Senin, 19 November 2012

LEVITES'

0





Para Levites’ itu terjebak pada sebuah arena. Pada sebuah problem atau persoalan yang likat dan serius. Tak ada setitik jalan cahaya sebagai pemandu menuju yang benar. Dan kronik itu berjuntai dan berkelindang meng-sketsa dan lamur.

Dan apapun itu, ketika sudah terkait dengan persoalan kecamuk rasa, lebih kurang akan atau agak susah dibawa ke dalam arena yang sehat ( yang sifatnya intelektual). Persoalan rasa atau emotif dalam hal ini marah, benci, cemburu, diskriminatif, anarki dan yang sejenisnya, akan susah menemukan sebuah titik simpul dalam sebuah arena diskusi. Apalagi ketika persoalan itu adalah persoalan-persoalan prinsipil yang sudah mengakar dan mendarah daging, maka ‘diam’ menjadi jalan alternatif untuk berdamai sesaat. Kebenaran itu persoalan belakangan, Ego itu lebih utama. Benarkah?

Selain ‘diam’, menjadi bijak mungkin sedikit ampuh. Bijak yang saya maksud adalah bagaimana kemudian mendamaikan atau mendinginkan diskursus dua kutub yang saling bersitegang tersebut (?). Sikap dewasa dan mengalah adalah kompilasi sederhana kerangka sistemik dari sikap ‘bijaksana tersebut’. Kosakata ‘Bijak’ disini sebenarnya cenderung ingin melihat persoalan (kebenaran) sebagai sesuatu yang belakangan (sekunder), termasuk efek atau perubahan (kesadaran dari si subjek). Yang ‘primer’ atau yang utama atau yang paling penting dan urgen bagi ‘manusia bijak’ adalah bagaimana melihat, mengerti, memahami orang lain/subjek yang bertikai itu sebagai pribadi yang berbeda dari orang lain, yang belakangan melahirkan sikap ‘pengertian’ yang cenderung mendiamkan. Dalam hal ini ‘memahami’ si subjek itu sendiri. Mendiamkan sesuatu sama saja tak berbuat apa-apa yang juga berarti memposisikan sesuatu sebagaimana adanya. Efeknya, si subjek akan mempertegas dirinya sebagai seorang pribadi yang kaku, tak berdaya, bodoh, dan cenderung untuk selalu mempsisikan diri sebagai korban yang tak berdaya.

Mungkin, bagi kebanyakan orang, bijaksana dan dewasa selalu dilekatkan sebagai makna yang membei efek positif. Bijaksana dan kedewasaan menjadi karakter seorang pribadi yang wajib dimiliki dan lebih jauh lagi diteladani. Filsafat dan beberapa disiplin ilmu yang lain cenderung menuju makam tersebut. Selain itu, masih dalam sebagian besar pahaman kebanyakan orang, bahwa orang-orang yang senang membaca dan berdiskusi tentang buku-buku filsafat atau yang lainnya, secara otomatis akan menjadi bijak dan dewasa. Apalagi ketika jenjang akademiknya sudah lumayan tinggi.
Prestise di atas tentu saja tidak sepenuhnya benar. Tapi kalau betul, maka saya adalah orang pertama yang tak ingin menjadi bijak dan dewasa. Mengapa?

Pertama, kebijaksanaan-bagi saya-  ketika melumpuhkan atau menutup ruang-ruang diskusi dan intelektual dengan tutur yang seolah –olah sejuk dan damai adalah kebijaksanaan yang palsu. Kebijaksanaan yang tak mempunyai kedalaman dan juga tak ingin mengungkap apa-apa. Kebijaksanaan yang hanya ingin mewartakan ketenangan dan kedamaian dalam melihat persoalan-persoalan yang sebenarnya kompleks, kebijaksanaan itu mungkin hanya ada di menara gading. Dia ( baca ; sikap bijak) absurd dan cenderung menipu. Dia ibarat pil extasi yang ketika kita minum akan mendatangkan ketenangan dan kesejukan. Tak ada lagi persoalan, entah itu benar atau salah. Atau dalam agama, sikap itu seperti dogma-dogma atau ayat-ayat yang dicomot yang mesti kita membuta tanpa dialog. Ketika kebenarn itu akan mengancam silaturahmi atau relasi sosial, maka sesegera mungkin kita bungkam dia.

Kedua, ketika kebijaksanaan itu kemudian menutup ruang-ruang kesadaran yang secara inheren atau fitrah ada dalam diri kita, maka penting untuk kita bongkar dan munculkan ke permukaan. Sikap bijaksana yang enggan untuk secara jujur mengkritik dan menelusur lebih dalam  dan lebih luas lagi  khasanah berfikir dan realitas objektif ( konteks ruang) dimana individu-individu atau para levites’ yang berbeda secara pribadi adalah sikap bijaksana yang pasif kalau bukan apatis.
Oleh karenanya, sebagai seorang yang sedang menelusur jejak jejak kedirian yang simpan siur dalam arena cultural dan intelektual, maka saya menolak menjadi bijak ataupun dewasa. Lalu, kamu akan menjadi seperti apa kalau tidak keduanya?

[ Mangasa, 18 April 2012 ]

Sabtu, 17 November 2012


KARTINI

Perempuan ; adalah sosok yang dalam budaya yang mengakar di masyarakat menjadi penentu status kehormatan sebuah keluarga.  Dia (baca ; perempuan) adalah Aib yang terselubung yang berpotensi merusak nama baik suatu keluarga.  Selain itu dalam sejarah umat manusia, perempuan terkadang (bahkan selalu) menjadi mahluk kedua setelah laki-laki.  Para psikolog dan sosiolog  telah mendokumentasikan mereka  sebagai mahluk yang tak sempurna, sebagai pelengkap kehidupan kaum adam. Mereka adalah mahluk kedua (the second sex) setelah laki-laki yang keberadaanya hanya untuk menjadi pelayan yang hak-haknya telah dipenjara.
Perempuan; dibeberapa literature-literatur barat mendeskripsikan mereka sebagai mahluk yang tidak lebih dari binatang ternak yang tidak boleh menikmati hak-haknya.  Dan lebih ironis lagi beberapa ulama tradisional mengatakan bahwa “Wanita harus tunduk kepada laki-laki, meskipun sedapat mungkin juga diberi hak,namun tidak melebihi apa yang telah ditetapkan oleh syariat" [1]
Ada sebuah penindasan terselubung dan halus terhadap perempuan oleh kaum laki-laki yang perempuan (bahkan kita masyarakat) tidak sadari.  Tapi Kadang-kadang (segelintir perempuan) menyadari hal ini tapi sebagian dari mereka dengan keterpaksaan yang bahagia menerimanya sebagai sebuah bentuk ‘kenikmatan’.   Bentuk serta konsep dari penindasan ini secara sangat sistematis dan jelas dimuat dalam lembaran kitab-kitab tafsir klasik, pendidikan, disiplin, pemikiran, budaya, peradaban, dan tata cara kemasyarakatan.

Maka, terbentuklah sketsa wajah perempuan dari system  dominasi tersebut.   Wajah perempuan yang sangat akrab dengan kita dan menjadi banyak referensi ideal bagi anak-anak perempuan mereka yang terlahir pada generasi selanjutnya.
Bahwa; Perempuan yang mengasuh anak-anaknya ,atau perempuan yang duduk dirumah sambil menunggu suami-suami mereka datang, atau perempuan yang hidup dalam dunia sempit jilbabnya yang terhampar lebar.
Kawan; Perempuan bukanlah aurat yang seharusnya ditutupi dari orang lain sampai tertutup seluruh tubuhnya,mukanya,suaranya,dan bahkan namanya. 
Mereka (perempuan) yang ditindas dan direnggut hak-hak kemanusiaannya oleh agamanya yang sakral dan suci.  Mereka tidak dibiarkan menghirup alam kebebasan layaknya laki-laki.  Atas nama agama dan budaya,mereka menjadi mahluk yang hanya hidup dalam rumah.  Kaum perempuan ditempatkan dalam kategori yang sama seperti mesin cuci.  Nilai-nilai manusiawinya telah direndakan menjadi “ibu si anak”[3] Tak lagi menyandang nama,apalagi identitasnya.
Boleh jadi, inilah yang mereka harapkan. Menjadi pelayan terhormat bagi suaminya, inilah wajah perempuan yang dibesarkan dalam lingkungan tradisional dan konservatif.  Lalu,apa yang mesti diperbuat?
Dibelahan bumi yang lain,ada sketsa wajah perempuan lucu yang dibesarkan oleh modernitas. Kata Ali Syariati, mereka adalah perempuan-perempuan malam minggu, para nyonya rumah, milik bapak-bapak usia senja. Mereka dengan mudah  kita temukan di sudut-sudut malam yang dingin, mereka juga dapat kita temui di lorong-lorong rumah dan kontrakan,mendapati mereka bergunjing atau mempertengkarkan anak perempuan mereka jika mereka telah usai bertengkar sesama ibu-ibu. 

Atau kita akan mendapati mereka sibuk mengeluh, menggerutu, dan berbangga diri dengan perhiasannya di pasar-pasar ,di pabrik,dan emperan-emperan toko,bahkan dalam kamar mandi yang penuh sesak oleh nyonya-nyonya rumah.
Dan tibalah saatnya bagi perempuan-perempuan muda,”Putri dari perempuan ini”[4], untuk mencari dan menemukan identitasnya yang autentik. Tapi, pertanyaanya, sosok seperti apa? Identitas seperti apa?
Mereka menjadi perempuan muda yang kesepian dan hampa dalam pencariannya.  Mereka menjadi mahluk gelap yang coba mencari secercah cahaya ideal perempuan.  Terkadang mereka lelah dalam pencariannya dan  berhenti,menerima diri sebagaimana adanya,bukan sebagaimana mestinya.  ”Mereka adalah generasi yang berbeda dan musim yang berbeda, hidup dalam dunia pertengahan yang mempunyai dua makna”[5]. 
Pada tahap dimana seorang perempuan muda berhenti dalam usahanya memilih budaya masa lampau,budaya leluhur dan nenek moyangnya dengan sebuah tatanan dunia yang menawarkan buku-buku,novel,terjemahan,pemikiran, dan berbagai kesenian,maka saat itulah secara bersamaan dia hancur dan tergilas.
Perempuan muda ini menjadi penjilat konsumerisme,mereka berjalan di mall-mall dengan membanggakan tubuh telanjang mereka,atau mereka akan menjadi mahluk jualan di TV atau film-film,serta produk – produk jualan terbaru.  Mereka adalah pendukung setia kapitalisme. Mereka ikut ambil bagian dalam hal penggusuran rumah orang-orang miskin,orang-orang lemah dan pinggiran. 
Mereka adalah perempuan-perempuan muda yang siap mentransformasi masyarakat sesuai selera perusahaan-perusahaan asing.
Apa yang mesti dilakukan perempuan-perempuan sekarang? Apakah mereka akan tetap dibiarkan menjadi mahluk tanpa ruh yang berjalan dengan perhiasan-perhiasan,baju dan kebudayaan baru yang mereka kutip di TV dan media lainnya?Atau perempuan yang memberikan ‘arti’ hidup di belakang layar budaya dan tradisi yang bias melihat nilai-nilai kemanusiaan?Atau perempuan yang mendekap dan mengintip di lubang kunci atau jendela sampai menunggu seorang pencuri yang diberi wewenang untuk membawanya pergi ke dalam heremnya atau dibiarkan bebas menikmati alam modernitas yang absurd dan tetap dibatasi oleh tembok budaya diam dan patriarchy oleh orang tuanya yang tentu saja akan menghancurkan kebebasan individualnya?
Apa yang mesti dilakukan?
Menurut pendapat Hatta, manusia terlebih dulu harus diberikan kebebasannya.  Perempuan mesti merdeka. Mereka mesti dilepaskan dari jeratan-jeratan penindasan dan penjajahan, apakah itu penjajahan fisik ataupun psikis, budaya, tradisi, ekonomi, sosial, maupun agama.  Setelah itu, biarkan mereka secara bebas dan berani mempertanyakan identitasnya. Siapakah aku?Harus menjadi apakah aku?
Dan tentu saja pertanyaan –pertanyaan itu akan melahirkan jawaban yang paling tidak membantu proses pencarian mereka.
“Mereka menghendaki seorang model perempuan.  ”
Siapa?
Radeng Ajeng Kartini.  []

Catatan-catatan :
[1] Asgar Ali Engineer,Islam dan Teologi Pembebasan,Hal 236
 [2] Ibid, Hal 236
[3] Ali Syariati,Fatimah ‘’The Greatest Woman in Islamic History,Hal 138
[4] Ali Syariati,Fatimah ‘’The Greatest Woman in Islamic History’’, Hal 151
[5] Ibid, Hal 151

Petaka Mangasa

oleh : Syahrul Al farabi

Ketika kalian para mahasiswa meluangkan waktu berjalan menyusur lorong di pinggiran Gowa sebelum perbatasan dengan Makassar - sebuah tempat yang sepertinya disekap oleh ruang juga waktu - untuk sekadar mencari tempat kos, maka kalian akan disuguhkan secangkir tragedy itu. Ruang memberinya  kuasa di belakang sebuah bangunan masjid, pada lorong yang bercabang dua, memutar ke kiri, lalu kekanan. Dan waktu dengan tersipu malu memberinya jejak pada malam minggu yang girang pada tengah Mei. Maka sampailah kita pada sebuah bangunan rumah kos yang mewartakan petaka. Mangasa.

Pada sebuah malam yang ranum, sunyi yang aneh,tak seperti biasanya, suara-suara jangkrik yang biasanya ramai, malam itu seakan dibungkam oleh suatu ngeri yang mengancam. Sebuah atmosfir luka tengah menganga tanpa batas. Dan alam seakan lebih tahu kapan untuk diam berduka ketimbang manusia yang kering oleh sibuk. Dan betul, alam pada malam itu sedang berdukah. Hujan mengguyur bumi mangasa. Sebuah epos khayal baru saja tergelar.
Laki-laki itu ditemukan oleh warga sudah tak punya nafas. Tubuhnya terbalut almamater biru yang berubah merah kecoklatan oleh darah. Tubuhnya yang kurus kecil tergeletak di atas selembar sejadah biru yang juga telah penuh dengan lumuran darah. Di tangan kanannya sebuah pisau dapur masih erat tergenggam, seakan ingin mempertegas bahwa aku tak menyesal hidup, dan selembar kertas lusuh bertuliskan kalimat :

 “aku sudah bilang, hidupku adalah rasa yang kau balut dengan lipur cinta, ketika engkau hempaskan pada laut, aku tenggelam”.

 Yahh…laki-laki itu memilih mati pada sebuah malam yang dingin, dimana beberapa mahasiswa memilihnya sebagai sebuah malam yang penuh ekstasi kebahagiaan di sepajang Losari atau Mall-mall yang berdiri dengan cahaya megah.
Kenapa laki-laki itu memilih mati adalah persoalan yang akan menimbulkan spekulasi yang beragam. Spekulasi yang hanya akan menyeret korban yang tak punya tahu, tak punya jawab. Dan seperti yang dikatakan Erin Gruwel, tokoh guru dalam film The Freedom Writers, ketika kita mati, tak akan ada yang mau mengingat kita lagi. Tapi, tentu saja itu butuh pengecualian-pengecualian. Pada laki-laki ini.

Konon, rumah kos itu tak pernah lagi menjadi tempat yang memberi damai untuk di tempati. Ada sepi yang ganjil. Setiap warga yang tak terjaga pada pukul 01.00 tengah malam akan mendengar sayup-sayup suara yang membacakan sajak dan puisi. Sajak dan puisi yang memelas dan melangkolis untuk sesosok darah yang tak punya tuan. Sesekali juga terdengar bunyi gitar dan biola yang menyahut bergantian. Memberikan kesan mistik pada suara-suara. Pada sedih yang tak punya tempat dalam sejarah. Tak punya tempat untuk pulang.

Cinta, kalau bukan bahagia yang menggilak, maka kesedihanlah yang dia kumandangkan. Dan manusia dibuatnya menjadi manusia yang dilematis menentukan jalan takdir. Kadang jalan itu pasti, tapi kematian menjadi kepastian satu-satunya. Cinta menjadi sebuah paradox sebuah kebenaran. Sebuah lakon sejarah yang tak pernah usai memberi  jejak dan petanda pada sebuah tragedy percintaan sekaligus kematian. Tapi , seperti kata teman saya, manusia tidak perlu takut pada kematian itu. Yang sebenarnya manusia mesti takutkan adalah ketika dia tak punya jejak ataupun tanda yang bisa ditinggalkan sebagai kenangan di atas pusara jasadnya.

Dan rumah kos itu tetap kosong, hingga pada suatu ketika, seorang perempuan kurus dengan kerudung biru membungkus rambutnya dan stelan jas putih, berjalan pelan lalu berhenti di depan pintu rumah kecil itu. Pada hitungan menit selanjutnya, setelah hening dan bercakap dengan diam, maka sayup-sayup ia berkata dengan pasti, “ aku akan tinggal disini bersama kenangan itu”.


Untuk Jangkrik yang tlah membentangkan Tetirah ;
Aku tak marah,.
Aku hanya bersedih bersama sunyi dalam kamar kos ini,.
Engkau sedang sakit dan aku tak punya daya untuk sekadar berucap sayang.
[ Mangasa, 05 Mei 12]

Jumat, 16 November 2012

Sabtu

1

Sabtu

“Hari kadang menjadi lelucon paling kering dalam melihat babakan hidup ; tak selalu tanpak berarti. Manusia menjalaninya tanpa berfikir. Seperti sebuah lingkaran, hanya menyisakan kembali”
Hari ini hari sabtu, hari yang bagi kebanyakan mahasiswa adalah hari yang cukup dinanti. sebuah akhir pekan bahagia dan cerah. aktivitas akadeimik untuk sementara ditinggalkan, disimpan di bawah bantal atau meja belajar, yang ada adalah pesta dan beberapa kebebasan. Dan itu bisa dimana saja. di Mall, di pantai. dan di lorong - lorong kos. Muda mudi bertemu, melepas rindu, dan bermanja menyulam kasmaran yang lama terpingit oleh rumus - rumus dan tugas - tugas. Pada akhirnya hanya ada satu moment. kau dan aku.

Di sudut kota Makassar, kita akan melihat beberapa ramai yang nampak menjadi estetika sebuah budaya metropolis. Di setiap persimpangan lampu merah misalnya, beberapa anak jalanan dan penjaja koran akan menyibukkan diri menjamu lalu lintas. sesekali memetik gitar dan mengulurkan tangan meminta. Bagi mereka sudah hukum modernisme si miskin mesti bergantung terhadap si kaya atau si berpunya. Yang cukup kita lakukan adalah menengadah mengaduh nasib pada keras altar jalanan.

Penjaja koran cukup punya tempat, mereka bisa termasuk dalam lintasan yang menghubungkan jalur lalulintas informasi birokrasi pemerintah kepada publik. Para penjaja koran yang kebanyakan dari kaum proletariat (istilah Marxian) atau Mustadafin (ala islam) tak begitu sadar akan posisinya sebagai jembatan gantung politik yang juga ikut andil dalam menentukan nasib mereka. Mereka kadang tak tersentuh tangan - tangan kebijakan yang cukup layak. Seperti kataku, mereka hanyalah ornamen yang sedikit banyak menjadi penghias untuk sebuah kota metropolis.

Masih di simpang jalan Kota Makassar, mahasiswa juga tak pernah absen. Lampu merah menjadi tempat yang mumpuni digelarnya aksi - aksi. Saat ini, cukup susah agaknya menggelar aksi dalam kampus. Toh selain sempit, kampus kebanyakan sudah terdiri dari ornamen - ornamen mewah yang dibangun dari pajak (istilah untuk SPP yang dipaksakan) mahasiswa, ketika sedikit saja lecet, maka biaya perbaikannya tentu saja akan kembali menggerayangi kantong mahasiswa yang kembang kempis karena biaya hidup. Maka aksi yang paling aman, mungkin saja di jalan - jalan. meraka pun cukup bebas, berteriak hingga tenggorokan kering kerontang dengan Isu yang tak terlalu jelas.

Ahh...ketenangan di hari sabtu terlalu berharga untuk digunakan untuk aksi demonstrasi, apalagi sampe bakar - bakar ban dan membuat macet jalanan. Cobalah sedikit memanjakan diri dengan minum kopi dan bercengkrama dengan anak - anak kumal jalanan atau panti asuhan. Ceritakanlah keluh kesah kalian akan pemerintah yang bobrok dan system pendidikan yang tak jelas arahnya. Ceritakanlah juga tentang idealisme kalian (kalau pun ada), agar mereka tahu, hidup tanpa idealisme itu adalah hidup yang kering.

Sabtu itu begitu rupawa untuk dijejalkan dengan ketiadaan. Inilah moment dimana kita bisa berbagi dengan cinta dan kasih sayang. sebuah moment yang tak selalu bisa ditangkap oleh sibuk yang berkelindang para politisi atau pengusaha. Tapi bagi kita, manusia - manusia bebas, mesti menyempatkan tetirah hadir diantara jiwa yang sesak, agar ada ruang untuk menengok jauh ke dalam diri yang satu.

Sudah pukul 10.03, aku hendak keluar, bertamu menemui pesisir laut. Disana sudah ada awan-awan kecil yang berlari kesana kemari menyambut Sang Surya yag tak berhenti mengalir.

[ Mangasa, di tulis pada hari sabtu yang manist - 2012 ]

Berita Untuk Langit

0
                                                       Berita Untuk Langit
Oleh : Syahrul Al Farabi

Entah kenapa, akhir-akhir ini aku sering menatap kosong. Menatap wajah-wajah yang tak menjelaskan apa-apa, menatap kerlip lampu dan gedung-gedung yang kokoh berjuntai di pinggiran jalan. Menatap realitas yang berjejal-jejal dan tumpang tindih. Semuanya tak memberikan jawab yang punya tanda. Semuanya fana tanpa arti. Kosong yang melompong.

Aku merindukan sesuatu yang tak jelas dan tak punya bahasa, sesuatu yang hilang pada suatu ketika di masa lampau yang tak menyejarah. Dia tiba-tiba berkelabat pada simpang khayal sajak-sajakku, yang juga tak memberi makna juga petanda. Semua berada pada ambang batas yang tak punya batas.

Aku hanya tersenyum -  sebuah senyum terbaik – kepada teman kampus yang berbincang tentang masa depan, sebuah garis yang tak silap. Sebuah sorot yang sedikit janggal dan aneh, tapi aku tetap membungkusnya dengan paras tenang yang memberi sejuk. Sesejuk lapang hatiku pagi itu. Yang juga merona karena cemburu.

Aku juga sempat menikmati berjalan di atas kerikil-kerikil kampus yang tak jua reda merekam jejak jengah para mahasiswa. Terasa berat aku angkat patahan jejak itu. Namun ada makna di antara ritme yang aku ayung di antara simpang dengus angin. Sebuah jejak ritme yang mungkin tak semua manusia peduli untuk merasainya. Waktu begitu lambat untuk kita cercai dengan ribuan pongah yang tak punya arti. Toh manusia kini kering akan makna yang tenggelam akan modernitas. Makna itu tenggelam pada arus dan gelombang yang tak punya reda.

Pernah juga, suatu ketika, ayahku datang pada hamparan padang tandus yang tak jelas, dia hanya tersenyum menatapku tanpa menjelaskan rindu yang mungkin dia simpan pada sakunya. Dan mimpi itu datang beberapa waktu pada suatu ketika. Dan aku tiba-tiba sangat rindu pada tirus wajahnya yang pucat memutih. Aku rindu memeluknya dan menggenggam tangannya.

Dan rindu sekali waktu memberangus hidup pada tanah lempung realitas. Membuat manusia berhadap-hadapan pada takdir yang tak punya akrab. Tak punya akur. Selalu memberi kabar yang kabur tak jelas, namun pasti. Dan rindu itu  sekali-kali membuat manusia gila.

Untuk yang nun jauh disana, yang bersemayang pada tempat tertinggi batas-batas keberadaan, aku bersimpuh berucap do’a yang begitu jarang aku tengadahkan. Berharap diri menjadi hilang pada jelaga hidup yang semrawut tak karuan.

Mangasa, 21 Mei 2012

Menjadi Bhineka

0

Menjadi Bhineka, Mungkinkah?
 Oleh : Syahrul Al Farabi
                                                        
Aku Zainuddin, duduk di bangku sebuah sekolah menengah atas, berseragam putih abu-abu, seperti semua temanku, tanpa tahu maknanya. Katanya sih supaya seragam. Keseragaman melahirkan makna kesatuan - sebuah ikatan yang kuat. Tapi – bagiku- itu bukan makna, itu sekadar pembenaran akan sebuah ketakutan. Pelajar seperti kami mesti dicecoki ‘ideologi keseragaman’ sejak dini -  untuk menangkal bibit perpecahan satu sama lain - tapi itu sekaligus penafikan akan realitas keragaman, perbedaan kami. Aku melihatnya di sini, di bangku sekolah tempat aku haus akan ilmu pengetahuan yang juga sayup-sayup terselubung kabut.
Bisa diperkirakan, bagaimana hari-hari seorang anak SMA seperti saya menjalani hidup. Seragam putih abu-abu adalah simbolisasi dari sebuah tali ideology yang ingin mengikat ‘pasikola’ seperti kami dari sebuah indah kebhinekaan di Butta Sultan Hazanuddin yang multikultural. Potongan rambut yang klimis, dasi, topi, sepatu dan serangkai aturan yang menghadang kebebasan. Dan mereka, - yang mengacak-acak realitas – salah satu kasta rakyat yang berdasi di atas kursi-kursi merah yang empuk masih mengidap syndrome ideology kesatuan yang phobia akan keragaman. Dan hasilnya pun, kita tak pernah benar-benar menangkap makna. Kami salah satu dari sekian banyak yang bisa diberi nama korban.
Aku melihatnya dengan cukup jelas, satu-satu diantara kami mulai membeci perbedaan, meskipun tak kasat mata.
Mereka yang ketakutan, tentu saja tahu, bahwa kesatuan muncul tentu saja diatas puing-puing keragaman yang (kadang) mereka labeli dengan panggilan haram jadah. Kita ini – kalau bisa disebut - bangsa yang satu dalam kesatuan tanah air Indonesia, kita ini – katanya - bangsa beradab yang menjunjung tinggi hak warga negara satu sama lain, yang masing-masing punya tuhan dan agama, yang punya adat sipakatau antara satu sama lain, yang tentu saja ‘konsep solidaritas’ menjadi lontara’ yang mesti dijunjung. Itulah ‘hakikat’ kebhinekaan dalam konteks keragaman yang mungkin telah diterawang Empu Tantular. Lalu, alasan apalagi yang menjadi pembenaran untuk saling menghujat dan menghancurkan satu sama lain?
Kebenaran? Kebenaran yang mana Anda maksud?
Agama menjadi sebuah sentrum titik temu konflik. Dari sana, pandangan yang menganggap kebenaran itu tunggal muncul, para bapak cendikia menyebutnya ‘fanatik’. Agama lalu menjadi hakim, mengadili mereka yang berbeda. Nama tuhan dan nabi pun dikibarkan di atas panji-panji yang lebar. Penindasan pun dilakonkan dengan wajah tanpa beban. Beringas. Praktek kekerasan terjadi dimana-mana, kesemuanya meneriakkan suara untuk meneguhkan ‘aqidah’ yang telah rusak; yang telah terkotori. Apa itu aqidah yang mereka maksud? Apa itu tuhan yang mereka pahami? Jangan-jangan, itu bukan aqidah, jangan-jangan, itu bukan tuhan.
Pada akhirnya, pluralitas dan ismenya diharamkan, yang berbeda secara sembuyi-sembunyi dicaci dan dibenci dengan sederet rumusan apology dan gerakan terorisme. Tak ada lagi kedamaian dalam beragama. Semua serba mengancam tenang dan damai. Tafsir kebenaran diperseterukan. Dan ummat menjadi bingung jadinya.
Ahh..tapi bagi  Al Makin yang menulis di Republika pada  2006 silam mengatakan bahwa  saat ini sudah tidak lagi relevan menolak keragaman dan pluralitas dalam dunia yang sudah sedemikian mengglobal, apalagi justifikasi yang digunakan adalah teologis. Keragaman adalah fakta sejarah.
Tapi, betulkah tiap-tiap dari kita pernah membaca sejarah? Membaca yang saya maksud – bukan mengetahui- tapi menyelam masuk mencari jejak kebenaran.
Aku tidak tahu, disekolahku, sejarah adalah sekaligus kebohongan birokratis. Sejarah adalah tumpukan teks - teks formatif produk pemerintah yang telah dipoles dengan benang-benang aneka warna. Oleh sebab itu tampak kusut dan membosankan. Dan aku jadi benci membacanya, hingga pada suatu kita, sejarah menjadi salah satu cermin dari sebuah kebenaran dan juga kebohongan dunia. Tidakkah perang Salib dan tragedy 11 September tak menjadi fakta sejarah yang cukup sebagai titik awal kerinduan akan kedamaian? Juga mungkin fakta-fakta sejarah kelam sejarah kekerasan agama di Indonesia yang seakan tidak ada habis-habisnya? Harus berapa ribu nyawa melayang, harus berapa rumah yang mesti terbakar, dan berapa ratus anak yang mesti menjadi yatim piatu akibat dari kekerasan itu?
Dan aku teringat sebaris kata-kata Gandhi dalam salah satu Caping Mas Gun - bahwa “Tuhan tak punya agama”. Dan Gandhi yang alim juga menjadi korban dari kepercayaan yang dianutnya. Agama menjadi sebuah ancaman.
Mungkin mereka orang-orang – yang kebetulan lahir lebih dulu dari saya – akan mengatakan bahwa aku mengewang-awang dalam alam pemikiran modernitas, sebuah alam yang sedikit banyak melahirkan angan-angan utopis. Dan suara anak SMA seperti saya sedikit demi sedikit akan tenggelam terbawa angin laut. Tak diperdulikan. Tapi itu tak mengapa. Tohh itu sudah menjadi sikap dan cara berfikir kebanyakan. Aku hanya hendak menjadi salah satu diantara orang-orang  yang ingin menyerukan kerukunan dan perdamaian antar iman, antar suku dan etnis. Sebuah panggilan ruhani.
Dan jalan yang mungkin ditawarkan tentu saja adalah dengan sikap moderat (tawassut) yang bertolak belakang dengan sikap ekstremis (thatharruf). Sebuah sikap yang diwartakan oleh seorang KH A. Hasyim Muzadi pada salah satu opininya  di Koran tempo tahun 2006. Menjadi moderat itu katanya penting, seperti Siddharta yang memilih posisi tengah-tengah, berdiri di antara garis batas dua titik ekstrem yang berlawanan. Sebuah jalan antara yang tak biasa. Di sana, sebaris jembatan menuju nirvana (tuhan) terentang dengan lapang. Belakangan, kita tahu, Siddharta mencapainya dengan menjadi Buddha. Dan sejak saat itu, dialog yang sehat – sebuah kultur dan tata laku yang mesti dibiakkan sejak buaian seorang kanak-kanak- menjadi penting sebagai setangkup pelicin pada tapal perjalanan hidup yang berbatu.
Tabe’
[Takalar, 27 September 2012]

ALTRUISTIK

oleh : Syahrul Al Farabi
 
Mungkin, apa yang dikatakan Socrates pada ruang pengadilan itu  - sedikit banyak - ada  benarnya. Setelah Sang Filsuf itu mati meneguk racun – memilih mati dengan pembelaan - tak akan ada lagi manusia yang di utus Dewata sebagai ‘bidan’ yang akan membantu melahirkan pikiran-pikiran ataupun ide-ide baru, katanya. Kalaupun ada, maka itu akan susah dan juga berat. Siapakah yang dimaksud Socrates selain dirinya? Apakah murid dan teman-temannya, Plato, Crito, Critobulus, dan Apollodorus? Atau mungkin orang-orang sebangsa dan sezamannya, spesimen warga Athena kala itu?
Bagi saya, tidak. Mungkin Socrates menunjuk sekumpulan manusia yang tak punya pikir dan cenderung menimbang dengan ukuran singkat pada waktu yang datang. Mungkin juga, socrates menunjuk kita, sekarang ini, dizaman ini, yang kena sesat, yang tak punya jalan yang jelas. Pada rangkaian hidup yang mencekik dan peceklik oleh kebutuhan yang meluap. Kulit dan perut jadi sesembahan. Manusia kini panik dan cemas.

Ketika matahari menyinsing di ufuk timur sana, tak ada manusia yang terbangun dengan pikiran ‘yang lain’, manusia lain. Semua berpusat pada yang satu. Bukan Tuhan yang satu. Tapi diri yang satu. Kita berjalan dan melibas waktu disepanjang hari untuk kita, diri kita. Persetan dengan yang lain. Tukang becak dan pengemis pun toh bisa hidup dengan mengais ‘recehan’ di jalanan. Kenapa kita yang punya ‘didik’ dan berpuluh-puluh diktat di tangan tak bisa menangkap sesuap nasi atau sekendi ringgit?

Semua manusia hidup di kotak masing-masing, dunia sempit masing-masing. Kita tak saling kenal, dan tak perlu saling kenal, untuk bercakap dan saling membantu. Kita semua punya sibuk. Dan sibuk adalah keniscayaan yang menghidupi keduniaan manusia. Ketika kita berhenti. Maka kita diserempet. Terserobot. Lalu mati, terbungkus kafan selembar dan tanah sejengkal.

Ahh..itu tak sepenuhnya benar – kata seorang Nasionalis plus politikus abangan Nusantara. Buktinya, ada ribuan manusia yang bekerja untuk manusia. Ada ratusan lembaga sosial yang kecipratan bantuan sosial. Ada ratusan komunitas yang tak jelas. Ada sejuta orang yang berhidmat untuk yang banyak. Itu betul..itu betul sekali…Bung, tapi dengan sederet catatan tentu saja. Dengan sederet rumus dan akal bulus. Aku untung dan beruntung. Titik.

Mungkin kita benarkan saja (untuk saat ini). Tak ada lagi manusia yang ingin hidup demi manusia lain. Tak ada lagi yang ingin memberi cerah dan bahagia untuk manusia lain seperti Socrates – yang berputar-putar kesana kemari berdiskusi - di jalan dan di pasar. Apalagi dengan konsekwensi ‘miskin’ dan ‘terhina’.  Lebih-lebih mati seperti si Tua Socrates. Mungkin kita benarkan saja. Toh kitab suci juga berdaku demikian. Tak ada lagi nabi, tak ada lagi wali, apalagi ‘Bidan’. Kebenaran telah final kita cecap. Dan manusia hanya tinggal menjilat liur kebenaran itu. Sampai puas dan kelelahan.

Tapi bagaimana dengan Gandhi? Bagaimana dengan Sidharta, atau mungkin Marx? Bagaimana Tafsir Socrates menjelaskan mereka yang juga mati dengan tragis – yang tentu saja untuk kemanusiaan, atau kita mesti menafsirnya dengan teropong yang berbeda?

Mungkin  saja Socrates keliru. Atau kita yang tak tahu malu?

[ ( J ), 31 Mei 2012 ] 

Filsafat dan 7 Siswa SMA

oleh Syahrul Al Farabi
 
Bagi kebanyakan masyarakat di indonesia, filsafat menjadi kata yang mesti dihindari atau dijauhi. Pasalnya, filsafat bagi mereka akan mengantar pada pengrusakan pada akidah yang menjadi landasan utama keberagaman seseorang, khususnya agama islam. Sejak Al Ghazali mengkritik dan memusuhi para filosof pada abad ke 12 M, wacana pemikiran di kalangan umat islam mengalami kemunduran. Baru setelah Ibn Rusyd atau Averroes muncul disertai kritiknya terhadap Al Ghazali, ilmu pengetahuan mulai hidup kembali bahkan sampai merambah sampai ke dunia barat.

di Indonesia, khususnya di Sulawesi selatan, orang islam yang tertarik dengan wacana filsafat, khususnya filsafat islam masih sangat sedikit. Apalagi ketika anda melihat kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan dari SD sampai SMA, tidak ada yang secara spesifik mengajarkan filsafat. Image bahwa filsafat akan merusak pikiran kalangan muda yang juga merupakan disiplin ilmu atau produk dari barat yang sengaja disuguhkan bagi masyarakat islam di Indonesia membuat ilmu ini semakin dihindari dan dimusuhi. Dari metode pengajaranpun terkadang juga mengalami kesusahan dan cenderung statis, membuat filsafat menjadi wacana gerakan intelektual yang kering.
Tapi saya terkejut ketika dipanggil oleh salah satu teman untuk membawakan materi pengantar filsafat islam pada sebuah komunitas kecil. Dan saya lebih terkejut lagi, ketika para partisipan dari sekolah filsafat itu adalah anak-anak belia yang masih duduk dikelas 2 SMA sebuah sekolah negeri di Takalar, Sulawesi Selatan. Meskipun hanya berjumlah 7 orang, tetapi mereka sangat antusias dan bersemangat sekali untuk belajar filsafat yang bagi banyak orang islam justru mesti dihindari. Mereka anak-anak ini setiap dua kali dalam seminggu berkumpul di sebuah taman kecil setelah jam sekolah usai.
Kehadiran komunitas atau sekolah filsafat ini oleh tujuh orang siswa SMA sempat memunculkan ketidaksenangan terhadap beberapa komunitas kajian keislaman atau ‘Liqo’ salah satu partai politik yang sudah lama menjadi trend budaya di sekolah tersebut. Siswa-siswa yang disuguhi ideology politik dengan dibungkus paham keagamaan yang konservatif itu merasa terancam eksistensinya dengan kehadiran sekolah filsafat ini. Pasalnya, beberapa kader dari forum kajian tersebut yang kebetulan juga menjadi partisipan komunitas filsafat tersebut menjadi siswa yang kritis dan selalu mengumandangkan tanya terhadap ajaran agama yang doktrinal dan sangat kaku dalam menyikapi realitas sosial di sekelilingnya. Bagi mereka, kebebasan berpikir dan berpendapat menjadi hal mutlak yang dimiliki setiap orang. Dan pada akhirnya, mereka kemudian dianggap menyimpan dari aqidah islam.
Sebenarnya, filsafat sebagai sebuah disiplin pengetahuan sebenarnya sangat penting diperkenalkan sejak dini. Kebebasan berpikir dan sikap rasionalitas akan mengantar seseorang menjadi pribadi yang kritis dan mencintai ilmu pengetahuan. Filsafat juga akan membantu seseorang untuk menganalisis dan mendeteksi berbagai paham ideology, khususnya yang mengatasnamakan diri sebagai ideology islam, yang justru akhir-akhir ini sering melakukan ketidakadilan sosial dan melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pengkafiran dan sikap anarkis terhadap aliran atau agama lain adalah contoh ideology yang mesti dibongkar dan dianalisis ulang oleh filsafat.
Filsafat juga menjadi sarana atau media yang penting bagi agama-agama yang ada di Indonesia. Filsafat mesti menjadi jembatan dialog yang sehat dan rasional, serta mengutamakan kerjasama antar umat beragama untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat adil dan makmur serta damai dan sejahtera. Untuk itulah wacana filsafat mesti sudah diajarkan sejak dini di sekolah-sekolah formal maupun nonformal. Ini sekaligus akan menjadi modal awal ketika seorang telah masuk ke sebuah perguruan tinggi atau universitas yang plural akan keragaman realitas pemikiran.
Kabar terakhir yang saya dapatkan dari teman saya, bahwa anak-anak SMA yang sudah dua bulan mengikuti sekolah filsafat tersebut akan mengadakan pertemuan dan diskusi antar berbagai macam aliran pemikiran awal dalam islam. Mereka akan mengundang orang-orang yang punya kecenderungan aliran pemikiran seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah maupun Asy’ariah. Dan selain itu, mereka juga berencana akan melakukan diskusi lintas iman atau agama. Berharap dari kegiatan ini akan lebih menumbuhkan sikap saling memahami dan menghargai antar pemeluk agama lain.
Usaha dari anak-anak SMA ini untuk belajar filsafat dan mengetahui lebih dalam lagi tentang khasanah pemikiran agama mereka (islam) patut kita apresiasi. Pendampingan dan support mesti selalu kita berikan. Dan semoga saja komunitas-komunitas keilmuan seperti itu akan tumbuh dan berkembang diberbagai daerah di Indonesia. Amin.

Nuun.

mentari malam

oleh Syahrul Ibn Arabi
Tak ada kata yang keluar tanpa sepotong rindu yang menengarainya
seperti malam ini, rindu datang, lalu kata menyeruak
sebaris lirikku sayup - sayup kuresapi dari bilik kamar sebelah
sesaat itu pula aku teringat lipat wajahmu
imaji kemudian tumpah, pada tetua langit dia kemudian meminta
agar diberi sejumput kata yang membawa buhul - buhul rasa yang sedikit indah
malam yang jumawa telah membawanya meninggi hingga ke puncak Himalaya
maka tak aka nada yang tersisa,
wajah itu,
hilang…

sudikah kiranya Batara berbelas kasih, mengirim gundik – gundiknya
atau mungkin sebaris wahyu yang sakti mandraguna
agar ku tak mati layu dan mongering diantara pilin waktu yang berdetak
sesajen akan kugelar, agar harapku sesegera kau dekap
tak ku hirau jika malam mengutukku menjadi biji – biji pualam merah
atau bunga bangkai lapuk
demi wajahnya, aku rela

Asap – asap pembakaran ini, biarkan saja merekah
Dalam kisaran jarak terdekat, akan menjadi tanda bahwa aku ada

Kamu mungkin saja tahu, bahwa rindu tak akan berhenti berhela
Meminggit ketersingkapan wujud yang menjadi perisai kabut
Disamping tanah yang lain, ada raksa yang membatin memilin sajak
Itu bukanlah petuah yang suram, tapi jejak perhentian yang dinanti
Seperti malam kemarin
Kamu tetap akan menjadi titik henti hingga malam usai,
dan kata pun habis.

Malam masih tak beranjak, kamu masih tak sadar akan hadirku dikala senja tadi
Hingga saat – saat terbaikku pun kamu jengah
Tak bergidik, apalagi bersua menyapa
Yang ada hanya tirus  pada tiang – tiang dingin yang sumir
Kita lapuk di bawah sudut kakinya.

Tangan tuhan sudah tak nampak, dia mungkin sedang lelap
Hanya kaki – kakinya yang mungil menjuntai lepas.
Kita mungkin  mesri selalu siap akan hal-hal yang tak sampai
Agar ketika kita jatuh, maka masih tersisa kaki tuhan untuk kita rengkuh…

Ohh..kamu laki-laki yang muncul diantara kabut
kamu mulai menggumang lagi
meracau akan hal yang tak pasti
untuk malam yang akan segera pergi

baiknya, kamu tidur saja diantara rak - rak buku
yang berseloroh dihadapmu...

[ Mangasa, 02 November 2012 ]

Jilbab dan Kisah yang Lalu


oleh : Syahrul Ibn Arabi


Aku rindu kabar Nidah, perempuan yang mananggalkan Jilbab besar dan kesuciannya pada aras yang rapuh, pada lelaki yang menipu,  di balik retorika idealisme dan Jidat hitam karena sujud. Nidah, yang menurut aku, labil dalam cercah pencerahan yang intelek, mesti menanggung tanggung jawab yang tidak ringan. Menjadi Pelacur dan Putri Api di Kota Pelajar, Nabi Kejahatan romantic bagi agamanya, bagi Tuhan yang meninggalkannya.

Aku rindu pikiran-pikirannya yang ‘lugas’ menggugat. Yang tajam menyudut Dogma otoritatif, bersikukuh dengan pahammnya yang dramatis argumentative dan juga parasnya yang interested. Laki –laki manapun mesti jatuh dan menanggalkan segala-gala pikiran dan pakaiannya – telanjang - di depan Nidah, bahkan Tuhannya.

Aku tak tahu lagi kabar Nidah, Muhidin juga ikut-ikut menghilang dengan ide-ide tulisannya yang controversial. “Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur” adalah memoar  terakhir yang aku sempat baca. Kisah perempuan Sholeha yang berjilbab besar itu kini tak banyak lagi menjadi bahan gunjingan dan hujatan.  Dia mungkin juga sibuk menghutbakan ajaran-ajarannya, sabda-sabdanya.

Lalu, bagaimana dengan perempuan kini? Adakah mereka menelusur jejak-jejak semangat intelektual  dari Nidah? Setahu aku, tidak. Yang ada ( sekarang ) adalah perempuan-perempuan malang yang digunjing karena tak sholat, keluar rumah tanpa muhrim, atau ‘pacaran’ dan bunting di luar nikah. Tak ada yang seperti Nidah, yang berani secara lantang  menantang Tuhan yang menyejarah, Tuhan yang berdiam di mesjid dan terbungkus sorban sutra. Tuhan-tuhan kecil yang menyerukan Poligami juga Mut’ah, dengan segudang Mahar  yang  silau.

Ataukah mereka tak punya model? Kalaupun ada, maka sejarah tak akan memberinya ruang baca yang jelas.
Tentu saja Nidah adalah kisah yang lalu. Dan manusia tak hidup di masa lalu. Elena Cornaro Piscopia memilih jalan lain, sebuah jalan yangjuga  tak mudah. Tak seperi Nidah, perempuan ini menjadi yang pertama diantara kaumnya yang mendapatkan gelar doctor di bidang filsafat di Universitas Padua, Vinecia. Tentu saja itu menghebohkan dan menggemparkan rakyat kota Vinecia kala itu. Mungkin juga ‘tidak’ bagi kita sekarang. Aku tak tahu pasti.

Perempuan berfilsafat? Untuk sekarang, mungkin tak layak. Bagi mereka, daripada berpusing-pusing dengan alur logika yang berderet-deret itu, perempuan sebaiknya ‘diam’ menunggu laki-laki baik dan kaya raya datang melamar, lalu hidup akan dimulai dengan membincang previlese yang punya ‘merk’ , yang megah dan penting juga untuk secara runut mendiskusikan seberapa banyak anak. Bukan Agama, bukan filsafat, ataupun spiritualitas yang punya makam. Kesemuanya mungkin tak penting lagi.

Dan sekali lagi, aku rindu Nidah dan pikiran-pikirannya yang punya sejumput argumentasi menerobos tabu. Adakah dia sedang berdiri dengan Jilbab besarnya pada sebuah ruang kuliah dimana mahasiswa-mahasiswa dengan lugu dan lucu ingin mendengarkan? atau mungkin juga  pada sebuah hotel dan pinggiran Sarkem*  yang penuh geliat oleh birahi manusia-manusia yang telah antri sejak magrib?

Sekali lagi, aku tak tahu pasti.


[ ...., 01 / 06 / 12 ]


Essay Pergi
oleh : Syahrul Ibn Arabi

Ini Bukanlah Essay yang ingin menuturkan pengalaman abstrak tanpa basis teoritik yang mapan atau kegilaan mendefinisikan kata ‘pergi’ seperti ketertarikan Heiddeger pada kata ‘ada’ yang kemudian menjadi karya fenomenal dengan judul Sein und Zeit . Ini hanyalah sekadar tuturan yang begitu saja hadir pada sebuah ruang sunyi, ketika aku sedang ingin berangkat menuju Tanah I Laga ligo, tanah seorang Bathara Guru. Dan tuturan ini hanya akan sedikit banyak akan menjadi tuturan klasik pertemuan dengan yang Lain.

Di Terminal itu sepi duduk di sampingku., dia berceloteh,,,

Manusia kadang tidak terlalu membuat rumit sebuah kepergian. Kata ‘pergi’ bukanlah kata yang berisi makna literal yang mesti menjadi bahan perenungan epos perjalanan. Seseorang yang pergi meninggalkan segala ruang dan kebiasaan asalnya adalah hal biasa. Serangkaian aktivitas formatif yang menghiasi keseharian kita. Maka perjalanan pun tak punya itikad untuk kita maknai. Betulkah demikian? Sebagian mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi aku hendak menjadi ‘sebagian yang berkata tidak’.Nah…!!! Perjalanan mungkin sebaiknya menjadi serangkaian refleksi bathiniah. Bukan untuk apa-apa, tapi sebuah kegelisahan kadang saja menjalar  tak jelas. Tiba-tiba saja datang. Itulah yang senantiasa menjadi tanda Tanya dalam sunyi.

Seorang laki-laki sepertiku akan pergi pada sebuah kampung yang nun jauh disana. Kampung I Laga Ligo kata orang. Sedikitpun, aku tak punya imajinasi akan tempat itu. Hanya meraba-raba sekilas dalam cengkram ketidaktahuan atau kelupaan. Meskipun hanya beberapa hari, tapi kegelisahan menjadi tak biasa. Ada ruang yang menjadikannya diam tak punya bahasa, mungkin saja ruang permenungan. aku akan pergi meninggalkan hiruk pikuk keramaian Makassar, sebuah kota glamor metropolis yang makin semrawut dengan gedung-gedung bertingkatnya. Menara - menara yang menjulang sebagai perlambang akan ‘kemewahan yang tak lagi mampu diraih oleh mereka yang lemah’. Himpitan kendaraan yang berlalu lalang dan suara manusia-manusia yang sibuk juga menjadi birahi tersendiri. Jerit mereka yang lapar tak kedengaran, anak-anak kumal yang mengais makanan di bag-bag sampah tak menjadi soal, hampir tak ada rasa kemanusiaan yang berarti.  Dan aku hendak meninggalkannya sejenak. Tapi bukan itu yang menjadi ‘gelisah aku’ yang kabur. Adakah sebuah rentang rindu mendesak masuk? Atau beberapa tapal sejarah sedang menunggu untuk dibaca?
Dan entah, sunyi apa yang menghampirinya. Sebuah sunyi yang tak biasa. Mungkin juga pekat. Tapi tentu saja bukan pekat yang mematikan imajinasi puitis untuk sekedar bergumam tentang malam. Dan dia masih betah saja duduk, sambil menyeruput kopi, secangkir kopi terakhir di baruga rumahnya. Kebiasaan menanam tanda itu penting pada setiap mozaik hidup, agar ketika kita sedikit saja keluar dari mitos kultur, tanda yang telah kita buat itu dapat kita baca sebagai sebuah ‘kabar yang lain’.

Orang lain, di luar dirinya, pergi saja tanpa berkata apa – apa, semua biasa- biasa saja. Hidup seperti mengalir saja seperti air di sungai, tanpa jedah, tanpa  rintang yang berarti. Hanya sesekali saja singgah di parit-parit kecil, dan itupun tak berarti. Selayak itukah hidup?

Pertanyaan mesti tetap diselipkan pada setiap perjalanan ‘pergi’ yang membentang ruang jarak yang tak terpermanai. Begitupun di Terminal ini, tempat orang – orang pulang dan pergi dengan membawa sekeranjang cerita yang tak pernah sampai untuk sekedar kita baca dan maknai. []

Dan I Laga Ligo? Bagaimana dengan sosok itu?
Kita sudahi dulu,…
[ Terminal Daya , 2012 ]

Mudik dan Beberapa Kisah
oleh : Syahrul Al farabi

Beberapa kepingan realitas tersimpul dua hari kemarin. Menjelang 1433 H, hari itu menyuguhkan potongan-potongan kisah yang unik.
Kamu, mungkin juga mereka tahu, bahwa dalam seberapa waktu itu, manusia pada sibuk ‘pulang’. Mudik menjadi budaya pada setiap hari raya. Diantara budaya itu beberapa helai kisah tergelar. Bukan kisah yang rajut sebenarnya, tapi kesemuanya punya persambungan. Dan itu tergantung bagaimana anda melihatnya.
Seorang bayi mendadak tak hendak lahir dari rahim ibunya, dia tak lazim. Kepalanya berada pada posisi di atas. Dan dokter tak punya pilihan, jalan operasi sesar mesti digelar. Sang perut Ibu mesti dibelah. Dan bayi – yang mungkin tak dikehendki kelahirannya oleh sang ibu yang sudah menua – itupun menangis menyapa dunia yang timpang ini. Dunia yang keras dengan suguhan karakter manusia-manusianya yang punya haus tak berkesudahan.

Pada sudut lain, beberapa oknum petugas kepolisian menggelar razia diberbagai tempat. Sebuah panggilan tugas yang wajib katanya. Dan beberapa pengendara sepeda motor pun di tahan. Tak dibiarkan berlalu. Kecuali, dengan beberaa lembar ‘pelicin’ .  Anak dan istriku menunggu di rumah. Aku harus mudik. Dan tidak mungkin tanpa sepeda motor, tutur bapak si pengendara yang tak memiliki SIM. Anak dan istriku juga sedang menunggu di rumah, tiga pasang baju telah aku janjikan. Dan kau pasti paham akan hal itu, bentak si petugas polisi. Adu mulut pun terjadi. Dan pada moment itu, kita tak tahu mesti memihak yang mana. Apa kalian tahu? Kita semua punya sibuk.

Seluruh kampus juga tampak sepi. Tak ada perkuliahan. Pemandanagan yang cukup wajar. Lorong –lorong kos menjadi lengang. Mahasiswa pada pulang. Kembali ke kampung hendak lebaran. Dan yang kita dapatkan hanyalah sebuah kota singgah. Makassar, di dalamnya hanya ramai oleh bangunan – bangunan tanpa jiwa. Kota itu tak lagi begitu menarik. Kecuali dengan kerusuhan dan kapitalisasi dimana-mana.

Malam lamat – lamat mengatup. Dan seorang mahasiswa sedang bersibuk untuk mengikut pulang seperti kawan - kawannya, setelah sebelumnya merasai takbir di sebuah masjid. Takbir yang agak berbeda katanya. Di masjid itu, dia merasakan rindu pada suatu bumi dimana dia tinggal. Sebuah rindu yang agak sumir sebenarnya.  Lalu, diapun mempercepat langkahnya, mengambil sepeda motor, lalu berangkat menuju kampung halaman. Bumi tempat dia dilahirkan.
Tapi ,mudik tak mesti selalu adalah persoalan pulang. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mudik mungkin juga bisa berarti menetapkan jiwa pada suatu tanah yang lain. Tanah dimana jiwa kita bersemayam dengan kosmik yang tak terduga. Tak pernah terpikirkan. Disana, kita tumbuh seperti pepohonan, seperti ranting – ranting kayu yang memberi teduh pada jiwa – jiwa yang hendak singgah. Klise.

Di jalanan, sekumpulan anak kecil sedang asik mendengarkan music dandut sambil bergoyang dengan ekstasi yang puncak. Sekilas, mata mereka terpejam. Tapi dengan senyum mengembang bahagia yang tak terkatai sambil menggoyangkan seluruh tubuh mengikuti irama musik. Dan suara music dandut itu tetap mengalun, dan mereka masih tetap bergoyang diantara orang- orang yang sedang riuh di jalan - jalan.

[ Kamis, 25 Oct 2012 ; Perjalanan Pulang, Singgah di warung kopi dan memandang malam – malam takbir 1433 H ]