Sampai
saat ini, saya cukup senang membaca 'Goenawan'. Beberapa Catatan
Pinggir dan Essay2nya adalah sebuah bacaan yang kadang membawa saya pada
sebuah ‘permenungan’ yang cukup dalam. Bagiku, dia tak menawarkan
‘pengetahuan’, melainkan ‘ sebuah jalan spiritual’ ; sebuah suluh.
Namun, Laki - laki tua yang banyak menuturkan segala mozaik dunia dalam
bentuk narasi itu sedang terjebak dalam kisruh
dengan Martin. Mungkin sebuah epos sedang berlansung diantara meraka,
sebuah peperangan tengah terjadi, dalam medan yang tak pernah punya
kemungkinan untuk luruh. Tapi justru, disanalah, bagi saya, poin
pentingnya.
Kebencian, klo bisa diistilahkan demikian, oleh
Martin kepada Goen justru melahirkan narasi yang justru membawa kita
menelusur belantara pemikiran yang terlihat semrawut. Goen yang dianggap
oleh Martin tak memberikan konstribusi apa - apa pada 'system'
pemikiran (filsafat) di indonesia justru melahirkan narasi atau teks
yang membawa kita pada jalan nalar yang santun. Jalan nalar yang punya
definisi, tafsir, dan kritik dalam satu tarikan nafas yang bersamaan.
Disana, kebenaran bisa milik siapa saja, juga bukan milik siapa – siapa.
Tapi tentu saja, Goen adalah orang yang tak mudah ‘diringkus’ oleh
seperangkat logika dialektis, apalagi bagi seorang Martin yang lahir
pada era Orde Baru. Sebuah era dimana segala sesuatu ‘kadang’ menjadi
kabur dan dikaburkan. Sejarah, oleh penguasa, adalah sebuah teks yang
mesti menjaga stabilitas dan kepentingan pemerintah. Sejarah yang tak
memihak adalah sejarah yang ‘keliru’. Oleh sebab itu, akan sangat
berbeda membaca sejarah bagi mereka yang mengalaminya dibanding mereka
yang mendapatkannya dalam teks – teks akademik. Bagi saya, disitulah
‘kemenangan’ Goen atas Martin ( klo itu disebut kisruh pemikiran ).
Martin Suryajaya, laki – laki semarang yang menamatkan pendidikannya di
STF Driyarkara jurusan filsafat ini pernah menjadi koordinator Pusat
Studi Fenomenologi dan Filsafat Prancis—STF Driyarkara. Juga sempat
menulis Materialisme Dialektis serta Alain Badiou dan Masa Depan
Marxisme. Dalam beberapa tulisannya, Martin sempat mendapat pembacaan
sebagai seorang marxisme ortodox. Dia meng ‘sekolahi’ marxsisme sehingga
lahir sebagai seorang (pemikir) yang punya disiplin ilmu yang ‘ketat’,
khususnya terkait diskursus tentang marxisme. Semangatnya untuk
‘menjaga dan menafsir’ pikiran – pikiran Marx dengan gigih memang
penting untuk diapresiasi. Tapi bagi Goen, itu malah menjadi benteng
bagi ‘tafsir’ lain diluar dirinya.
Meskipun belum sempat
membaca kedua buku Martin diatas (klo ada yang mau menawarkan saya akan
sangat senang), saya bisa menduga bahwa Martin adalah anak muda yang
tergila – gila akan pikiran – pikiran Marx. Dia adalah seorang Marxix
teoritis akademis, kata senior saya. (Mungkin) bagi Martin, Kritik yang
berusaha ‘menghujat’ pikiran – pikiran Marx mesti dilabeli dengan ‘omong
kosong’. Martin begitu bersemangat meluruskan segala pikiran dan tafsir
atas Marx. Itu wajar saja. Pertama dia masih muda dan kedua dia
dibesarkan dalam atmosfir akademik yang ketat terkait filsafat. Tapi
saya ragu, apakah Martin pernah terlibat aktif dalam dunia kesenian,
atau paling tidak menikmati puisi Sapardi di bawah temaram cahaya bulan
dengan segelas kopi hitam, sambil membincang tentang Marxisme? Saya
tidak tahu. Tapi, Itu penting menurut saya. Manusia yang tak mencintai
sastra, kata Marx, itu sama dengan binatang.
Meskipun Martin
‘menyerang’ Goen dengan gencar, tapi Goen menampilkan sikap sebagai
seorang intelektual yang menerima kritik secara sehat. Saya sangat
senang membaca ‘tulisan’ Goen sebagai jawabannya atas kritik Martin.
Pada tahap ini, Goen tidak hanya tampil sebagai seorang sastrais yang
seksi, tapi dia juga bisa menjadi seorang sejarawan yang menuturkan
detail sejarah kelam bangsanya dengan terbuka dan objektif.
Terlepas dari ‘kritik’ Martin dan ‘jawaban’ Goenawan, polemik diantara
keduanya mesti dilihat sebagai sebuah ‘diskursus’ pemikiran yang
menawarkan khazanah pemikiran tersendiri. Pengetahuan yang tak mengalami
kritik hanya akan menjadi pengetahuan yang rapuh dan pada akhirnya
‘mati’. Juga, mereka yang tak tahan kritik, sebaiknya dibuang ke tong
sampah, kata Gie. Ini tentu saja berlaku bagi kedua orang diatas dan
bagi mereka yang menganggap bahwa ‘pengetahuan’ telah final.
Mangasa, 29 Desember 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Kisruh"
Posting Komentar