Oleh : Syahrul Al Farabi
Aku
Zainuddin, duduk di bangku sebuah sekolah menengah atas, berseragam putih
abu-abu, seperti semua temanku, tanpa tahu maknanya. Katanya sih supaya
seragam. Keseragaman melahirkan makna kesatuan - sebuah ikatan yang kuat. Tapi –
bagiku- itu bukan makna, itu sekadar pembenaran akan sebuah ketakutan. Pelajar
seperti kami mesti dicecoki ‘ideologi
keseragaman’ sejak dini - untuk
menangkal bibit perpecahan satu sama lain - tapi itu sekaligus penafikan akan
realitas keragaman, perbedaan kami. Aku melihatnya di sini, di bangku sekolah
tempat aku haus akan ilmu pengetahuan yang juga sayup-sayup terselubung kabut.
Bisa
diperkirakan, bagaimana hari-hari seorang anak SMA seperti saya menjalani
hidup. Seragam putih abu-abu adalah simbolisasi dari sebuah tali ideology yang
ingin mengikat ‘pasikola’ seperti
kami dari sebuah indah kebhinekaan di Butta Sultan Hazanuddin yang
multikultural. Potongan rambut yang klimis, dasi, topi, sepatu dan serangkai
aturan yang menghadang kebebasan. Dan mereka, - yang mengacak-acak realitas –
salah satu kasta rakyat yang berdasi di atas kursi-kursi merah yang empuk masih
mengidap syndrome ideology kesatuan
yang phobia akan keragaman. Dan hasilnya pun, kita tak pernah benar-benar
menangkap makna. Kami salah satu dari sekian banyak yang bisa diberi nama korban.
Aku melihatnya dengan cukup jelas,
satu-satu diantara kami mulai membeci perbedaan, meskipun tak kasat mata.
Mereka
yang ketakutan, tentu saja tahu, bahwa kesatuan muncul tentu saja diatas
puing-puing keragaman yang (kadang) mereka labeli dengan panggilan haram jadah. Kita ini – kalau bisa
disebut - bangsa yang satu dalam kesatuan tanah air Indonesia, kita ini –
katanya - bangsa beradab yang menjunjung tinggi hak warga negara satu sama lain,
yang masing-masing punya tuhan dan agama, yang punya adat sipakatau antara satu sama lain, yang tentu saja ‘konsep
solidaritas’ menjadi lontara’ yang mesti dijunjung. Itulah ‘hakikat’
kebhinekaan dalam konteks keragaman yang mungkin telah diterawang Empu Tantular.
Lalu, alasan apalagi yang menjadi pembenaran untuk saling menghujat dan menghancurkan
satu sama lain?
Kebenaran?
Kebenaran yang mana Anda maksud?
Agama
menjadi sebuah sentrum titik temu konflik. Dari sana, pandangan yang menganggap
kebenaran itu tunggal muncul, para
bapak cendikia menyebutnya ‘fanatik’. Agama lalu menjadi hakim, mengadili
mereka yang berbeda. Nama tuhan dan nabi pun dikibarkan di atas panji-panji
yang lebar. Penindasan pun dilakonkan dengan wajah tanpa beban. Beringas. Praktek
kekerasan terjadi dimana-mana, kesemuanya meneriakkan suara untuk meneguhkan ‘aqidah’ yang telah rusak; yang telah
terkotori. Apa itu aqidah yang mereka maksud? Apa itu tuhan yang mereka pahami?
Jangan-jangan, itu bukan aqidah, jangan-jangan, itu bukan tuhan.
Pada
akhirnya, pluralitas dan ismenya diharamkan, yang berbeda secara
sembuyi-sembunyi dicaci dan dibenci dengan sederet rumusan apology dan gerakan terorisme.
Tak ada lagi kedamaian dalam beragama. Semua serba mengancam tenang dan damai.
Tafsir kebenaran diperseterukan. Dan ummat menjadi bingung jadinya.
Ahh..tapi bagi Al Makin
yang menulis di Republika pada 2006
silam mengatakan bahwa saat ini sudah tidak lagi relevan menolak
keragaman dan pluralitas dalam dunia yang sudah sedemikian mengglobal, apalagi justifikasi
yang digunakan adalah teologis. Keragaman adalah fakta sejarah.
Tapi,
betulkah tiap-tiap dari kita pernah membaca sejarah? Membaca yang saya maksud –
bukan mengetahui- tapi menyelam masuk mencari jejak kebenaran.
Aku
tidak tahu, disekolahku, sejarah adalah sekaligus kebohongan birokratis.
Sejarah adalah tumpukan teks - teks formatif produk pemerintah yang telah
dipoles dengan benang-benang aneka warna. Oleh sebab itu tampak kusut dan
membosankan. Dan aku jadi benci membacanya, hingga pada suatu kita, sejarah
menjadi salah satu cermin dari sebuah kebenaran dan juga kebohongan dunia.
Tidakkah perang Salib dan tragedy 11 September tak menjadi fakta sejarah yang
cukup sebagai titik awal kerinduan akan kedamaian? Juga mungkin fakta-fakta
sejarah kelam sejarah kekerasan agama di Indonesia yang seakan tidak ada
habis-habisnya? Harus berapa ribu nyawa melayang, harus berapa rumah yang mesti
terbakar, dan berapa ratus anak yang mesti menjadi yatim piatu akibat dari
kekerasan itu?
Dan
aku teringat sebaris kata-kata Gandhi dalam salah satu Caping Mas Gun - bahwa “Tuhan tak punya agama”. Dan Gandhi yang
alim juga menjadi korban dari kepercayaan yang dianutnya. Agama menjadi sebuah
ancaman.
Mungkin
mereka orang-orang – yang kebetulan lahir lebih dulu dari saya – akan
mengatakan bahwa aku mengewang-awang dalam alam pemikiran modernitas, sebuah
alam yang sedikit banyak melahirkan angan-angan utopis. Dan suara anak SMA
seperti saya sedikit demi sedikit akan tenggelam terbawa angin laut. Tak
diperdulikan. Tapi itu tak mengapa. Tohh itu sudah menjadi sikap dan cara
berfikir kebanyakan. Aku hanya hendak menjadi salah satu diantara
orang-orang yang ingin menyerukan
kerukunan dan perdamaian antar iman, antar suku dan etnis. Sebuah panggilan
ruhani.
Dan
jalan yang mungkin ditawarkan tentu saja adalah dengan sikap moderat (tawassut)
yang bertolak belakang dengan sikap ekstremis (thatharruf). Sebuah sikap yang diwartakan oleh seorang KH A. Hasyim Muzadi pada salah satu
opininya di Koran tempo tahun 2006.
Menjadi moderat itu katanya penting, seperti
Siddharta yang memilih posisi tengah-tengah, berdiri di antara garis batas dua titik
ekstrem yang berlawanan. Sebuah jalan antara yang tak biasa. Di sana, sebaris
jembatan menuju nirvana (tuhan)
terentang dengan lapang. Belakangan, kita tahu, Siddharta mencapainya dengan
menjadi Buddha. Dan sejak saat itu, dialog yang sehat – sebuah kultur dan tata
laku yang mesti dibiakkan sejak buaian seorang kanak-kanak- menjadi penting
sebagai setangkup pelicin pada tapal perjalanan hidup yang berbatu.
Tabe’
[Takalar, 27
September 2012]
No Response to "Menjadi Bhineka"
Posting Komentar