Jumat, 16 November 2012

Menjadi Bhineka

0

Menjadi Bhineka, Mungkinkah?
 Oleh : Syahrul Al Farabi
                                                        
Aku Zainuddin, duduk di bangku sebuah sekolah menengah atas, berseragam putih abu-abu, seperti semua temanku, tanpa tahu maknanya. Katanya sih supaya seragam. Keseragaman melahirkan makna kesatuan - sebuah ikatan yang kuat. Tapi – bagiku- itu bukan makna, itu sekadar pembenaran akan sebuah ketakutan. Pelajar seperti kami mesti dicecoki ‘ideologi keseragaman’ sejak dini -  untuk menangkal bibit perpecahan satu sama lain - tapi itu sekaligus penafikan akan realitas keragaman, perbedaan kami. Aku melihatnya di sini, di bangku sekolah tempat aku haus akan ilmu pengetahuan yang juga sayup-sayup terselubung kabut.
Bisa diperkirakan, bagaimana hari-hari seorang anak SMA seperti saya menjalani hidup. Seragam putih abu-abu adalah simbolisasi dari sebuah tali ideology yang ingin mengikat ‘pasikola’ seperti kami dari sebuah indah kebhinekaan di Butta Sultan Hazanuddin yang multikultural. Potongan rambut yang klimis, dasi, topi, sepatu dan serangkai aturan yang menghadang kebebasan. Dan mereka, - yang mengacak-acak realitas – salah satu kasta rakyat yang berdasi di atas kursi-kursi merah yang empuk masih mengidap syndrome ideology kesatuan yang phobia akan keragaman. Dan hasilnya pun, kita tak pernah benar-benar menangkap makna. Kami salah satu dari sekian banyak yang bisa diberi nama korban.
Aku melihatnya dengan cukup jelas, satu-satu diantara kami mulai membeci perbedaan, meskipun tak kasat mata.
Mereka yang ketakutan, tentu saja tahu, bahwa kesatuan muncul tentu saja diatas puing-puing keragaman yang (kadang) mereka labeli dengan panggilan haram jadah. Kita ini – kalau bisa disebut - bangsa yang satu dalam kesatuan tanah air Indonesia, kita ini – katanya - bangsa beradab yang menjunjung tinggi hak warga negara satu sama lain, yang masing-masing punya tuhan dan agama, yang punya adat sipakatau antara satu sama lain, yang tentu saja ‘konsep solidaritas’ menjadi lontara’ yang mesti dijunjung. Itulah ‘hakikat’ kebhinekaan dalam konteks keragaman yang mungkin telah diterawang Empu Tantular. Lalu, alasan apalagi yang menjadi pembenaran untuk saling menghujat dan menghancurkan satu sama lain?
Kebenaran? Kebenaran yang mana Anda maksud?
Agama menjadi sebuah sentrum titik temu konflik. Dari sana, pandangan yang menganggap kebenaran itu tunggal muncul, para bapak cendikia menyebutnya ‘fanatik’. Agama lalu menjadi hakim, mengadili mereka yang berbeda. Nama tuhan dan nabi pun dikibarkan di atas panji-panji yang lebar. Penindasan pun dilakonkan dengan wajah tanpa beban. Beringas. Praktek kekerasan terjadi dimana-mana, kesemuanya meneriakkan suara untuk meneguhkan ‘aqidah’ yang telah rusak; yang telah terkotori. Apa itu aqidah yang mereka maksud? Apa itu tuhan yang mereka pahami? Jangan-jangan, itu bukan aqidah, jangan-jangan, itu bukan tuhan.
Pada akhirnya, pluralitas dan ismenya diharamkan, yang berbeda secara sembuyi-sembunyi dicaci dan dibenci dengan sederet rumusan apology dan gerakan terorisme. Tak ada lagi kedamaian dalam beragama. Semua serba mengancam tenang dan damai. Tafsir kebenaran diperseterukan. Dan ummat menjadi bingung jadinya.
Ahh..tapi bagi  Al Makin yang menulis di Republika pada  2006 silam mengatakan bahwa  saat ini sudah tidak lagi relevan menolak keragaman dan pluralitas dalam dunia yang sudah sedemikian mengglobal, apalagi justifikasi yang digunakan adalah teologis. Keragaman adalah fakta sejarah.
Tapi, betulkah tiap-tiap dari kita pernah membaca sejarah? Membaca yang saya maksud – bukan mengetahui- tapi menyelam masuk mencari jejak kebenaran.
Aku tidak tahu, disekolahku, sejarah adalah sekaligus kebohongan birokratis. Sejarah adalah tumpukan teks - teks formatif produk pemerintah yang telah dipoles dengan benang-benang aneka warna. Oleh sebab itu tampak kusut dan membosankan. Dan aku jadi benci membacanya, hingga pada suatu kita, sejarah menjadi salah satu cermin dari sebuah kebenaran dan juga kebohongan dunia. Tidakkah perang Salib dan tragedy 11 September tak menjadi fakta sejarah yang cukup sebagai titik awal kerinduan akan kedamaian? Juga mungkin fakta-fakta sejarah kelam sejarah kekerasan agama di Indonesia yang seakan tidak ada habis-habisnya? Harus berapa ribu nyawa melayang, harus berapa rumah yang mesti terbakar, dan berapa ratus anak yang mesti menjadi yatim piatu akibat dari kekerasan itu?
Dan aku teringat sebaris kata-kata Gandhi dalam salah satu Caping Mas Gun - bahwa “Tuhan tak punya agama”. Dan Gandhi yang alim juga menjadi korban dari kepercayaan yang dianutnya. Agama menjadi sebuah ancaman.
Mungkin mereka orang-orang – yang kebetulan lahir lebih dulu dari saya – akan mengatakan bahwa aku mengewang-awang dalam alam pemikiran modernitas, sebuah alam yang sedikit banyak melahirkan angan-angan utopis. Dan suara anak SMA seperti saya sedikit demi sedikit akan tenggelam terbawa angin laut. Tak diperdulikan. Tapi itu tak mengapa. Tohh itu sudah menjadi sikap dan cara berfikir kebanyakan. Aku hanya hendak menjadi salah satu diantara orang-orang  yang ingin menyerukan kerukunan dan perdamaian antar iman, antar suku dan etnis. Sebuah panggilan ruhani.
Dan jalan yang mungkin ditawarkan tentu saja adalah dengan sikap moderat (tawassut) yang bertolak belakang dengan sikap ekstremis (thatharruf). Sebuah sikap yang diwartakan oleh seorang KH A. Hasyim Muzadi pada salah satu opininya  di Koran tempo tahun 2006. Menjadi moderat itu katanya penting, seperti Siddharta yang memilih posisi tengah-tengah, berdiri di antara garis batas dua titik ekstrem yang berlawanan. Sebuah jalan antara yang tak biasa. Di sana, sebaris jembatan menuju nirvana (tuhan) terentang dengan lapang. Belakangan, kita tahu, Siddharta mencapainya dengan menjadi Buddha. Dan sejak saat itu, dialog yang sehat – sebuah kultur dan tata laku yang mesti dibiakkan sejak buaian seorang kanak-kanak- menjadi penting sebagai setangkup pelicin pada tapal perjalanan hidup yang berbatu.
Tabe’
[Takalar, 27 September 2012]

No Response to "Menjadi Bhineka"

Posting Komentar