" Tidak, man, tidak. Kau mengabdi
pada tanah ini, tanah yang memberimu nasi dan air. Tapi para raja dan para
pangeran dan para bupati sudah jual tanah keramat ini pada Belanda....._
Kalau para raja, pangeran, dan bupati
sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan dengan Belanda. Entah berapa turunan
lagi. Tapi kerja itu mesti dimulai."
(Pramoedya dalam Gadis Pantai, Hal 121)
Dan seorang
sahaya' (budak dari para priyayi kala itu) yang dipanggil 'Mak' oleh Gadis
Pantai, seorang perempuan tua sudah memulainya dengan berani melawan para Gus -
gus keluarga Tuannya dengan membeberkan sebuah kebenaran. Seorang sahaya yang
kala itu melihat hidupnya sebagai sehina - hinanya mahluk. Sebuah takdir
katanya terlahir sebagai seorang sahaya. Dan sahaya tetaplah sahaya. Hidup
baginya hanyalah untuk mengabdi pada tuannya. Tak ada yang dia inginkan, dia
lahir untuk tak mengimpikan apapun.
Tapi si ‘Mak’
sudah memulainya, sahaya itu dengan berani melawan tuannya, meskipun hanya
dengan kata. Baginya, itu adalah awal dari sebuah kerja. Kerja melawan
ketidakadilan. Kerja berontak pada kekuasaan. Agar anak cucu tak ikut ditindas
dan dijajah oleh manusia – manusia suci yang sembunyi dibalik kuasa dan
kesucian. Mereka harus dilawan, meski dengan sebaris kata – kata.
Gadis Pantai
menerima wejangan itu pada usai moment yang klimaks. Tapi tentu saja dia tak
punya mengerti. Apa yang didapatkan dari sebaris kata – kata? Apa yang
didapatkan dari sebuah keberanian melawan? Yang justru dia rasakan hanyalah
penderitaan harus berpisah dari orang – orang yang disayanginya.
Yahh...perasaan ‘sayang’, cinta kasih, yang tak akan dia dapatkan diantara
tembok – tembok besar rumah kaum priyayi, yang tak akan dia dapatkan dari harta
benda duniawi, yang tak akan dia dapatkan dari teks-teks suci dan sembahyang
sehari – hari. Baginya, berkumpul dengan bapak dan emak di kampung dan deburan
ombak kampung nelayan adalah kebahagiaan tampa batas. Dan itu tidak dia
dapatkan dalam tembok – tembok besar kaum priyayi.
Berbeda si
Emak, lain pula si Bapak. Bapak si Gadis Pantai yang nelayan, tak tahu apa –
apa selain melaut. Bapak si Gadis Pantai yang menikahkan anaknya dengan Tuan
Besar Bendoro, yang kemudian harus menjadi sahaya bagi anaknya sendiri.
Menyembah sujud pada anaknya, ahh..bukan anak, tapi Tuannya. Laknat dunia kaum
priyayi ini. Dia hanya seorang nelayan. Baginya laut adalah segala – galanya.
Yang memberi makan anak istri. Tak perlu Surau, tak perlu tasbih dari mekkah,
juga tak perlu emas dan mutiara. Hanya Laut, yahh hanya laut. Emas dan mutiara
tak bisa beri makan anak istri katanya, justru hanya akan mengundang kekacauan
iblis – iblis dari kota.
Si bapak
Gadis Pantai, juga sudah memulai. Tapi tidak dengan kata seperti si Emak, tapi
sedikit akal dan kerja – kerja kasar. Sebuah pemberontakan, bukan, tepatnya
huru hara mempertahankan kampung dan anaknya dari kekejian Kuasa Demak kala
itu. Lima orang pesuruh dari kota yang datang ke kampung nelayan dijebak dalam
sebuah huru hara para Pembajak. Bapak si gadis pantai dan para warga kampung
nelayan yang tak bisa baca tulis adalah aktornya, mereka membekuk para pesuruh dari Demak yang mau
bikin kacau, hendak mencelakakan gadis pantai. Sebuah perlawanan telah mereka
gelar, meskipun selama itu mereka tak ada yang turun ke laut, menangkap ikan
dan udang. Mereka kelaparan berhari - hari. Tapi tetap melawan.
Tapi kali ini, si bapak tak lagi bisa
berbuat banyak. Seorang bapak hanya bisa
diam dan pasrah berhadapan dengan kuasa tuan besar Bendoro. Justru si Gadis
Pantai yang kemudian melawan dengan garang pada penguasa, pada priyayi yang
juga suaminya itu.
‘Mengerikan
bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini...
Seperti
kuburan rumah ini,
Batu
tanpa perasaan”...(Pramoedya,
hal 260)
Dinding batu tanpa perasaan itu juga
telah Gadis Pantai lawan. Perlawanan seorang ibu yang telah melahirkan anak
perempuan. Haknya sebagai ibu telah dirampas. Haknya untuk menyusui anaknya
yang seumuran jagung telah diputuskan. Gadis Pantai telah terperosok kembali ke
tanah, menjadi hamba sahaya. Budak bagi anaknya kelak yang ‘mungkin’ akan
menjadi priyayi. Seorang lelaki suci, bukan, tetapi iblis yang setiap detiknya
melantunkan tasbih di surau telah membuangnya, mengusirnya pergi. Suaminya
sendiri.
Tapi Gadis Pantai tetap melawan.
Yahh...dia tetap melawan feodalisme Jawa (kala itu) yang tak memiliki
adab dan jiwa kemanusiaan. Meskipun dengan sebaris kata - kata. Dan kita
tahu, gadis pantai adalah perempuan, juga bayinya, demikian juga si Emak. Lalu
kenapa dengan perempuan? Adakah mereka dianggap sebagai mahluk yang tak punya
otoritas? Mahluk yang tak punya kepribadian dan jati diri? Dengan demikian juga
tak punya kebebasan ‘memilih’ jalan hidup?
aku tak tahu, yang pasti, si Gadis Pantai tatap Melawan!
[ Pa’bentengan, 09 Agustus 2013]
No Response to "Menziarahi Gadis Pantai"
Posting Komentar