Adalah
hari ini, dimana usiamu singgah pada angka19, sebuah hirarkis waktu
yang menunjuk keyakinan akan kedewasaan yang bijak. Meskipun umur tak
menjadi tanda sebuah pembiakan nalar yang cukup, namun akan selalu ada
garis untuk memulai. Sebuah garis yang akan membentang pada setiap helai
umur yang kita jejakkan pada bumi yang lapuk.
Pada terpal waktu yang tak pernah punya wajah - wajah tua yang keriput - justru kita kadang mengguyongkan mimik tak begitu sopan dengan menjagalnya dengan sikap malas. Tidur menjadi ampuh untuk melawan waktu yang membosankan. Dan sekali-kali kita mafhum dengan keadaan.
Tapi, bukankah kita juga punya titik-titik kuasa primordial? Semacam kemampuan me manage waktu dengan mengindahkan serpihan realitas yang mengepung. Kita sekali-kali mampu menciptakan suatu kondisi paling intim dengan tuhan - sebuah tahajjud disepertiga malam yang sunyi, atau segelas kopi panas dipagi hari yang runyam, di sudut – sudut teras rumah yang memberi sejuk. Kita duduk disana. Dan mimpi kadang datang bertamu membawa sekeranjang damai.
Diramai kota seperti Makassar, ketenangan itulah yang teramat mahal (meskipun aku tahu, bagimu tidur sepanjang waktu). Penting merasai serpihan damai singgah pada hati yang gersang agar kita tak menjadi manusia yang layu. Keseluruhan sibuk itu ‘hanyalah’ sebabat tanggung jawab sebagai manusia yang mendiami gundukan tanah yang berTuan. Pabila esok yang dijanjikan datang, maka Dia akan sesegera mungkin mengepaknya, hanya menyisakan lukisan tanpa warna. Gelap.
Dan Tuhan sekali-kali pasti menepati janjinya.
Aku merengkuh jeda, tak ayal lagi – malam segera memberi tanda.
Malam semakin berinsut sunyi, dan aku masih bisa mendengar lirik-lirik suaramu diantara bercak malam. Jengkrik di lorong-lorong Mangasa masih mendesis memecah malam yang parau. Kopi tinggal setengah, dan kantuk mulai menggombal dengan pucuk rayuan Tanah Lontara. Aku hirup seteguk, lalu aku kembali duduk memandang deret huruf yang menggebu ingin melukis petuah untukmu yang sedang beranjak dewasa.
Ahh..kamu perempuan, yang memberi definisi dirimu dengan sejuta inginmu. Begitu aku takjub tuhan menciptamu hanya dengan satu tarikan kalimat saja, lalu beribu kalimat pun lahir dari tangan-tangan manusia yang tertatih- tatih yang tak satupun pernah sempurna melukismu. Seperti kalimatku kali ini, sesegera mungkin akan pecah dan dilupakan ketika engkau membacanya.
Seperti pada_
Kalam ini aku ikrarkan
Ketika sunyi padam
Bersama bayang yang liuk
Engkau menjadi istimewa hari ini, pucuk-pucuk salam berhamburan di wajahmu. Engkau pungut satu demi satu. Lalu engkau pajang di kamarmu sebagai hiasan dinding yang melengkung membalut saripati kiasan hidup. Di dalamnya engkau cipta makna yang imajinatif, layaknya kembang-kembang kasmaran, sebuah polesan yang akan sedikit banyak merangkai satu sisi babakan kisahmu. Dan aku tersenyum dengan sedu sedang yang mengharu disana-sini. Lalu haru jatuh di atas pelipis tipis keriputku. Aku menjadi malu.
Malam perlahan ngantuk di atas pangkuanku, seperti bayi-bayi merah yang lahir dari rahim rembulan yang pudar bersama sunyi. Hanya gelas-gelas kopi yang mewartakan dengan suara sedikit tegas bahwa ritual secepat mungkin harus di akhiri. Sesambut do’a mesti dicanangkan agar lelah tak menelungkup bumi dengan cengkram yang kuat.
Tuhan, kali ini aku sungguh mengangkat tangan dengan wajah menunduk, sisa kebaikan yang masih menempel di kulitku, aku gadaikan kesemuanya. Aku menginginkan satu ; Kebahagiaan untuknya_selamanya.
Do’a aku dedahkan dengan khidmat dalam balutan sakramen teks yang kaku, aku lukiskan, dan aku nubuatkan menjadi rangkaian kelopak biru yang . Aku persembahkan dengan jelentik jemari sedikit-sedikit di atas kertas. Semoga sampai pada nalarmu yang menjadi manik cahaya cintamu.
Untuk Gadis J yang sedang menyimpulkan seikat senyum hari ini,
Yang sedang mendendang nyanyian dalam salah satu tahapan hidupnya.
Dua halaman teks ini aku persembahkan sebagai ‘bingkisan di dunia maya’.
Tabe’
[ Mangasa, 25 September 2012 ]