Jumat, 16 November 2012


Essay Pergi
oleh : Syahrul Ibn Arabi

Ini Bukanlah Essay yang ingin menuturkan pengalaman abstrak tanpa basis teoritik yang mapan atau kegilaan mendefinisikan kata ‘pergi’ seperti ketertarikan Heiddeger pada kata ‘ada’ yang kemudian menjadi karya fenomenal dengan judul Sein und Zeit . Ini hanyalah sekadar tuturan yang begitu saja hadir pada sebuah ruang sunyi, ketika aku sedang ingin berangkat menuju Tanah I Laga ligo, tanah seorang Bathara Guru. Dan tuturan ini hanya akan sedikit banyak akan menjadi tuturan klasik pertemuan dengan yang Lain.

Di Terminal itu sepi duduk di sampingku., dia berceloteh,,,

Manusia kadang tidak terlalu membuat rumit sebuah kepergian. Kata ‘pergi’ bukanlah kata yang berisi makna literal yang mesti menjadi bahan perenungan epos perjalanan. Seseorang yang pergi meninggalkan segala ruang dan kebiasaan asalnya adalah hal biasa. Serangkaian aktivitas formatif yang menghiasi keseharian kita. Maka perjalanan pun tak punya itikad untuk kita maknai. Betulkah demikian? Sebagian mungkin iya, mungkin juga tidak. Tapi aku hendak menjadi ‘sebagian yang berkata tidak’.Nah…!!! Perjalanan mungkin sebaiknya menjadi serangkaian refleksi bathiniah. Bukan untuk apa-apa, tapi sebuah kegelisahan kadang saja menjalar  tak jelas. Tiba-tiba saja datang. Itulah yang senantiasa menjadi tanda Tanya dalam sunyi.

Seorang laki-laki sepertiku akan pergi pada sebuah kampung yang nun jauh disana. Kampung I Laga Ligo kata orang. Sedikitpun, aku tak punya imajinasi akan tempat itu. Hanya meraba-raba sekilas dalam cengkram ketidaktahuan atau kelupaan. Meskipun hanya beberapa hari, tapi kegelisahan menjadi tak biasa. Ada ruang yang menjadikannya diam tak punya bahasa, mungkin saja ruang permenungan. aku akan pergi meninggalkan hiruk pikuk keramaian Makassar, sebuah kota glamor metropolis yang makin semrawut dengan gedung-gedung bertingkatnya. Menara - menara yang menjulang sebagai perlambang akan ‘kemewahan yang tak lagi mampu diraih oleh mereka yang lemah’. Himpitan kendaraan yang berlalu lalang dan suara manusia-manusia yang sibuk juga menjadi birahi tersendiri. Jerit mereka yang lapar tak kedengaran, anak-anak kumal yang mengais makanan di bag-bag sampah tak menjadi soal, hampir tak ada rasa kemanusiaan yang berarti.  Dan aku hendak meninggalkannya sejenak. Tapi bukan itu yang menjadi ‘gelisah aku’ yang kabur. Adakah sebuah rentang rindu mendesak masuk? Atau beberapa tapal sejarah sedang menunggu untuk dibaca?
Dan entah, sunyi apa yang menghampirinya. Sebuah sunyi yang tak biasa. Mungkin juga pekat. Tapi tentu saja bukan pekat yang mematikan imajinasi puitis untuk sekedar bergumam tentang malam. Dan dia masih betah saja duduk, sambil menyeruput kopi, secangkir kopi terakhir di baruga rumahnya. Kebiasaan menanam tanda itu penting pada setiap mozaik hidup, agar ketika kita sedikit saja keluar dari mitos kultur, tanda yang telah kita buat itu dapat kita baca sebagai sebuah ‘kabar yang lain’.

Orang lain, di luar dirinya, pergi saja tanpa berkata apa – apa, semua biasa- biasa saja. Hidup seperti mengalir saja seperti air di sungai, tanpa jedah, tanpa  rintang yang berarti. Hanya sesekali saja singgah di parit-parit kecil, dan itupun tak berarti. Selayak itukah hidup?

Pertanyaan mesti tetap diselipkan pada setiap perjalanan ‘pergi’ yang membentang ruang jarak yang tak terpermanai. Begitupun di Terminal ini, tempat orang – orang pulang dan pergi dengan membawa sekeranjang cerita yang tak pernah sampai untuk sekedar kita baca dan maknai. []

Dan I Laga Ligo? Bagaimana dengan sosok itu?
Kita sudahi dulu,…
[ Terminal Daya , 2012 ]

No Response to " "

Posting Komentar