Kamis, 02 Januari 2014

Menziarahi Gadis Pantai

0


" Tidak, man, tidak. Kau mengabdi pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda....._
Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan dengan Belanda. Entah berapa turunan lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai."
 (Pramoedya dalam Gadis Pantai, Hal 121)

Dan seorang sahaya' (budak dari para priyayi kala itu) yang dipanggil 'Mak' oleh Gadis Pantai, seorang perempuan tua sudah memulainya dengan berani melawan para Gus - gus keluarga Tuannya dengan membeberkan sebuah kebenaran. Seorang sahaya yang kala itu melihat hidupnya sebagai sehina - hinanya mahluk. Sebuah takdir katanya terlahir sebagai seorang sahaya. Dan sahaya tetaplah sahaya. Hidup baginya hanyalah untuk mengabdi pada tuannya. Tak ada yang dia inginkan, dia lahir untuk tak mengimpikan apapun.
Tapi si ‘Mak’ sudah memulainya, sahaya itu dengan berani melawan tuannya, meskipun hanya dengan kata. Baginya, itu adalah awal dari sebuah kerja. Kerja melawan ketidakadilan. Kerja berontak pada kekuasaan. Agar anak cucu tak ikut ditindas dan dijajah oleh manusia – manusia suci yang sembunyi dibalik kuasa dan kesucian. Mereka harus dilawan, meski dengan sebaris kata – kata.
Gadis Pantai menerima wejangan itu pada usai moment yang klimaks. Tapi tentu saja dia tak punya mengerti. Apa yang didapatkan dari sebaris kata – kata? Apa yang didapatkan dari sebuah keberanian melawan? Yang justru dia rasakan hanyalah penderitaan harus berpisah dari orang – orang yang disayanginya. Yahh...perasaan ‘sayang’, cinta kasih, yang tak akan dia dapatkan diantara tembok – tembok besar rumah kaum priyayi, yang tak akan dia dapatkan dari harta benda duniawi, yang tak akan dia dapatkan dari teks-teks suci dan sembahyang sehari – hari. Baginya, berkumpul dengan bapak dan emak di kampung dan deburan ombak kampung nelayan adalah kebahagiaan tampa batas. Dan itu tidak dia dapatkan dalam tembok – tembok besar kaum priyayi.
Berbeda si Emak, lain pula si Bapak. Bapak si Gadis Pantai yang nelayan, tak tahu apa – apa selain melaut. Bapak si Gadis Pantai yang menikahkan anaknya dengan Tuan Besar Bendoro, yang kemudian harus menjadi sahaya bagi anaknya sendiri. Menyembah sujud pada anaknya, ahh..bukan anak, tapi Tuannya. Laknat dunia kaum priyayi ini. Dia hanya seorang nelayan. Baginya laut adalah segala – galanya. Yang memberi makan anak istri. Tak perlu Surau, tak perlu tasbih dari mekkah, juga tak perlu emas dan mutiara. Hanya Laut, yahh hanya laut. Emas dan mutiara tak bisa beri makan anak istri katanya, justru hanya akan mengundang kekacauan iblis – iblis dari kota.
Si bapak Gadis Pantai, juga sudah memulai. Tapi tidak dengan kata seperti si Emak, tapi sedikit akal dan kerja – kerja kasar. Sebuah pemberontakan, bukan, tepatnya huru hara mempertahankan kampung dan anaknya dari kekejian Kuasa Demak kala itu. Lima orang pesuruh dari kota yang datang ke kampung nelayan dijebak dalam sebuah huru hara para Pembajak. Bapak si gadis pantai dan para warga kampung nelayan yang tak bisa baca tulis adalah aktornya, mereka  membekuk para pesuruh dari Demak yang mau bikin kacau, hendak mencelakakan gadis pantai. Sebuah perlawanan telah mereka gelar, meskipun selama itu mereka tak ada yang turun ke laut, menangkap ikan dan udang. Mereka kelaparan berhari - hari. Tapi tetap melawan.
Tapi kali ini, si bapak tak lagi bisa berbuat banyak.  Seorang bapak hanya bisa diam dan pasrah berhadapan dengan kuasa tuan besar Bendoro. Justru si Gadis Pantai yang kemudian melawan dengan garang pada penguasa, pada priyayi yang juga suaminya itu.
‘Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini...
Seperti kuburan rumah ini,
Batu tanpa perasaan”...(Pramoedya, hal 260)
Dinding batu tanpa perasaan itu juga telah Gadis Pantai lawan. Perlawanan seorang ibu yang telah melahirkan anak perempuan. Haknya sebagai ibu telah dirampas. Haknya untuk menyusui anaknya yang seumuran jagung telah diputuskan. Gadis Pantai telah terperosok kembali ke tanah, menjadi hamba sahaya. Budak bagi anaknya kelak yang ‘mungkin’ akan menjadi priyayi. Seorang lelaki suci, bukan, tetapi iblis yang setiap detiknya melantunkan tasbih di surau telah membuangnya, mengusirnya pergi. Suaminya sendiri.
Tapi Gadis Pantai tetap melawan. Yahh...dia tetap melawan feodalisme Jawa (kala itu) yang  tak memiliki  adab dan jiwa kemanusiaan. Meskipun dengan sebaris kata - kata. Dan kita tahu, gadis pantai adalah perempuan, juga bayinya, demikian juga si Emak. Lalu kenapa dengan perempuan? Adakah mereka dianggap sebagai mahluk yang tak punya otoritas? Mahluk yang tak punya kepribadian dan jati diri? Dengan demikian juga tak punya kebebasan ‘memilih’ jalan hidup?
aku tak tahu, yang pasti,  si Gadis Pantai tatap Melawan!

[ Pa’bentengan, 09 Agustus 2013]

No Response to "Menziarahi Gadis Pantai"

Posting Komentar