Berita Untuk Langit
Oleh : Syahrul Al Farabi
Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering menatap kosong. Menatap wajah-wajah yang tak menjelaskan apa-apa, menatap kerlip lampu dan gedung-gedung yang kokoh berjuntai di pinggiran jalan. Menatap realitas yang berjejal-jejal dan tumpang tindih. Semuanya tak memberikan jawab yang punya tanda. Semuanya fana tanpa arti. Kosong yang melompong.
Aku merindukan sesuatu yang tak jelas dan tak punya bahasa, sesuatu yang hilang pada suatu ketika di masa lampau yang tak menyejarah. Dia tiba-tiba berkelabat pada simpang khayal sajak-sajakku, yang juga tak memberi makna juga petanda. Semua berada pada ambang batas yang tak punya batas.
Aku hanya tersenyum - sebuah senyum terbaik – kepada teman kampus yang berbincang tentang masa depan, sebuah garis yang tak silap. Sebuah sorot yang sedikit janggal dan aneh, tapi aku tetap membungkusnya dengan paras tenang yang memberi sejuk. Sesejuk lapang hatiku pagi itu. Yang juga merona karena cemburu.
Aku juga sempat menikmati berjalan di atas kerikil-kerikil kampus yang tak jua reda merekam jejak jengah para mahasiswa. Terasa berat aku angkat patahan jejak itu. Namun ada makna di antara ritme yang aku ayung di antara simpang dengus angin. Sebuah jejak ritme yang mungkin tak semua manusia peduli untuk merasainya. Waktu begitu lambat untuk kita cercai dengan ribuan pongah yang tak punya arti. Toh manusia kini kering akan makna yang tenggelam akan modernitas. Makna itu tenggelam pada arus dan gelombang yang tak punya reda.
Pernah juga, suatu ketika, ayahku datang pada hamparan padang tandus yang tak jelas, dia hanya tersenyum menatapku tanpa menjelaskan rindu yang mungkin dia simpan pada sakunya. Dan mimpi itu datang beberapa waktu pada suatu ketika. Dan aku tiba-tiba sangat rindu pada tirus wajahnya yang pucat memutih. Aku rindu memeluknya dan menggenggam tangannya.
Dan rindu sekali waktu memberangus hidup pada tanah lempung realitas. Membuat manusia berhadap-hadapan pada takdir yang tak punya akrab. Tak punya akur. Selalu memberi kabar yang kabur tak jelas, namun pasti. Dan rindu itu sekali-kali membuat manusia gila.
Untuk yang nun jauh disana, yang bersemayang pada tempat tertinggi batas-batas keberadaan, aku bersimpuh berucap do’a yang begitu jarang aku tengadahkan. Berharap diri menjadi hilang pada jelaga hidup yang semrawut tak karuan.
Mangasa, 21 Mei 2012
Oleh : Syahrul Al Farabi
Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering menatap kosong. Menatap wajah-wajah yang tak menjelaskan apa-apa, menatap kerlip lampu dan gedung-gedung yang kokoh berjuntai di pinggiran jalan. Menatap realitas yang berjejal-jejal dan tumpang tindih. Semuanya tak memberikan jawab yang punya tanda. Semuanya fana tanpa arti. Kosong yang melompong.
Aku merindukan sesuatu yang tak jelas dan tak punya bahasa, sesuatu yang hilang pada suatu ketika di masa lampau yang tak menyejarah. Dia tiba-tiba berkelabat pada simpang khayal sajak-sajakku, yang juga tak memberi makna juga petanda. Semua berada pada ambang batas yang tak punya batas.
Aku hanya tersenyum - sebuah senyum terbaik – kepada teman kampus yang berbincang tentang masa depan, sebuah garis yang tak silap. Sebuah sorot yang sedikit janggal dan aneh, tapi aku tetap membungkusnya dengan paras tenang yang memberi sejuk. Sesejuk lapang hatiku pagi itu. Yang juga merona karena cemburu.
Aku juga sempat menikmati berjalan di atas kerikil-kerikil kampus yang tak jua reda merekam jejak jengah para mahasiswa. Terasa berat aku angkat patahan jejak itu. Namun ada makna di antara ritme yang aku ayung di antara simpang dengus angin. Sebuah jejak ritme yang mungkin tak semua manusia peduli untuk merasainya. Waktu begitu lambat untuk kita cercai dengan ribuan pongah yang tak punya arti. Toh manusia kini kering akan makna yang tenggelam akan modernitas. Makna itu tenggelam pada arus dan gelombang yang tak punya reda.
Pernah juga, suatu ketika, ayahku datang pada hamparan padang tandus yang tak jelas, dia hanya tersenyum menatapku tanpa menjelaskan rindu yang mungkin dia simpan pada sakunya. Dan mimpi itu datang beberapa waktu pada suatu ketika. Dan aku tiba-tiba sangat rindu pada tirus wajahnya yang pucat memutih. Aku rindu memeluknya dan menggenggam tangannya.
Dan rindu sekali waktu memberangus hidup pada tanah lempung realitas. Membuat manusia berhadap-hadapan pada takdir yang tak punya akrab. Tak punya akur. Selalu memberi kabar yang kabur tak jelas, namun pasti. Dan rindu itu sekali-kali membuat manusia gila.
Untuk yang nun jauh disana, yang bersemayang pada tempat tertinggi batas-batas keberadaan, aku bersimpuh berucap do’a yang begitu jarang aku tengadahkan. Berharap diri menjadi hilang pada jelaga hidup yang semrawut tak karuan.
Mangasa, 21 Mei 2012
No Response to "Berita Untuk Langit"
Posting Komentar