Senin, 14 Januari 2013

Biang

0


Pada guratan shubuh yang masih terselubung kabut, manusia kadang mengigau tentang suratan cintanya yang paling kabur. Entah, mereka sedang merapalnya dengan mimpi atau dengan sisa kesedihan yang hitam membusuk. Kalian mungkin tahu, jejak-jejaknya masih kadang jelas tersisa, pada rindu dan air mata. disana, akumulasi tanda itu bermetamorfosa menjadi mimpi, itulah yang kita interpretasi sebagai wahyu yang menguatkan, sakau, dan justifikasi untuk melangkah tegar dipagi yang mentaripun enggan  tuk menjenguk dalam perbaringan.

Cerita dipagi itu bisa seperti apa saja, bisa seperti kawanan burung pipit yang meriah, atau justru seperti kelelawar malam yang merangkum gelapnya dengan kedua sayapnya. Segalanya bisa seperti apa saja. Juga seperti kucing, yang menemukan jasadnya remuk redam, terkoyak dengan simbah darah pada sejurus jalan beraspal, dikerubungi lalat, tak dihiraukan. Hanya masalah waktu, lalu jejaknya pun menghilang, terbang bersama angin.

Dan cinta? Ahh…sudahlah, kata itu adalah kata yang paling absurd yang pernah hadir dalam setiap perkamen sejarah peradaban teks manusia. Itulah kata yang sedikit banyak, atau mungkin hampir keseluruhan yang menjadi epos kesedihan yang paling kelam. Kalaupun ada jelentik ‘bahagia’, maka itu adalah sisipan diantara darah dan nyawa yang melimpah di bawah lapis retak bumi. Yahh.. cinta adalah peradaban yang dibangun diantas puing – puing kesedihan, kehancuran, dan jasad manusia-manusia yang tak berarti dalam tragik perang dan permusuhan.

Betul, ketika mytos tentang esensi cinta adalah rindu dan kasih, tapi kalau anda masuk lebih dalam, maka kita akan melihat rindu dan kasih itu adalah hasil dari modifikasi , hasil cetak ulang menjadi kepingan keindahan yang menipu.

Manusia tidak bisa mengelak, tak ada jalan lain. Mereka mamah saja dengan hati yang luka dengan manic – manic sumringah. Dan yang ada adalah ketakjelasan yang menjadi realitas paling nyata dalam hidup. Kita hidup dalam puing – puing hitam yang  pongah dan gamang, itulah cinta.

Tapi teman di kampusku pernah bersua, “Cinta adalah tuhan, dan tuhan itu mistery, maka cinta itu adalah mistery.” Katanya lagi, “ Karena dia mistery, maka dia adalah metafora yang absurd, dan sungguh sedikit bodoh ketika kita merindu yang absurd.”

Temanku itu, tak begitu percaya tuhan, begitupun juga cinta. Keduanya hanya akan mengundang tragedy kemanusiaan yang sadis, perang, kehancuran, pengkhianatan, dan segala macam tetek bengek kejahatan. Dan sejarah sudah cukup sering merekamnya.

Terburu-buru aku membantahnya, “aku tak sepakat kawan ; cinta itu suci, dia ada dan mengada. Maka dia nyata”.

Ahh..yang kamu maksud itu bukan cinta, tapi perempuan. Dan ketika kita bicara perempuan, artinya kita akan bicara ‘tubuh’ dan ‘kuasa’. Dan sekali lagi, tak ada cinta yang menengarainya.

Aku hanya diam ; dan kami berpisah.


[ Rumah Asal, 14 Janusari 2013 ]

No Response to "Biang"

Posting Komentar