Rabu, 27 Maret 2013

Mampir

0



Pelacur itu kedinginan
Berjalan diatas batu – batu cadas yang masih basah
Tubuhnya yang gigil telanjang dia tutup
Dengan tapal tangan yang halus putih
Masih…
Menelusur gelap
Menjamu senyap
Pada rerimbunan jalan setapak yang singkat
Pada pohon – pohon randu yang ingkar
Dan berpasang – pasang mata musang yang lapar
Siap menerkam setiap makhluk yang masih punya iman

 **
Dunia, katamu
Adalah belantara yang runyam
Taman – taman kudus yang nista,
Tak ada rumah untukmu
Kecuali di Gereja, tempat kamu mampir mengaku dosa
Dan disinilah
Di hadapan perawan suci Maria
Kamu menanggalkan duniamu
Dan memulai hidup dalam jiwamu
Bersama tuhanmu ;

[ Bantaeng, March 2013]

Waktu,

0



Kamu dibunuh waktu
Digerusnya dirimu pada jejeran shubuh kala itu
Tak berhenti tanganmu menggapai
Tetap saja kamu tenggelam
Diantara selisir jarum jam kala dini hari
Mati
Itu mungkin kutukan yang dinubuatkan oleh Dia Sang Pemilik Waktu
Lalu kamu mau saja
Tak bisa mengelak
Seperti jongos yang larat di kota tua
Sedikit demi sedikit, mati melarat
#
Shubuh hampir tiba
Dengan merah kereta kencana
Membawa bala tentara detik dan menit yang tak punya payah
Kamu siap dikepung, dilipat, dan dijungkirbalikkan
Tubuhmu hanya bisa melongo dengan peluh dan sedikit Tawa
Menerima tanpa daya
Ini hidup, meski begitu
Juga bisa tak begitu, bukan?
Selalu ada Pilihan diantara jimbunan kematian
Dan waktu ; bisa kita lawan
[ Bantaeng, March 2013 ]

Interpelasi

0


Sekedar Tanya pada sebuah magrib
Kenapa bersembunyi pada guguran hutan itu?
Tidakkah itu membuatmu terhalang oleh rimbun?
Kita sudah menjadi mystery, lalu kita membuat ketakjelasan lagi
Kitapun menggumang Tanya kemana – mana,
Seperti si gila di jalan – jalan, tak tahu apa – apa.
Kita bisa bertanya, tapi itu sudah jelas
Hanya kamu yang membuatnya tersembunyi.
Aku masih menyebut namamu diantara sekian ribu kata yang lahir
Kata yang tak jelas rimbanya…
Di sana ada symbol
Di sana ada Tanda
Dan sesuatu yang lain terjadi
Kamu tak menyahut ; Dia yang menyahut
The other di luar dirimu dan diriku
#
Magrib mengejap, adzan mengumandang
Rimbunan malaikat beterbangan dari menara – menara masjid
Gaduh ;
Aku kembali terhenyak, diam
Masih memanggul retakan – retakan iman yang lamur
[ Bantaeng ; Maret 2013 ]

Rabu, 20 Maret 2013

Di Sini '

0

Di sini, seorang teman lama pernah berkata,” kamu hanya cukup bertahan dan menunggu, sampai cinta itu datang”. Itu sedikit rumit, lebih tepatnya ‘sedikit’ tidak masuk akal. Berharap menemukan kesempurnaan dari sesuatu yang fana adalah ketiadaan semata. Percaya pada ‘keajaiban kecil’ muncul, sama saja tidak berbuat apa – apa. Dan ketika kita tak berbuat, maka kehilangan melingkupi dalam semesta kesepian.
Dan aku bisa melihatmu, hanya duduk sendiri tanpa berkata apa – apa, hanya sesekali tersenyum pada teman – temanmu yang sedang tertawa dan bercanda, bercengkrama dan berdiskusi dengan kekasih masing – masing. Kamu sesekali mempermainkan handphone mu, membuka dan menunggu berita muncul dari pujaan hatimu, dan tentu saja tak datang – datang. Miris.

Juga. Suatu ketika, pada sore yang lembayu, kamu menggelar kertas kosong dan mengambil pena, menatap kosong kertas - kertasmu. Mencoba menumpahkan rasamu dalam sebait puisi, hingga mentari terbenam, tak sebait pun kata lahir. Dan gelap menyelimuti jiwamu kembali. Hari berlalu tanpa makna, seperti biasa.
Aku pun berpaling, menatapmu dari sudut  malam tergelap yang hampir senyap oleh suara – suara larong dan sekumpulan  kunang – kunang malam.  Aku melihatmu dari sini. Senyummu menutupi gemuruh rindu dan perihmu, yang berkelindang membentuk ketakselarasan kosmos. Tapi tak ada yang simpatik, segalanya tenggelam pada dunia kisah masing – masing. Begitupun kamu.

Dengan segenggam keberanian, pernah aku gumamkan Tanya, apa yang membuatmu sanggup bertahan dan menunggu? sedikit klise sepertinya. Dan kaupun tersenyum, sambil menatap aliran deras sungai yang kita tempati mandi dan mencuci setiap harinya. “Selain aku benar – benar mengasihinya, sisanya Aku tak tahu pasti, suara hatiku hanya berbisik demikian. Itu saja“.

“Yahh..seuntai kata – kata yang lalu, yang mungkin terbawa angin semusim dan singgah di telingaku bertutur, bahwa sebuah pertanyaan kadang tak membutuhkan jawaban, kita hanya butuh hidup di dalamnya, begitukan maksudmu?”

Dia tak menjawab, hanya tersenyum dan kembali menatap aliran air sungai. Aku coba menerka jalan pikirnya. Memcoba masuk pada duka dan laranya, tapi aku hanya melihat seutas senyum yang absurd. Senyum yang bisa jadi meluluhlantakkan serangkai masa depan yang cerah.

Aku juga tak tahu pasti, adakah cintanya ia sebut ekstase ataukah kebisuan yang terenggut oleh kemalangan yang rumit? Bagiku, dia masih hidup, menjejak bumi. Masih ada sebuah ruang dimana dia bisa berbuat, hingga kegilaanya tak memancar dan menggerus luka disana sini.


Dalam hening yang merebahkan jiwa – jiwa, aku mendengar sayup nyanyian pilu yang rindu. Kekasih tak kunjung datang, dan nestapa tak jua pulang – pulang. Aku tak tahu mengapa, air mataku jatuh merembes kemana – mana… []

( Untuk Kamu, yang sendiri duduk melamung di Posko KKN_nya ; Bantaeng Butta Toa_ Maret_ 2013)

Senin, 18 Maret 2013

Mata MeraH

2

Mata kamu tutup, ketika surya mulai kuncup
Sarung kamu gelar hingga bayangmu tenggelam
gelas - gelas kopi pamit memohon undur diri
pagipun jengah, pucat menggelap
Tak ada yang tahu
kamu terlelap
Hari itu pada pukul 06.00 pagi
Pada seruas ruang kosong yang pengap

Katamu, kau ingin jadi hantu
berkelabat dan bercinta di kuburan
Tak ada manusia - manusia disana
Hanya sunyi yang meronta menjerit
Gelap selalu punya bahasa mistis yang intim

Kamu mungkin mengigau
Bertemu dengan Maut kemarin siang sepulang sekolah
Mengajaknya makan dan minum kopi di warung Bu Narti
Kalian tertawa cekikikan
Dan setelah itu, kamu pulang
Menangis
Seperti bayi dengan mata merah*

[ Bantaeng, March 2013 ]

Selasa, 05 Maret 2013

MAKKUNRAII ''

0

Makkunraii,.
diantara aspal dan lebam malam
tanganmu menggapai mencari darma
pada lelaki hidung belang
yang nyari jajan di jalan - jalan

Makkunrai,.
dirimu masih disana
melambai-lambai semalaman
membeberkan sepotong paha dan bibir yan merah
berharap mereka singgah untuk menggoda
dengan selembar uang merah

pagi hampir menderai
bedakmu kini mencair
wajahmu coreng moreng
dan tentu saja
kamu tak laku-laku

Jika uang tak kau dapat,
anakmu makan apa?

Mungkin perlu sawaktu-waktu
aku keliling ke kampus-kampus
menjajankan diri
seperti ikan dalam keranjang
agar mereka tahu,
bahwa dunia omong kosong

Makkunraii,.
pagi sudah tiba
waktunya merebahkan diri
mencari nilai di sela mimpi

kalau tak kau dapat
bolehlah kau hujat
tuhan di seberang sana.

[ Mangasa, 2012 ]