Kamis, 02 Januari 2014

Kisruh

0
Sampai saat ini, saya cukup senang membaca 'Goenawan'. Beberapa Catatan Pinggir dan Essay2nya adalah sebuah bacaan yang kadang membawa saya pada sebuah ‘permenungan’ yang cukup dalam. Bagiku, dia tak menawarkan ‘pengetahuan’, melainkan ‘ sebuah jalan spiritual’ ; sebuah suluh. Namun, Laki - laki tua yang banyak menuturkan segala mozaik dunia dalam bentuk narasi itu sedang terjebak dalam kisruh dengan Martin. Mungkin sebuah epos sedang berlansung diantara meraka, sebuah peperangan tengah terjadi, dalam medan yang tak pernah punya kemungkinan untuk luruh. Tapi justru, disanalah, bagi saya, poin pentingnya.

Kebencian, klo bisa diistilahkan demikian, oleh Martin kepada Goen justru melahirkan narasi yang justru membawa kita menelusur belantara pemikiran yang terlihat semrawut. Goen yang dianggap oleh Martin tak memberikan konstribusi apa - apa pada 'system' pemikiran (filsafat) di indonesia justru melahirkan narasi atau teks yang membawa kita pada jalan nalar yang santun. Jalan nalar yang punya definisi, tafsir, dan kritik dalam satu tarikan nafas yang bersamaan. Disana, kebenaran bisa milik siapa saja, juga bukan milik siapa – siapa.

Tapi tentu saja, Goen adalah orang yang tak mudah ‘diringkus’ oleh seperangkat logika dialektis, apalagi bagi seorang Martin yang lahir pada era Orde Baru. Sebuah era dimana segala sesuatu ‘kadang’ menjadi kabur dan dikaburkan. Sejarah, oleh penguasa, adalah sebuah teks yang mesti menjaga stabilitas dan kepentingan pemerintah. Sejarah yang tak memihak adalah sejarah yang ‘keliru’. Oleh sebab itu, akan sangat berbeda membaca sejarah bagi mereka yang mengalaminya dibanding mereka yang mendapatkannya dalam teks – teks akademik. Bagi saya, disitulah ‘kemenangan’ Goen atas Martin ( klo itu disebut kisruh pemikiran ).

Martin Suryajaya, laki – laki semarang yang menamatkan pendidikannya di STF Driyarkara jurusan filsafat ini pernah menjadi koordinator Pusat Studi Fenomenologi dan Filsafat Prancis—STF Driyarkara. Juga sempat menulis Materialisme Dialektis serta Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme. Dalam beberapa tulisannya, Martin sempat mendapat pembacaan sebagai seorang marxisme ortodox. Dia meng ‘sekolahi’ marxsisme sehingga lahir sebagai seorang (pemikir) yang punya disiplin ilmu yang ‘ketat’, khususnya terkait diskursus tentang marxisme. Semangatnya untuk ‘menjaga dan menafsir’ pikiran – pikiran Marx dengan gigih memang penting untuk diapresiasi. Tapi bagi Goen, itu malah menjadi benteng bagi ‘tafsir’ lain diluar dirinya.

Meskipun belum sempat membaca kedua buku Martin diatas (klo ada yang mau menawarkan saya akan sangat senang), saya bisa menduga bahwa Martin adalah anak muda yang tergila – gila akan pikiran – pikiran Marx. Dia adalah seorang Marxix teoritis akademis, kata senior saya. (Mungkin) bagi Martin, Kritik yang berusaha ‘menghujat’ pikiran – pikiran Marx mesti dilabeli dengan ‘omong kosong’. Martin begitu bersemangat meluruskan segala pikiran dan tafsir atas Marx. Itu wajar saja. Pertama dia masih muda dan kedua dia dibesarkan dalam atmosfir akademik yang ketat terkait filsafat. Tapi saya ragu, apakah Martin pernah terlibat aktif dalam dunia kesenian, atau paling tidak menikmati puisi Sapardi di bawah temaram cahaya bulan dengan segelas kopi hitam, sambil membincang tentang Marxisme? Saya tidak tahu. Tapi, Itu penting menurut saya. Manusia yang tak mencintai sastra, kata Marx, itu sama dengan binatang.

Meskipun Martin ‘menyerang’ Goen dengan gencar, tapi Goen menampilkan sikap sebagai seorang intelektual yang menerima kritik secara sehat. Saya sangat senang membaca ‘tulisan’ Goen sebagai jawabannya atas kritik Martin. Pada tahap ini, Goen tidak hanya tampil sebagai seorang sastrais yang seksi, tapi dia juga bisa menjadi seorang sejarawan yang menuturkan detail sejarah kelam bangsanya dengan terbuka dan objektif.

Terlepas dari ‘kritik’ Martin dan ‘jawaban’ Goenawan, polemik diantara keduanya mesti dilihat sebagai sebuah ‘diskursus’ pemikiran yang menawarkan khazanah pemikiran tersendiri. Pengetahuan yang tak mengalami kritik hanya akan menjadi pengetahuan yang rapuh dan pada akhirnya ‘mati’. Juga, mereka yang tak tahan kritik, sebaiknya dibuang ke tong sampah, kata Gie. Ini tentu saja berlaku bagi kedua orang diatas dan bagi mereka yang menganggap bahwa ‘pengetahuan’ telah final.

Mangasa, 29 Desember 2013

No Response to "Kisruh"

Posting Komentar