skip to main |
skip to sidebar
Kita berada pada zaman dimana manusia tak punya ruang untuk dirinya, juga ;
Kita berada pada sebuah kota yang menawarkan dan mengiming – imingkan
mimpi absurd silau oleh cahaya lampu – lampu yang ramai. Hampir, tak ada
celah untuk gelap pada kubangan – kubangan alaf yang paling kotor.
Tapi, kenapa? Sepi masih saja bertengger pada keseluruhan ruang dan
waktu yang melepuh, dan tentu saja, itu ada dimana – mana. Begitu juga
disini.
Sepi, seperti anak haram jadah dari rahim kesedihan,
pada ramai kota, pada silang teknologi dan komunikasi, pada daun – daun
dan hujan, pada manusia – manusia lata, yang ingkar disana – sini.
Sepi, seperti tak diberikan ruang dan juga kata untuk hidup, untuk
bicara, dan berontak pada ramai yang mengepung sunyi. Dia, seperti
terdaka bagi sedih yang menggerayang dan kemelaratan yang meliuk – liuk
landai. Tak ada jejak makna yang membekas.
Dan disini, dia tak
pernah lagi dibiarkan untuk tumbuh. Sekali kamu nongol dengan bopeng
wajahmu yang berantakan, maka akan dihempas oleh riuh gulungan badai. “
Kamu tak layak di gemerlap kota kami, enyah saja! “
Aduhh…aku
melihatnya melipur diri pada sempit larong – larong mangasa, diantara
gelap, pada kubangan air, berjalan tertatih hampir jatuh.
Aku
melihatnya dengan lusuh yang memelas rindu, dengan tatapan redup yang
memerah, tak punya lagi harap, akan dunia yang lacur, dunia yang silau,
gemerlap oleh hipokrit lampu – lampu kecil yang sombong dan angkuh.
Diantaranya terentang hasrat yang tak punya garis batas yang jelas dan
tak berujung, maka segalanya seperti tiada.
Samar – samar, Sepi lalu
bergumang, “Aku ini hina dari jalang, diantara berkas yang tampak
‘silau’ ini, tapi aku dekat dengan cahaya sebagaimana cahaya”.
Dan di larong itu dia berhenti, menyandarkan peluh yang membasahi
teduhnya, melihat kesekitar. Dan tetap saja sama, gelap menjadi tudung
jubahnya yang lapuk,segalanya masih samar – samar mengabur, tak jelas.
Dunia kini baginya, adalah dunia yang paling coreng moreng, latah, dan
kesemuanya seakan lupa, pada ‘kesejatian’ itu.
Kalian benci
akan sepi, kalian benci akan sunyi, maka dititik itulah, kalian akan
tahu, jarak paling jauh antara kedirian kalian, dari keapaan kalian,
dari kemanusiaan kalian ;
Disana, kalian terjebak sambil tergelak,
pada ramai lalulalang, lalu teriakan – teriakan terlepas, Kesana –
kemari seperti debu – debu dijalan yang garang nan gersang.
Disana,
kalian tak bisa lepas, atau susah lepas, dari semburat indah
warna-warna, kesana – kemari mencari – cari, merindu – rindu, yang
mystery itu.
Tertawalah sesukamu, hingga gigi – gigimu
kelihatan, hingga air liurmu menetes – netes, dan urat syaraf lehermu
putus dan berdarah – darah, karena setelah itu, kau dapatkan kematian ;
kebenaran paling jelas dari segala apa.
“ Untuk temanku ; sepi,
Jangan merajuk, karena aku disini termangu
Merekammu dalam jejak sunyi,
Berujarlah, agar dapat kudedahkan
Serumpun bahasa yang tak pernah lenyap
Diberangus oleh zaman “
[ Mangasa, 12 Januari 2013 ]
No Response to "Sepi ;"
Posting Komentar