Jumat, 03 Januari 2014

Gadis J

0

Adalah hari ini, dimana usiamu singgah pada angka19, sebuah hirarkis waktu yang menunjuk keyakinan akan kedewasaan yang bijak. Meskipun umur  tak menjadi tanda sebuah pembiakan nalar yang cukup, namun akan selalu ada garis untuk memulai. Sebuah garis yang akan membentang pada setiap helai umur yang kita jejakkan pada bumi yang lapuk.


Pada terpal waktu yang tak pernah punya wajah - wajah tua yang keriput - justru kita kadang mengguyongkan mimik tak begitu sopan dengan menjagalnya dengan sikap malas. Tidur menjadi ampuh untuk melawan waktu yang membosankan. Dan sekali-kali kita mafhum dengan keadaan.

Tapi, bukankah kita juga punya titik-titik kuasa primordial? Semacam kemampuan me manage waktu dengan mengindahkan serpihan realitas yang mengepung. Kita sekali-kali mampu menciptakan suatu kondisi paling intim dengan tuhan - sebuah tahajjud disepertiga malam yang sunyi, atau segelas kopi panas dipagi hari yang runyam, di sudut – sudut teras rumah yang memberi sejuk. Kita duduk disana. Dan mimpi kadang datang bertamu membawa sekeranjang damai.
Diramai kota seperti Makassar, ketenangan itulah yang teramat mahal (meskipun aku tahu, bagimu tidur sepanjang waktu). Penting merasai serpihan damai singgah pada hati yang gersang agar kita tak menjadi manusia yang layu. Keseluruhan sibuk itu ‘hanyalah’ sebabat  tanggung jawab sebagai manusia yang mendiami gundukan tanah yang berTuan. Pabila esok yang dijanjikan datang, maka Dia akan sesegera mungkin mengepaknya, hanya menyisakan lukisan tanpa warna. Gelap.

Dan Tuhan sekali-kali pasti menepati janjinya.
Aku merengkuh jeda, tak ayal lagi – malam segera memberi tanda.

Malam semakin berinsut sunyi, dan aku masih bisa mendengar lirik-lirik suaramu diantara bercak malam. Jengkrik di lorong-lorong Mangasa masih mendesis memecah malam yang parau. Kopi tinggal setengah, dan kantuk mulai menggombal dengan pucuk rayuan Tanah Lontara. Aku hirup seteguk, lalu aku kembali duduk memandang deret huruf yang menggebu ingin melukis petuah untukmu yang sedang beranjak dewasa.

Ahh..kamu perempuan, yang memberi definisi dirimu dengan sejuta inginmu. Begitu aku takjub tuhan menciptamu hanya dengan satu tarikan kalimat saja, lalu beribu kalimat pun lahir dari tangan-tangan manusia yang tertatih- tatih yang tak satupun pernah sempurna melukismu. Seperti kalimatku kali ini, sesegera mungkin akan pecah dan dilupakan ketika engkau membacanya.

Seperti pada_
Kalam ini aku ikrarkan
Ketika sunyi padam
Bersama bayang yang liuk


Engkau menjadi istimewa hari ini, pucuk-pucuk salam berhamburan di wajahmu. Engkau pungut satu demi satu. Lalu engkau pajang di kamarmu sebagai hiasan dinding yang melengkung membalut saripati kiasan hidup. Di dalamnya engkau cipta makna yang imajinatif, layaknya kembang-kembang kasmaran, sebuah polesan yang akan sedikit banyak merangkai satu sisi babakan kisahmu. Dan aku tersenyum dengan sedu sedang yang mengharu disana-sini. Lalu haru jatuh di atas pelipis tipis keriputku. Aku menjadi malu.

Malam perlahan ngantuk di atas pangkuanku, seperti bayi-bayi merah yang lahir dari rahim rembulan yang pudar bersama sunyi. Hanya gelas-gelas kopi yang mewartakan dengan suara sedikit tegas bahwa ritual secepat mungkin harus di akhiri. Sesambut do’a mesti dicanangkan agar lelah tak menelungkup bumi dengan cengkram yang kuat.

Tuhan, kali ini aku sungguh mengangkat tangan dengan wajah menunduk, sisa kebaikan yang masih menempel di kulitku, aku gadaikan kesemuanya. Aku menginginkan satu ; Kebahagiaan untuknya_selamanya.

Do’a aku dedahkan dengan khidmat dalam balutan sakramen teks yang kaku, aku lukiskan, dan aku nubuatkan menjadi rangkaian kelopak biru yang . Aku persembahkan dengan jelentik jemari sedikit-sedikit di atas kertas. Semoga sampai pada nalarmu yang menjadi manik cahaya cintamu.

Untuk Gadis J yang sedang menyimpulkan seikat senyum hari ini,
Yang sedang mendendang nyanyian dalam salah satu tahapan hidupnya.
Dua halaman teks ini aku persembahkan sebagai ‘bingkisan di dunia maya’.
Tabe’  

[ Mangasa, 25 September 2012 ]

Kamis, 02 Januari 2014

Menziarahi Gadis Pantai

0


" Tidak, man, tidak. Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda....._
Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan dengan Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai."
 (Pramoedya dalam Gadis Pantai, Hal 121)

Dan seorang sahaya' (budak dari para priyayi kala itu) yang dipanggil 'Mak' oleh Gadis Pantai, seorang perempuan tua sudah memulainya dengan berani melawan para Gus - gus keluarga Tuannya dengan membeberkan sebuah kebenaran. Seorang sahaya yang kala itu melihat hidupnya sebagai sehina - hinanya mahluk. Sebuah takdir katanya terlahir sebagai seorang sahaya. Dan sahaya tetaplah sahaya. Hidup baginya hanyalah untuk mengabdi pada tuannya. Tak ada yang dia inginkan, dia lahir untuk tak mengimpikan apapun.
Tapi si ‘Mak’ sudah memulainya, sahaya itu dengan berani melawan tuannya, meskipun hanya dengan kata. Baginya, itu adalah awal dari sebuah kerja. Kerja melawan ketidakadilan. Kerja berontak pada kekuasaan. Agar anak cucu tak ikut ditindas dan dijajah oleh manusia – manusia suci yang sembunyi dibalik kuasa dan kesucian. Mereka harus dilawan, meski dengan sebaris kata – kata.
Gadis Pantai menerima wejangan itu pada usai moment yang klimaks. Tapi tentu saja dia tak punya mengerti. Apa yang didapatkan dari sebaris kata – kata? Apa yang didapatkan dari sebuah keberanian melawan? Yang justru dia rasakan hanyalah penderitaan harus berpisah dari orang – orang yang disayanginya. Yahh...perasaan ‘sayang’, cinta kasih, yang tak akan dia dapatkan diantara tembok – tembok besar rumah kaum priyayi, yang tak akan dia dapatkan dari harta benda duniawi, yang tak akan dia dapatkan dari teks-teks suci dan sembahyang sehari – hari. Baginya, berkumpul dengan bapak dan emak di kampung dan deburan ombak kampung nelayan adalah kebahagiaan tampa batas. Dan itu tidak dia dapatkan dalam tembok – tembok besar kaum priyayi.
Berbeda si Emak, lain pula si Bapak. Bapak si Gadis Pantai yang nelayan, tak tahu apa – apa selain melaut. Bapak si Gadis Pantai yang menikahkan anaknya dengan Tuan Besar Bendoro, yang kemudian harus menjadi sahaya bagi anaknya sendiri. Menyembah sujud pada anaknya, ahh..bukan anak, tapi Tuannya. Laknat dunia kaum priyayi ini. Dia hanya seorang nelayan. Baginya laut adalah segala – galanya. Yang memberi makan anak istri. Tak perlu Surau, tak perlu tasbih dari mekkah, juga tak perlu emas dan mutiara. Hanya Laut, yahh hanya laut. Emas dan mutiara tak bisa beri makan anak istri katanya, justru hanya akan mengundang kekacauan iblis – iblis dari kota.
Si bapak Gadis Pantai, juga sudah memulai. Tapi tidak dengan kata seperti si Emak, tapi sedikit akal dan kerja – kerja kasar. Sebuah pemberontakan, bukan, tepatnya huru hara mempertahankan kampung dan anaknya dari kekejian Kuasa Demak kala itu. Lima orang pesuruh dari kota yang datang ke kampung nelayan dijebak dalam sebuah huru hara para Pembajak. Bapak si gadis pantai dan para warga kampung nelayan yang tak bisa baca tulis adalah aktornya, mereka  membekuk para pesuruh dari Demak yang mau bikin kacau, hendak mencelakakan gadis pantai. Sebuah perlawanan telah mereka gelar, meskipun selama itu mereka tak ada yang turun ke laut, menangkap ikan dan udang. Mereka kelaparan berhari - hari. Tapi tetap melawan.
Tapi kali ini, si bapak tak lagi bisa berbuat banyak.  Seorang bapak hanya bisa diam dan pasrah berhadapan dengan kuasa tuan besar Bendoro. Justru si Gadis Pantai yang kemudian melawan dengan garang pada penguasa, pada priyayi yang juga suaminya itu.
‘Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini...
Seperti kuburan rumah ini,
Batu tanpa perasaan”...(Pramoedya, hal 260)
Dinding batu tanpa perasaan itu juga telah Gadis Pantai lawan. Perlawanan seorang ibu yang telah melahirkan anak perempuan. Haknya sebagai ibu telah dirampas. Haknya untuk menyusui anaknya yang seumuran jagung telah diputuskan. Gadis Pantai telah terperosok kembali ke tanah, menjadi hamba sahaya. Budak bagi anaknya kelak yang ‘mungkin’ akan menjadi priyayi. Seorang lelaki suci, bukan, tetapi iblis yang setiap detiknya melantunkan tasbih di surau telah membuangnya, mengusirnya pergi. Suaminya sendiri.
Tapi Gadis Pantai tetap melawan. Yahh...dia tetap melawan feodalisme Jawa (kala itu) yang  tak memiliki  adab dan jiwa kemanusiaan. Meskipun dengan sebaris kata - kata. Dan kita tahu, gadis pantai adalah perempuan, juga bayinya, demikian juga si Emak. Lalu kenapa dengan perempuan? Adakah mereka dianggap sebagai mahluk yang tak punya otoritas? Mahluk yang tak punya kepribadian dan jati diri? Dengan demikian juga tak punya kebebasan ‘memilih’ jalan hidup?
aku tak tahu, yang pasti,  si Gadis Pantai tatap Melawan!

[ Pa’bentengan, 09 Agustus 2013]

Kisruh

0
Sampai saat ini, saya cukup senang membaca 'Goenawan'. Beberapa Catatan Pinggir dan Essay2nya adalah sebuah bacaan yang kadang membawa saya pada sebuah ‘permenungan’ yang cukup dalam. Bagiku, dia tak menawarkan ‘pengetahuan’, melainkan ‘ sebuah jalan spiritual’ ; sebuah suluh. Namun, Laki - laki tua yang banyak menuturkan segala mozaik dunia dalam bentuk narasi itu sedang terjebak dalam kisruh dengan Martin. Mungkin sebuah epos sedang berlansung diantara meraka, sebuah peperangan tengah terjadi, dalam medan yang tak pernah punya kemungkinan untuk luruh. Tapi justru, disanalah, bagi saya, poin pentingnya.

Kebencian, klo bisa diistilahkan demikian, oleh Martin kepada Goen justru melahirkan narasi yang justru membawa kita menelusur belantara pemikiran yang terlihat semrawut. Goen yang dianggap oleh Martin tak memberikan konstribusi apa - apa pada 'system' pemikiran (filsafat) di indonesia justru melahirkan narasi atau teks yang membawa kita pada jalan nalar yang santun. Jalan nalar yang punya definisi, tafsir, dan kritik dalam satu tarikan nafas yang bersamaan. Disana, kebenaran bisa milik siapa saja, juga bukan milik siapa – siapa.

Tapi tentu saja, Goen adalah orang yang tak mudah ‘diringkus’ oleh seperangkat logika dialektis, apalagi bagi seorang Martin yang lahir pada era Orde Baru. Sebuah era dimana segala sesuatu ‘kadang’ menjadi kabur dan dikaburkan. Sejarah, oleh penguasa, adalah sebuah teks yang mesti menjaga stabilitas dan kepentingan pemerintah. Sejarah yang tak memihak adalah sejarah yang ‘keliru’. Oleh sebab itu, akan sangat berbeda membaca sejarah bagi mereka yang mengalaminya dibanding mereka yang mendapatkannya dalam teks – teks akademik. Bagi saya, disitulah ‘kemenangan’ Goen atas Martin ( klo itu disebut kisruh pemikiran ).

Martin Suryajaya, laki – laki semarang yang menamatkan pendidikannya di STF Driyarkara jurusan filsafat ini pernah menjadi koordinator Pusat Studi Fenomenologi dan Filsafat Prancis—STF Driyarkara. Juga sempat menulis Materialisme Dialektis serta Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme. Dalam beberapa tulisannya, Martin sempat mendapat pembacaan sebagai seorang marxisme ortodox. Dia meng ‘sekolahi’ marxsisme sehingga lahir sebagai seorang (pemikir) yang punya disiplin ilmu yang ‘ketat’, khususnya terkait diskursus tentang marxisme. Semangatnya untuk ‘menjaga dan menafsir’ pikiran – pikiran Marx dengan gigih memang penting untuk diapresiasi. Tapi bagi Goen, itu malah menjadi benteng bagi ‘tafsir’ lain diluar dirinya.

Meskipun belum sempat membaca kedua buku Martin diatas (klo ada yang mau menawarkan saya akan sangat senang), saya bisa menduga bahwa Martin adalah anak muda yang tergila – gila akan pikiran – pikiran Marx. Dia adalah seorang Marxix teoritis akademis, kata senior saya. (Mungkin) bagi Martin, Kritik yang berusaha ‘menghujat’ pikiran – pikiran Marx mesti dilabeli dengan ‘omong kosong’. Martin begitu bersemangat meluruskan segala pikiran dan tafsir atas Marx. Itu wajar saja. Pertama dia masih muda dan kedua dia dibesarkan dalam atmosfir akademik yang ketat terkait filsafat. Tapi saya ragu, apakah Martin pernah terlibat aktif dalam dunia kesenian, atau paling tidak menikmati puisi Sapardi di bawah temaram cahaya bulan dengan segelas kopi hitam, sambil membincang tentang Marxisme? Saya tidak tahu. Tapi, Itu penting menurut saya. Manusia yang tak mencintai sastra, kata Marx, itu sama dengan binatang.

Meskipun Martin ‘menyerang’ Goen dengan gencar, tapi Goen menampilkan sikap sebagai seorang intelektual yang menerima kritik secara sehat. Saya sangat senang membaca ‘tulisan’ Goen sebagai jawabannya atas kritik Martin. Pada tahap ini, Goen tidak hanya tampil sebagai seorang sastrais yang seksi, tapi dia juga bisa menjadi seorang sejarawan yang menuturkan detail sejarah kelam bangsanya dengan terbuka dan objektif.

Terlepas dari ‘kritik’ Martin dan ‘jawaban’ Goenawan, polemik diantara keduanya mesti dilihat sebagai sebuah ‘diskursus’ pemikiran yang menawarkan khazanah pemikiran tersendiri. Pengetahuan yang tak mengalami kritik hanya akan menjadi pengetahuan yang rapuh dan pada akhirnya ‘mati’. Juga, mereka yang tak tahan kritik, sebaiknya dibuang ke tong sampah, kata Gie. Ini tentu saja berlaku bagi kedua orang diatas dan bagi mereka yang menganggap bahwa ‘pengetahuan’ telah final.

Mangasa, 29 Desember 2013

Membaca Semesta

0
Membaca itu seperti membuatmu hidup pada setiap detik lempeng waktu,
Tak peduli pada lelah, demikian juga jengah
selalu ada alasan yang membuat kita untuk bertahan hidup
pada pengetahuan yang melingkup seluruh semesta
disana menunggu tabir yang mesti disingkap
diam saja akan membuatmu seperti batu2, rumput, dan air hujan.

Ohh...semestaku, dimanakah kau akan bawa pikiran ini mengembara?
duduk disini sendirian seperti tenggelam dalam sunyi yang berkeabadian
tidakkah kau tahu, aku adalah lentera yang merindu cahaya yang menyembul tak berkesudahan? Menadah berkas - berkas mentari yang mengintip pada sela - sela
hitam awan, aku kini rindu sejadi - jadinya.

Ohh..cahayaku, jangan kau malu bertemu rupa padaku. Dalam rupa yang tak kau ketahui hatinya, ada jiwa yang penuh dengan cinta. Penuh dengan bunga - bunga dan lembaran cerita yang berjejeran penuh suka. Mari, sambut aku dengan tangan dan hati tuhan yang penuh dengan cahaya.

Hujan hampir habis, buku - buku tak lagi dibakar. Mari duduk bersamaku, membaca dan melewati semesta dengan cangkir - cangkir kopi yang kita seduh di atas api yang meliuk. asapnya yang mengepul akan naik kelangit mewartakan segenap kasih yang tiada berhingga, mewartakan hidup yang tiada yang berbatas. Hidup denganmu adalah 'jalan cahaya' yang tak berpenghujung. Jalan yang tlah dinubuatkan dalam kitab dan buku - buku.

Sore ini, biarlah lepas. Biarkan dia terbang pada tiap - tiap rumah, pada tiap - tiap jiwa. Kita takkan hidup sendirian. Bukankah 'individualistik' demikian sangat kamu benci? Dan berkhidmat untuk orang banyak adalah mimpi dan harapanmu? genggam tanganku, akan kubawa kau berlari menggapainya. Meskipun memar tapak kakiku, meskipun lemah syaraf - syaraf tanganku. takkan aku hirau demi cahaya semesta yang kau janjikan.'


( Rumah Kesepian, 02 Jan 2014 )