tak jelas oleh Tuhan, tepatnya mereka dengan senang hati mengambil peran antagonis dengan menentang  dan melawan realitas yang dalam kacamata mereka itu keliru dan tentu saja mesti melakukan pemotongan kisah. Terlepas itu benar atau salah. Ini budaya siri’ kawan, adat istiadat yang harus dijunjung tinggi. Tak bisa dibiarkan berlalu lalang sesuka hati. Dan merekapun muncul dengan tiba-tiba dengan seonggok kata-kata suci yang mematikan rasa. Seakan mereka tak pernah merasakan manis berkasih sayang. Entahlah. Tapi mau tidak mau, dimulailah klimaks itu.
Siang itu , disebuah apotik tempat Hentza bekerja paruh waktu, dia bertemu dengan seorang ibu paruh baya (teman baik ibu Karna). Kata mulai dilontarkan oleh ibu yang kebetulan istri seorang kepala desa tempat Hentza tinggal.
“Kamu sebaiknya menjauhi Karna, anaknya Daeng Menang, bagaimanapun kamu berusaha, kalian tetap tak akan mendapat restu. Kamu pasti tahu, perbedaan derajat diantara keluarga kalian, ditambah lagi sejarah orang tuamu yang Silariang  tak akan berterima. Saran saya, sebaiknya kamu mulai menjauh dari sekarang”..
Hentza tertegung mematung dalam ramai orang-orang. Dadanya mulai sesak, perih oleh kata dan kenyataan. Berita itu menderas begitu saja tanpa petanda kabar. Tangis dia tahan untuk menyiram hatinya yang melepuh. Dunianya hancur, dan tibalah gelap singgah disepanjang hidupnya yang penuh riang dan bahagia. Entah bagaimana selanjutnya dia melangkah menjejak hidup.
Ketidaksetujuan orang tuamu atas hubungan kalian berdua diketengahkan dihadapan gadis itu. Ketidaksetujuan yang selama ini tak mau engkau ungkap kepadanya untuk menjaga hubungan kalian ternyata terlontar oleh tokoh antagonis itu. Alasanmu cukup beralasan kenapa kau menunda untuk mengatakannya. Selain masih berusaha membujuk orang tuamu, gadis yang hampir menyelesaikan skripsinya itu tak mau engkau ganggu dengan pikiran-pikiran tak berpengharapan
Pukul tiga dini hari itu, aku terbangun oleh suara dering handphone pada saku celanaku. Suaranya sayup-sayup terdengar pelan diseberang sana. Isak tangis kamu perdengarkan untuk mengekspresikan kesedihanmu atas kesedihannya. Tragedy  telah lepas dari buhulnya. Keputusan telah diambil oleh gadis itu. Mundur dan Putus asa menjadi jalan yang samar-samar untuk dijelajahi. Aku mendengarkan dengan hidmat, terkejut dan simpati. Kamu yang selama ini tak pernah terlukis kesedihan diwajahmu kini mesti terisak  dalam sunyi kepahitan. Malam semakin asik bersembunyi dalam gelap. Dan sesekali mengintip manusia-manusia yang  terbaring di atas Arasy keagungannya .
Gadis itu menghilang selama dua hari, dan kau mencarinya di setiap sudut-sudut Makassar yang panas dan pengap penuh debu jalanan. Dikemudian hari, ketika kau menemukannya kembali, gadis itu akhirnya berkisah tentang sesuatu yang dia katakan  prinsip . restu orang tua menjadi salju dihatinya. Dia junjung tinggi-tinggi. Menjadi sakral baginya untuk dijadikan pegangan dalam meniti hidup yang keruh. Tapi sebelum salju itu turun dalam gersang hidupnya, dia terlanjur mencair dan mengalir ke hilir tak berujung. Pikiran-pikiran yang cukup radikal dalam budaya masyarakat Makassar menjadi alternative pilihan.
“Baiklah, kita akan silariang, aku siap menanggung siri’ dan terbunuh dikampung seberang oleh keluargamu”. Kata Karna dengan tiba-tiba kepada Hentza.
Hentza menggeleng tanda tak setuju. Silariang yang kau tawarkan dia tampik dengan sejarah kelam kedua orang tuanya. Masih terngiang diingatannya ketika haid pertamanya mesti dimandikan oleh orang lain, bukan oleh ibunya. Gadis itu tak mau mengulang sejarah siri’ keluarganya.
“Kalau begitu, aku tidak akan menikah sebelum kau menikah”, lanjut Karna dengan cepat. Sebuah ujaran yang cukup terburu – buru rupanya. Kamu mungkin lupa, statemen itu agak lucu bagi Hentza, karena sebelumnya dia pernah mendengar perkataan yang sama dari mulut laki-laki sebelum engkau. Dan satu tahun berikutnya, laki-laki itu ternyata telah menikah dengan gadis lain. Janji tak ditepati dan  Pacce tak terelakkan. Kamu jatuh lunglai. Kisah yang kamu bangun selama tiga tahun ini mesti terjerembab dalam sebuah epos siri’ na pacce. Selengkungan kultur yang mendarah daging.
Hari hari berikutnya adalah hari-hari gersang tanpa belaian nyaman kata-kata si lelaki itu, laki-laki yang telah membawa separuh hatinya, lelaki yang terlanjur menanam semburat kasih dan sayang yang menumbuhkan kenangan hitam putih kesedihan. Tawa berhenti pada detik ketiga jarum jam, setelah itu  hati menjerit dan berteriak lantang memanggil namanya. Diri kadang menjadi hipokrit pada saat tertentu kesedihan. Sekadar untuk menahan sakit yang terlunta-lunta. Tak mampu bangun untuk menatap bayang matahari.
Pada sebuah senja yang menguning, pada garis pantai Lamangkia di kampungmu, jilbabmu yang putih berkibar diterbangkan angin laut menelusur belantara terdalam samudra. Kamu berdiri sendirian. Disana, sayup-sayup bergumang lusuh pikiran – pikiran yang terbang bersama burung-burung laut.
“Ada masa ketika kenangan menyimpan kisah hitam di taman hati, yang mengharuskan kita belajar pada filosofi pasir yang tak pernah menyimpan dendam pada setiap tapak kaki yang menginjaknya,,lepaskan semua beban di hati ki ta”, kata gadis itu menutup lembaran terhitam kisahnya. 

Senin, 10 Desember 2012

Cerita sederhana tentang kemarau

0



 


Diantara mendung yang menggulung ini, aku diliputi perasaan dingin. Gelap menjalar dimana – mana, seakan semua akan tampak sirna. Hujan akan turun, dan sebagian manusia pada siap memuja. Setiap kata disiapkan, setiap moment diadakan, maka carita pun akan lahir. Dari rahim siapa saja.

Aku makin dingin saja, selentingan perasaan tak menentu. Rindu akan cahaya yang lamat – lamat muncul, diantara kisaran langit kuning di ufuk timur. Cahya yang menghangatkan. Kamu tahu tentang dia?

Baiklah, aku akan sedikit bertutur.

Dia bukan hujan yang di puja dengan kesusastraan yang puitis oleh beberapa pujangga, tapi seperti kaum proletariat yang tersisi di kolom jembatan, pengemis di jalan-jalan, atau pencopet di pasar-pasar, dia kemarau yang hanya sesekali dikisahkan dengan angka-angka statistic, kadang muncul diantara  Mei dan September, lalu menjadi hilang dengan emoh dan caci maki pada awal December.

Kemarau adalah sosok yang sabar dalam takdirnya yang dianugerahi terik. Terik yang membawa hangat dikala hujan datang bertamu dengan tiba-tiba, dengan amuknya yang deras mengguyur siapa saja. Terik yang memberi ruh kepada tanaman-tanaman petani agar berfotosintesis, lalu menjadi bunga, lalu berbuah. Dan kemarau yang terik tak juga menjadi ruang yang utuh untuk sekadar dibingkai dalam kata-kata yang tampak indah. Dia juga bukan atmosfir yang tapat untuk menggelar acara diskusi yang sejuk tenang. Dia kadang-kadang hanya menjadi ukuran pembeda untuk melihat endapan teduh dan dingin hujan. Kesempurnaan yang estetik untuk setitik garis air.

Suatu ketika, kering melanda dataran sebuah wilayah. Tanah menjadi retak, ikan-ikan menghilang, petani dan nelayan tambak pun ikut melarat. Kemarau menjadi buah bibir cibiran. Manusia mengumpat, menyalahkan kemarau yang berkepanjangan, bahkan tuhan ikut-ikutan disematkan namanya. Objek caci maki yang diam-diam disisipkan.

Adalah serangkai tindakan agresif manusia yang cenderung melakukan tindakan kekerasan terhadap alam. Terhadap pepohonan di hutan-hutan dan pinggir jalan, atau dimanapun hijau coba bebas  merambat dengan lebat. Konsep estetika manusia coba diterapkan terhadap lingkungan. Hasrat menguasai dan menggatinya dengan membangun gedung-gedung seakan tak punya ujung dari batas-batas kemanusiaan. Manusia menjadi liar. Mereka merusak tata kosmik semesta.dan kemarau semakin mendapat ruang yang nyaman untuk tumbuh, tapi sekaligus menjadi malapetaka.

Kemaraupun diseret ke pembaringan, hendak dipenggal lehernya. Dia menjadi satu-satunya titik perhentian manusia melampiaskan amarah berkepanjangan. Kemarau menjadi biang keladi. Sebuah latar permusuhan yang semakin menjadi-jadi. Imbasnya, alampun menjadi buas. Dan manusia tampak panik.
Hanya hujan yang sekali-kali menjadi penghibur mereka. Hujan menjadi teman, menjadi kekasih yang selalu dikisahkan diantara ranjang dan meja makan, diantara buku dan layar datar. Dan kadang-kadang menjadi sebaris sajak yang tiba-tiba hadir begitu saja. Tanpa kita sadar, bahwa ada juga jejak hitam diantara setiap baris air yang dia bawa. Dan kita manusia tak punya cukup bahasa untuk sekedar menyapanya.

Lalu, kemarau terlupakan, kalau bukan diumpat disetiap terik. Ketika anak-anak kecil bersorak ria menunggu hujan, diantara mendung yang menggunung di ufuk timur sana. Maka, aku hanya bisa menuliskan jejak kemarau dengan sedikit kata.
Itu saja.

[ Rumah Asal. 2012]





Senin, 19 November 2012

LEVITES'

0





Para Levites’ itu terjebak pada sebuah arena. Pada sebuah problem atau persoalan yang likat dan serius. Tak ada setitik jalan cahaya sebagai pemandu menuju yang benar. Dan kronik itu berjuntai dan berkelindang meng-sketsa dan lamur.

Dan apapun itu, ketika sudah terkait dengan persoalan kecamuk rasa, lebih kurang akan atau agak susah dibawa ke dalam arena yang sehat ( yang sifatnya intelektual). Persoalan rasa atau emotif dalam hal ini marah, benci, cemburu, diskriminatif, anarki dan yang sejenisnya, akan susah menemukan sebuah titik simpul dalam sebuah arena diskusi. Apalagi ketika persoalan itu adalah persoalan-persoalan prinsipil yang sudah mengakar dan mendarah daging, maka ‘diam’ menjadi jalan alternatif untuk berdamai sesaat. Kebenaran itu persoalan belakangan, Ego itu lebih utama. Benarkah?

Selain ‘diam’, menjadi bijak mungkin sedikit ampuh. Bijak yang saya maksud adalah bagaimana kemudian mendamaikan atau mendinginkan diskursus dua kutub yang saling bersitegang tersebut (?). Sikap dewasa dan mengalah adalah kompilasi sederhana kerangka sistemik dari sikap ‘bijaksana tersebut’. Kosakata ‘Bijak’ disini sebenarnya cenderung ingin melihat persoalan (kebenaran) sebagai sesuatu yang belakangan (sekunder), termasuk efek atau perubahan (kesadaran dari si subjek). Yang ‘primer’ atau yang utama atau yang paling penting dan urgen bagi ‘manusia bijak’ adalah bagaimana melihat, mengerti, memahami orang lain/subjek yang bertikai itu sebagai pribadi yang berbeda dari orang lain, yang belakangan melahirkan sikap ‘pengertian’ yang cenderung mendiamkan. Dalam hal ini ‘memahami’ si subjek itu sendiri. Mendiamkan sesuatu sama saja tak berbuat apa-apa yang juga berarti memposisikan sesuatu sebagaimana adanya. Efeknya, si subjek akan mempertegas dirinya sebagai seorang pribadi yang kaku, tak berdaya, bodoh, dan cenderung untuk selalu mempsisikan diri sebagai korban yang tak berdaya.

Mungkin, bagi kebanyakan orang, bijaksana dan dewasa selalu dilekatkan sebagai makna yang membei efek positif. Bijaksana dan kedewasaan menjadi karakter seorang pribadi yang wajib dimiliki dan lebih jauh lagi diteladani. Filsafat dan beberapa disiplin ilmu yang lain cenderung menuju makam tersebut. Selain itu, masih dalam sebagian besar pahaman kebanyakan orang, bahwa orang-orang yang senang membaca dan berdiskusi tentang buku-buku filsafat atau yang lainnya, secara otomatis akan menjadi bijak dan dewasa. Apalagi ketika jenjang akademiknya sudah lumayan tinggi.
Prestise di atas tentu saja tidak sepenuhnya benar. Tapi kalau betul, maka saya adalah orang pertama yang tak ingin menjadi bijak dan dewasa. Mengapa?

Pertama, kebijaksanaan-bagi saya-  ketika melumpuhkan atau menutup ruang-ruang diskusi dan intelektual dengan tutur yang seolah –olah sejuk dan damai adalah kebijaksanaan yang palsu. Kebijaksanaan yang tak mempunyai kedalaman dan juga tak ingin mengungkap apa-apa. Kebijaksanaan yang hanya ingin mewartakan ketenangan dan kedamaian dalam melihat persoalan-persoalan yang sebenarnya kompleks, kebijaksanaan itu mungkin hanya ada di menara gading. Dia ( baca ; sikap bijak) absurd dan cenderung menipu. Dia ibarat pil extasi yang ketika kita minum akan mendatangkan ketenangan dan kesejukan. Tak ada lagi persoalan, entah itu benar atau salah. Atau dalam agama, sikap itu seperti dogma-dogma atau ayat-ayat yang dicomot yang mesti kita membuta tanpa dialog. Ketika kebenarn itu akan mengancam silaturahmi atau relasi sosial, maka sesegera mungkin kita bungkam dia.

Kedua, ketika kebijaksanaan itu kemudian menutup ruang-ruang kesadaran yang secara inheren atau fitrah ada dalam diri kita, maka penting untuk kita bongkar dan munculkan ke permukaan. Sikap bijaksana yang enggan untuk secara jujur mengkritik dan menelusur lebih dalam  dan lebih luas lagi  khasanah berfikir dan realitas objektif ( konteks ruang) dimana individu-individu atau para levites’ yang berbeda secara pribadi adalah sikap bijaksana yang pasif kalau bukan apatis.
Oleh karenanya, sebagai seorang yang sedang menelusur jejak jejak kedirian yang simpan siur dalam arena cultural dan intelektual, maka saya menolak menjadi bijak ataupun dewasa. Lalu, kamu akan menjadi seperti apa kalau tidak keduanya?

[ Mangasa, 18 April 2012 ]

Sabtu, 17 November 2012


KARTINI

Perempuan ; adalah sosok yang dalam budaya yang mengakar di masyarakat menjadi penentu status kehormatan sebuah keluarga.  Dia (baca ; perempuan) adalah Aib yang terselubung yang berpotensi merusak nama baik suatu keluarga.  Selain itu dalam sejarah umat manusia, perempuan terkadang (bahkan selalu) menjadi mahluk kedua setelah laki-laki.  Para psikolog dan sosiolog  telah mendokumentasikan mereka  sebagai mahluk yang tak sempurna, sebagai pelengkap kehidupan kaum adam. Mereka adalah mahluk kedua (the second sex) setelah laki-laki yang keberadaanya hanya untuk menjadi pelayan yang hak-haknya telah dipenjara.
Perempuan; dibeberapa literature-literatur barat mendeskripsikan mereka sebagai mahluk yang tidak lebih dari binatang ternak yang tidak boleh menikmati hak-haknya.  Dan lebih ironis lagi beberapa ulama tradisional mengatakan bahwa “Wanita harus tunduk kepada laki-laki, meskipun sedapat mungkin juga diberi hak,namun tidak melebihi apa yang telah ditetapkan oleh syariat" [1]
Ada sebuah penindasan terselubung dan halus terhadap perempuan oleh kaum laki-laki yang perempuan (bahkan kita masyarakat) tidak sadari.  Tapi Kadang-kadang (segelintir perempuan) menyadari hal ini tapi sebagian dari mereka dengan keterpaksaan yang bahagia menerimanya sebagai sebuah bentuk ‘kenikmatan’.   Bentuk serta konsep dari penindasan ini secara sangat sistematis dan jelas dimuat dalam lembaran kitab-kitab tafsir klasik, pendidikan, disiplin, pemikiran, budaya, peradaban, dan tata cara kemasyarakatan.

Maka, terbentuklah sketsa wajah perempuan dari system  dominasi tersebut.   Wajah perempuan yang sangat akrab dengan kita dan menjadi banyak referensi ideal bagi anak-anak perempuan mereka yang terlahir pada generasi selanjutnya.
Bahwa; Perempuan yang mengasuh anak-anaknya ,atau perempuan yang duduk dirumah sambil menunggu suami-suami mereka datang, atau perempuan yang hidup dalam dunia sempit jilbabnya yang terhampar lebar.
Kawan; Perempuan bukanlah aurat yang seharusnya ditutupi dari orang lain sampai tertutup seluruh tubuhnya,mukanya,suaranya,dan bahkan namanya. 
Mereka (perempuan) yang ditindas dan direnggut hak-hak kemanusiaannya oleh agamanya yang sakral dan suci.  Mereka tidak dibiarkan menghirup alam kebebasan layaknya laki-laki.  Atas nama agama dan budaya,mereka menjadi mahluk yang hanya hidup dalam rumah.  Kaum perempuan ditempatkan dalam kategori yang sama seperti mesin cuci.  Nilai-nilai manusiawinya telah direndakan menjadi “ibu si anak”[3] Tak lagi menyandang nama,apalagi identitasnya.
Boleh jadi, inilah yang mereka harapkan. Menjadi pelayan terhormat bagi suaminya, inilah wajah perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan tradisional dan konservatif.  Lalu,apa yang mesti diperbuat?
Dibelahan bumi yang lain,ada sketsa wajah perempuan lucu yang dibesarkan oleh modernitas. Kata Ali Syariati, mereka adalah perempuan-perempuan malam minggu, para nyonya rumah, milik bapak-bapak usia senja. Mereka dengan mudah  kita temukan di sudut-sudut malam yang dingin, mereka juga dapat kita temui di lorong-lorong rumah dan kontrakan,mendapati mereka bergunjing atau mempertengkarkan anak perempuan mereka jika mereka telah usai bertengkar sesama ibu-ibu. 

Atau kita akan mendapati mereka sibuk mengeluh, menggerutu, dan berbangga diri dengan perhiasannya di pasar-pasar ,di pabrik,dan emperan-emperan toko,bahkan dalam kamar mandi yang penuh sesak oleh nyonya-nyonya rumah.
Dan tibalah saatnya bagi perempuan-perempuan muda,”Putri dari perempuan ini”[4], untuk mencari dan menemukan identitasnya yang autentik. Tapi, pertanyaanya, sosok seperti apa? Identitas seperti apa?
Mereka menjadi perempuan muda yang kesepian dan hampa dalam pencariannya.  Mereka menjadi mahluk gelap yang coba mencari secercah cahaya ideal perempuan.  Terkadang mereka lelah dalam pencariannya dan  berhenti,menerima diri sebagaimana adanya,bukan sebagaimana mestinya.  ”Mereka adalah generasi yang berbeda dan musim yang berbeda, hidup dalam dunia pertengahan yang mempunyai dua makna”[5]. 
Pada tahap dimana seorang perempuan muda berhenti dalam usahanya memilih budaya masa lampau,budaya leluhur dan nenek moyangnya dengan sebuah tatanan dunia yang menawarkan buku-buku,novel,terjemahan,pemikiran, dan berbagai kesenian,maka saat itulah secara bersamaan dia hancur dan tergilas.
Perempuan muda ini menjadi penjilat konsumerisme,mereka berjalan di mall-mall dengan membanggakan tubuh telanjang mereka,atau mereka akan menjadi mahluk jualan di TV atau film-film,serta produk – produk jualan terbaru.  Mereka adalah pendukung setia kapitalisme. Mereka ikut ambil bagian dalam hal penggusuran rumah orang-orang miskin,orang-orang lemah dan pinggiran. 
Mereka adalah perempuan-perempuan muda yang siap mentransformasi masyarakat sesuai selera perusahaan-perusahaan asing.
Apa yang mesti dilakukan perempuan-perempuan sekarang? Apakah mereka akan tetap dibiarkan menjadi mahluk tanpa ruh yang berjalan dengan perhiasan-perhiasan,baju dan kebudayaan baru yang mereka kutip di TV dan media lainnya?Atau perempuan yang memberikan ‘arti’ hidup di belakang layar budaya dan tradisi yang bias melihat nilai-nilai kemanusiaan?Atau perempuan yang mendekap dan mengintip di lubang kunci atau jendela sampai menunggu seorang pencuri yang diberi wewenang untuk membawanya pergi ke dalam heremnya atau dibiarkan bebas menikmati alam modernitas yang absurd dan tetap dibatasi oleh tembok budaya diam dan patriarchy oleh orang tuanya yang tentu saja akan menghancurkan kebebasan individualnya?
Apa yang mesti dilakukan?
Menurut pendapat Hatta, manusia terlebih dulu harus diberikan kebebasannya.  Perempuan mesti merdeka. Mereka mesti dilepaskan dari jeratan-jeratan penindasan dan penjajahan, apakah itu penjajahan fisik ataupun psikis, budaya, tradisi, ekonomi, sosial, maupun agama.  Setelah itu, biarkan mereka secara bebas dan berani mempertanyakan identitasnya. Siapakah aku?Harus menjadi apakah aku?
Dan tentu saja pertanyaan –pertanyaan itu akan melahirkan jawaban yang paling tidak membantu proses pencarian mereka.
“Mereka menghendaki seorang model perempuan.  ”
Siapa?
Radeng Ajeng Kartini.  []

Catatan-catatan :
[1] Asgar Ali Engineer,Islam dan Teologi Pembebasan,Hal 236
 [2] Ibid, Hal 236
[3] Ali Syariati,Fatimah ‘’The Greatest Woman in Islamic History,Hal 138
[4] Ali Syariati,Fatimah ‘’The Greatest Woman in Islamic History’’, Hal 151
[5] Ibid, Hal 151

Petaka Mangasa

oleh : Syahrul Al farabi

Ketika kalian para mahasiswa meluangkan waktu berjalan menyusur lorong di pinggiran Gowa sebelum perbatasan dengan Makassar - sebuah tempat yang sepertinya disekap oleh ruang juga waktu - untuk sekadar mencari tempat kos, maka kalian akan disuguhkan secangkir tragedy itu. Ruang memberinya  kuasa di belakang sebuah bangunan masjid, pada lorong yang bercabang dua, memutar ke kiri, lalu kekanan. Dan waktu dengan tersipu malu memberinya jejak pada malam minggu yang girang pada tengah Mei. Maka sampailah kita pada sebuah bangunan rumah kos yang mewartakan petaka. Mangasa.

Pada sebuah malam yang ranum, sunyi yang aneh,tak seperti biasanya, suara-suara jangkrik yang biasanya ramai, malam itu seakan dibungkam oleh suatu ngeri yang mengancam. Sebuah atmosfir luka tengah menganga tanpa batas. Dan alam seakan lebih tahu kapan untuk diam berduka ketimbang manusia yang kering oleh sibuk. Dan betul, alam pada malam itu sedang berdukah. Hujan mengguyur bumi mangasa. Sebuah epos khayal baru saja tergelar.
Laki-laki itu ditemukan oleh warga sudah tak punya nafas. Tubuhnya terbalut almamater biru yang berubah merah kecoklatan oleh darah. Tubuhnya yang kurus kecil tergeletak di atas selembar sejadah biru yang juga telah penuh dengan lumuran darah. Di tangan kanannya sebuah pisau dapur masih erat tergenggam, seakan ingin mempertegas bahwa aku tak menyesal hidup, dan selembar kertas lusuh bertuliskan kalimat :

 “aku sudah bilang, hidupku adalah rasa yang kau balut dengan lipur cinta, ketika engkau hempaskan pada laut, aku tenggelam”.

 Yahh…laki-laki itu memilih mati pada sebuah malam yang dingin, dimana beberapa mahasiswa memilihnya sebagai sebuah malam yang penuh ekstasi kebahagiaan di sepajang Losari atau Mall-mall yang berdiri dengan cahaya megah.
Kenapa laki-laki itu memilih mati adalah persoalan yang akan menimbulkan spekulasi yang beragam. Spekulasi yang hanya akan menyeret korban yang tak punya tahu, tak punya jawab. Dan seperti yang dikatakan Erin Gruwel, tokoh guru dalam film The Freedom Writers, ketika kita mati, tak akan ada yang mau mengingat kita lagi. Tapi, tentu saja itu butuh pengecualian-pengecualian. Pada laki-laki ini.

Konon, rumah kos itu tak pernah lagi menjadi tempat yang memberi damai untuk di tempati. Ada sepi yang ganjil. Setiap warga yang tak terjaga pada pukul 01.00 tengah malam akan mendengar sayup-sayup suara yang membacakan sajak dan puisi. Sajak dan puisi yang memelas dan melangkolis untuk sesosok darah yang tak punya tuan. Sesekali juga terdengar bunyi gitar dan biola yang menyahut bergantian. Memberikan kesan mistik pada suara-suara. Pada sedih yang tak punya tempat dalam sejarah. Tak punya tempat untuk pulang.

Cinta, kalau bukan bahagia yang menggilak, maka kesedihanlah yang dia kumandangkan. Dan manusia dibuatnya menjadi manusia yang dilematis menentukan jalan takdir. Kadang jalan itu pasti, tapi kematian menjadi kepastian satu-satunya. Cinta menjadi sebuah paradox sebuah kebenaran. Sebuah lakon sejarah yang tak pernah usai memberi  jejak dan petanda pada sebuah tragedy percintaan sekaligus kematian. Tapi , seperti kata teman saya, manusia tidak perlu takut pada kematian itu. Yang sebenarnya manusia mesti takutkan adalah ketika dia tak punya jejak ataupun tanda yang bisa ditinggalkan sebagai kenangan di atas pusara jasadnya.

Dan rumah kos itu tetap kosong, hingga pada suatu ketika, seorang perempuan kurus dengan kerudung biru membungkus rambutnya dan stelan jas putih, berjalan pelan lalu berhenti di depan pintu rumah kecil itu. Pada hitungan menit selanjutnya, setelah hening dan bercakap dengan diam, maka sayup-sayup ia berkata dengan pasti, “ aku akan tinggal disini bersama kenangan itu”.


Untuk Jangkrik yang tlah membentangkan Tetirah ;
Aku tak marah,.
Aku hanya bersedih bersama sunyi dalam kamar kos ini,.
Engkau sedang sakit dan aku tak punya daya untuk sekadar berucap sayang.
[ Mangasa, 05 Mei 12]

Jumat, 16 November 2012

Sabtu

1

Sabtu

“Hari kadang menjadi lelucon paling kering dalam melihat babakan hidup ; tak selalu tanpak berarti. Manusia menjalaninya tanpa berfikir. Seperti sebuah lingkaran, hanya menyisakan kembali”
Hari ini hari sabtu, hari yang bagi kebanyakan mahasiswa adalah hari yang cukup dinanti. sebuah akhir pekan bahagia dan cerah. aktivitas akadeimik untuk sementara ditinggalkan, disimpan di bawah bantal atau meja belajar, yang ada adalah pesta dan beberapa kebebasan. Dan itu bisa dimana saja. di Mall, di pantai. dan di lorong - lorong kos. Muda mudi bertemu, melepas rindu, dan bermanja menyulam kasmaran yang lama terpingit oleh rumus - rumus dan tugas - tugas. Pada akhirnya hanya ada satu moment. kau dan aku.

Di sudut kota Makassar, kita akan melihat beberapa ramai yang nampak menjadi estetika sebuah budaya metropolis. Di setiap persimpangan lampu merah misalnya, beberapa anak jalanan dan penjaja koran akan menyibukkan diri menjamu lalu lintas. sesekali memetik gitar dan mengulurkan tangan meminta. Bagi mereka sudah hukum modernisme si miskin mesti bergantung terhadap si kaya atau si berpunya. Yang cukup kita lakukan adalah menengadah mengaduh nasib pada keras altar jalanan.

Penjaja koran cukup punya tempat, mereka bisa termasuk dalam lintasan yang menghubungkan jalur lalulintas informasi birokrasi pemerintah kepada publik. Para penjaja koran yang kebanyakan dari kaum proletariat (istilah Marxian) atau Mustadafin (ala islam) tak begitu sadar akan posisinya sebagai jembatan gantung politik yang juga ikut andil dalam menentukan nasib mereka. Mereka kadang tak tersentuh tangan - tangan kebijakan yang cukup layak. Seperti kataku, mereka hanyalah ornamen yang sedikit banyak menjadi penghias untuk sebuah kota metropolis.

Masih di simpang jalan Kota Makassar, mahasiswa juga tak pernah absen. Lampu merah menjadi tempat yang mumpuni digelarnya aksi - aksi. Saat ini, cukup susah agaknya menggelar aksi dalam kampus. Toh selain sempit, kampus kebanyakan sudah terdiri dari ornamen - ornamen mewah yang dibangun dari pajak (istilah untuk SPP yang dipaksakan) mahasiswa, ketika sedikit saja lecet, maka biaya perbaikannya tentu saja akan kembali menggerayangi kantong mahasiswa yang kembang kempis karena biaya hidup. Maka aksi yang paling aman, mungkin saja di jalan - jalan. meraka pun cukup bebas, berteriak hingga tenggorokan kering kerontang dengan Isu yang tak terlalu jelas.

Ahh...ketenangan di hari sabtu terlalu berharga untuk digunakan untuk aksi demonstrasi, apalagi sampe bakar - bakar ban dan membuat macet jalanan. Cobalah sedikit memanjakan diri dengan minum kopi dan bercengkrama dengan anak - anak kumal jalanan atau panti asuhan. Ceritakanlah keluh kesah kalian akan pemerintah yang bobrok dan system pendidikan yang tak jelas arahnya. Ceritakanlah juga tentang idealisme kalian (kalau pun ada), agar mereka tahu, hidup tanpa idealisme itu adalah hidup yang kering.

Sabtu itu begitu rupawa untuk dijejalkan dengan ketiadaan. Inilah moment dimana kita bisa berbagi dengan cinta dan kasih sayang. sebuah moment yang tak selalu bisa ditangkap oleh sibuk yang berkelindang para politisi atau pengusaha. Tapi bagi kita, manusia - manusia bebas, mesti menyempatkan tetirah hadir diantara jiwa yang sesak, agar ada ruang untuk menengok jauh ke dalam diri yang satu.

Sudah pukul 10.03, aku hendak keluar, bertamu menemui pesisir laut. Disana sudah ada awan-awan kecil yang berlari kesana kemari menyambut Sang Surya yag tak berhenti mengalir.

[ Mangasa, di tulis pada hari sabtu yang manist - 2012 ]

Berita Untuk Langit

0
                                                       Berita Untuk Langit
Oleh : Syahrul Al Farabi

Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering menatap kosong. Menatap wajah-wajah yang tak menjelaskan apa-apa, menatap kerlip lampu dan gedung-gedung yang kokoh berjuntai di pinggiran jalan. Menatap realitas yang berjejal-jejal dan tumpang tindih. Semuanya tak memberikan jawab yang punya tanda. Semuanya fana tanpa arti. Kosong yang melompong.

Aku merindukan sesuatu yang tak jelas dan tak punya bahasa, sesuatu yang hilang pada suatu ketika di masa lampau yang tak menyejarah. Dia tiba-tiba berkelabat pada simpang khayal sajak-sajakku, yang juga tak memberi makna juga petanda. Semua berada pada ambang batas yang tak punya batas.

Aku hanya tersenyum -  sebuah senyum terbaik – kepada teman kampus yang berbincang tentang masa depan, sebuah garis yang tak silap. Sebuah sorot yang sedikit janggal dan aneh, tapi aku tetap membungkusnya dengan paras tenang yang memberi sejuk. Sesejuk lapang hatiku pagi itu. Yang juga merona karena cemburu.

Aku juga sempat menikmati berjalan di atas kerikil-kerikil kampus yang tak jua reda merekam jejak jengah para mahasiswa. Terasa berat aku angkat patahan jejak itu. Namun ada makna di antara ritme yang aku ayung di antara simpang dengus angin. Sebuah jejak ritme yang mungkin tak semua manusia peduli untuk merasainya. Waktu begitu lambat untuk kita cercai dengan ribuan pongah yang tak punya arti. Toh manusia kini kering akan makna yang tenggelam akan modernitas. Makna itu tenggelam pada arus dan gelombang yang tak punya reda.

Pernah juga, suatu ketika, ayahku datang pada hamparan padang tandus yang tak jelas, dia hanya tersenyum menatapku tanpa menjelaskan rindu yang mungkin dia simpan pada sakunya. Dan mimpi itu datang beberapa waktu pada suatu ketika. Dan aku tiba-tiba sangat rindu pada tirus wajahnya yang pucat memutih. Aku rindu memeluknya dan menggenggam tangannya.

Dan rindu sekali waktu memberangus hidup pada tanah lempung realitas. Membuat manusia berhadap-hadapan pada takdir yang tak punya akrab. Tak punya akur. Selalu memberi kabar yang kabur tak jelas, namun pasti. Dan rindu itu  sekali-kali membuat manusia gila.

Untuk yang nun jauh disana, yang bersemayang pada tempat tertinggi batas-batas keberadaan, aku bersimpuh berucap do’a yang begitu jarang aku tengadahkan. Berharap diri menjadi hilang pada jelaga hidup yang semrawut tak karuan.

Mangasa, 21 Mei 2012

Menjadi Bhineka

0

Menjadi Bhineka, Mungkinkah?
 Oleh : Syahrul Al Farabi
                                                        
Aku Zainuddin, duduk di bangku sebuah sekolah menengah atas, berseragam putih abu-abu, seperti semua temanku, tanpa tahu maknanya. Katanya sih supaya seragam. Keseragaman melahirkan makna kesatuan - sebuah ikatan yang kuat. Tapi – bagiku- itu bukan makna, itu sekadar pembenaran akan sebuah ketakutan. Pelajar seperti kami mesti dicecoki ‘ideologi keseragaman’ sejak dini -  untuk menangkal bibit perpecahan satu sama lain - tapi itu sekaligus penafikan akan realitas keragaman, perbedaan kami. Aku melihatnya di sini, di bangku sekolah tempat aku haus akan ilmu pengetahuan yang juga sayup-sayup terselubung kabut.
Bisa diperkirakan, bagaimana hari-hari seorang anak SMA seperti saya menjalani hidup. Seragam putih abu-abu adalah simbolisasi dari sebuah tali ideology yang ingin mengikat ‘pasikola’ seperti kami dari sebuah indah kebhinekaan di Butta Sultan Hazanuddin yang multikultural. Potongan rambut yang klimis, dasi, topi, sepatu dan serangkai aturan yang menghadang kebebasan. Dan mereka, - yang mengacak-acak realitas – salah satu kasta rakyat yang berdasi di atas kursi-kursi merah yang empuk masih mengidap syndrome ideology kesatuan yang phobia akan keragaman. Dan hasilnya pun, kita tak pernah benar-benar menangkap makna. Kami salah satu dari sekian banyak yang bisa diberi nama korban.
Aku melihatnya dengan cukup jelas, satu-satu diantara kami mulai membeci perbedaan, meskipun tak kasat mata.
Mereka yang ketakutan, tentu saja tahu, bahwa kesatuan muncul tentu saja diatas puing-puing keragaman yang (kadang) mereka labeli dengan panggilan haram jadah. Kita ini – kalau bisa disebut - bangsa yang satu dalam kesatuan tanah air Indonesia, kita ini – katanya - bangsa beradab yang menjunjung tinggi hak warga negara satu sama lain, yang masing-masing punya tuhan dan agama, yang punya adat sipakatau antara satu sama lain, yang tentu saja ‘konsep solidaritas’ menjadi lontara’ yang mesti dijunjung. Itulah ‘hakikat’ kebhinekaan dalam konteks keragaman yang mungkin telah diterawang Empu Tantular. Lalu, alasan apalagi yang menjadi pembenaran untuk saling menghujat dan menghancurkan satu sama lain?
Kebenaran? Kebenaran yang mana Anda maksud?
Agama menjadi sebuah sentrum titik temu konflik. Dari sana, pandangan yang menganggap kebenaran itu tunggal muncul, para bapak cendikia menyebutnya ‘fanatik’. Agama lalu menjadi hakim, mengadili mereka yang berbeda. Nama tuhan dan nabi pun dikibarkan di atas panji-panji yang lebar. Penindasan pun dilakonkan dengan wajah tanpa beban. Beringas. Praktek kekerasan terjadi dimana-mana, kesemuanya meneriakkan suara untuk meneguhkan ‘aqidah’ yang telah rusak; yang telah terkotori. Apa itu aqidah yang mereka maksud? Apa itu tuhan yang mereka pahami? Jangan-jangan, itu bukan aqidah, jangan-jangan, itu bukan tuhan.
Pada akhirnya, pluralitas dan ismenya diharamkan, yang berbeda secara sembuyi-sembunyi dicaci dan dibenci dengan sederet rumusan apology dan gerakan terorisme. Tak ada lagi kedamaian dalam beragama. Semua serba mengancam tenang dan damai. Tafsir kebenaran diperseterukan. Dan ummat menjadi bingung jadinya.
Ahh..tapi bagi  Al Makin yang menulis di Republika pada  2006 silam mengatakan bahwa  saat ini sudah tidak lagi relevan menolak keragaman dan pluralitas dalam dunia yang sudah sedemikian mengglobal, apalagi justifikasi yang digunakan adalah teologis. Keragaman adalah fakta sejarah.
Tapi, betulkah tiap-tiap dari kita pernah membaca sejarah? Membaca yang saya maksud – bukan mengetahui- tapi menyelam masuk mencari jejak kebenaran.
Aku tidak tahu, disekolahku, sejarah adalah sekaligus kebohongan birokratis. Sejarah adalah tumpukan teks - teks formatif produk pemerintah yang telah dipoles dengan benang-benang aneka warna. Oleh sebab itu tampak kusut dan membosankan. Dan aku jadi benci membacanya, hingga pada suatu kita, sejarah menjadi salah satu cermin dari sebuah kebenaran dan juga kebohongan dunia. Tidakkah perang Salib dan tragedy 11 September tak menjadi fakta sejarah yang cukup sebagai titik awal kerinduan akan kedamaian? Juga mungkin fakta-fakta sejarah kelam sejarah kekerasan agama di Indonesia yang seakan tidak ada habis-habisnya? Harus berapa ribu nyawa melayang, harus berapa rumah yang mesti terbakar, dan berapa ratus anak yang mesti menjadi yatim piatu akibat dari kekerasan itu?
Dan aku teringat sebaris kata-kata Gandhi dalam salah satu Caping Mas Gun - bahwa “Tuhan tak punya agama”. Dan Gandhi yang alim juga menjadi korban dari kepercayaan yang dianutnya. Agama menjadi sebuah ancaman.
Mungkin mereka orang-orang – yang kebetulan lahir lebih dulu dari saya – akan mengatakan bahwa aku mengewang-awang dalam alam pemikiran modernitas, sebuah alam yang sedikit banyak melahirkan angan-angan utopis. Dan suara anak SMA seperti saya sedikit demi sedikit akan tenggelam terbawa angin laut. Tak diperdulikan. Tapi itu tak mengapa. Tohh itu sudah menjadi sikap dan cara berfikir kebanyakan. Aku hanya hendak menjadi salah satu diantara orang-orang  yang ingin menyerukan kerukunan dan perdamaian antar iman, antar suku dan etnis. Sebuah panggilan ruhani.
Dan jalan yang mungkin ditawarkan tentu saja adalah dengan sikap moderat (tawassut) yang bertolak belakang dengan sikap ekstremis (thatharruf). Sebuah sikap yang diwartakan oleh seorang KH A. Hasyim Muzadi pada salah satu opininya  di Koran tempo tahun 2006. Menjadi moderat itu katanya penting, seperti Siddharta yang memilih posisi tengah-tengah, berdiri di antara garis batas dua titik ekstrem yang berlawanan. Sebuah jalan antara yang tak biasa. Di sana, sebaris jembatan menuju nirvana (tuhan) terentang dengan lapang. Belakangan, kita tahu, Siddharta mencapainya dengan menjadi Buddha. Dan sejak saat itu, dialog yang sehat – sebuah kultur dan tata laku yang mesti dibiakkan sejak buaian seorang kanak-kanak- menjadi penting sebagai setangkup pelicin pada tapal perjalanan hidup yang berbatu.
Tabe’
[Takalar, 27 September 2012]