Di sini, seorang teman lama
pernah berkata,” kamu hanya cukup bertahan dan menunggu, sampai cinta itu
datang”. Itu sedikit rumit, lebih tepatnya ‘sedikit’ tidak masuk akal. Berharap
menemukan kesempurnaan dari sesuatu yang fana adalah ketiadaan semata. Percaya
pada ‘keajaiban kecil’ muncul, sama saja tidak berbuat apa – apa. Dan ketika
kita tak berbuat, maka kehilangan melingkupi dalam semesta kesepian.
Dan aku bisa melihatmu, hanya
duduk sendiri tanpa berkata apa – apa, hanya sesekali tersenyum pada teman –
temanmu yang sedang tertawa dan bercanda, bercengkrama dan berdiskusi dengan
kekasih masing – masing. Kamu sesekali mempermainkan handphone mu, membuka dan
menunggu berita muncul dari pujaan hatimu, dan tentu saja tak datang – datang.
Miris.
Juga. Suatu ketika, pada sore
yang lembayu, kamu menggelar kertas kosong dan mengambil pena, menatap kosong
kertas - kertasmu. Mencoba menumpahkan rasamu dalam sebait puisi, hingga
mentari terbenam, tak sebait pun kata lahir. Dan gelap menyelimuti jiwamu kembali.
Hari berlalu tanpa makna, seperti biasa.
Aku pun berpaling, menatapmu
dari sudut malam tergelap yang hampir
senyap oleh suara – suara larong dan sekumpulan kunang – kunang malam. Aku melihatmu dari sini. Senyummu menutupi
gemuruh rindu dan perihmu, yang berkelindang membentuk ketakselarasan kosmos.
Tapi tak ada yang simpatik, segalanya tenggelam pada dunia kisah masing –
masing. Begitupun kamu.
Dengan segenggam keberanian,
pernah aku gumamkan Tanya, apa yang membuatmu sanggup bertahan dan menunggu?
sedikit klise sepertinya. Dan kaupun tersenyum, sambil menatap aliran deras sungai
yang kita tempati mandi dan mencuci setiap harinya. “Selain aku benar – benar
mengasihinya, sisanya Aku tak tahu pasti, suara hatiku hanya berbisik demikian.
Itu saja“.
“Yahh..seuntai kata – kata
yang lalu, yang mungkin terbawa angin semusim dan singgah di telingaku bertutur,
bahwa sebuah pertanyaan kadang tak membutuhkan jawaban, kita hanya butuh hidup
di dalamnya, begitukan maksudmu?”
Dia tak menjawab, hanya
tersenyum dan kembali menatap aliran air sungai. Aku coba menerka jalan pikirnya.
Memcoba masuk pada duka dan laranya, tapi aku hanya melihat seutas senyum yang
absurd. Senyum yang bisa jadi meluluhlantakkan serangkai masa depan yang cerah.
Aku juga tak tahu pasti, adakah
cintanya ia sebut ekstase ataukah kebisuan yang terenggut oleh kemalangan yang
rumit? Bagiku, dia masih hidup, menjejak bumi. Masih ada sebuah ruang dimana
dia bisa berbuat, hingga kegilaanya tak memancar dan menggerus luka disana
sini.
Dalam hening yang merebahkan
jiwa – jiwa, aku mendengar sayup nyanyian pilu yang rindu. Kekasih tak kunjung
datang, dan nestapa tak jua pulang – pulang. Aku tak tahu mengapa, air mataku
jatuh merembes kemana – mana… []
( Untuk Kamu, yang sendiri duduk
melamung di Posko KKN_nya ; Bantaeng Butta Toa_ Maret_ 2013)