Pada
guratan shubuh yang masih terselubung kabut, manusia kadang mengigau tentang
suratan cintanya yang paling kabur. Entah, mereka sedang merapalnya dengan
mimpi atau dengan sisa kesedihan yang hitam membusuk. Kalian mungkin tahu,
jejak-jejaknya masih kadang jelas tersisa, pada rindu dan air mata. disana,
akumulasi tanda itu bermetamorfosa menjadi mimpi, itulah yang kita interpretasi
sebagai wahyu yang menguatkan, sakau, dan justifikasi untuk melangkah tegar
dipagi yang mentaripun enggan tuk
menjenguk dalam perbaringan.
Cerita
dipagi itu bisa seperti apa saja, bisa seperti kawanan burung pipit yang
meriah, atau justru seperti kelelawar malam yang merangkum gelapnya dengan
kedua sayapnya. Segalanya bisa seperti apa saja. Juga seperti kucing, yang
menemukan jasadnya remuk redam, terkoyak dengan simbah darah pada sejurus jalan
beraspal, dikerubungi lalat, tak dihiraukan. Hanya masalah waktu, lalu jejaknya
pun menghilang, terbang bersama angin.
Dan
cinta? Ahh…sudahlah, kata itu adalah kata yang paling absurd yang pernah hadir
dalam setiap perkamen sejarah peradaban teks manusia. Itulah kata yang sedikit
banyak, atau mungkin hampir keseluruhan yang menjadi epos kesedihan yang paling
kelam. Kalaupun ada jelentik ‘bahagia’, maka itu adalah sisipan diantara darah
dan nyawa yang melimpah di bawah lapis retak bumi. Yahh.. cinta adalah
peradaban yang dibangun diantas puing – puing kesedihan, kehancuran, dan jasad
manusia-manusia yang tak berarti dalam tragik perang dan permusuhan.
Betul,
ketika mytos tentang esensi cinta adalah rindu dan kasih, tapi kalau anda masuk
lebih dalam, maka kita akan melihat rindu dan kasih itu adalah hasil dari
modifikasi , hasil cetak ulang menjadi kepingan keindahan yang menipu.
Manusia
tidak bisa mengelak, tak ada jalan lain. Mereka mamah saja dengan hati yang
luka dengan manic – manic sumringah. Dan yang ada adalah ketakjelasan yang
menjadi realitas paling nyata dalam hidup. Kita hidup dalam puing – puing hitam
yang pongah dan gamang, itulah cinta.
Tapi
teman di kampusku pernah bersua, “Cinta adalah tuhan, dan tuhan itu mistery,
maka cinta itu adalah mistery.” Katanya lagi, “ Karena dia mistery, maka dia
adalah metafora yang absurd, dan sungguh sedikit bodoh ketika kita merindu yang
absurd.”
Temanku
itu, tak begitu percaya tuhan, begitupun juga cinta. Keduanya hanya akan
mengundang tragedy kemanusiaan yang sadis, perang, kehancuran, pengkhianatan,
dan segala macam tetek bengek kejahatan. Dan sejarah sudah cukup sering
merekamnya.
Terburu-buru
aku membantahnya, “aku tak sepakat kawan ; cinta itu suci, dia ada dan mengada.
Maka dia nyata”.
Ahh..yang
kamu maksud itu bukan cinta, tapi perempuan. Dan ketika kita bicara perempuan,
artinya kita akan bicara ‘tubuh’ dan ‘kuasa’. Dan sekali lagi, tak ada cinta
yang menengarainya.
Aku
hanya diam ; dan kami berpisah.
[
Rumah Asal, 14 Janusari 2013 ]
No Response to "Biang"
Posting Komentar