Mudik dan Beberapa Kisah
oleh : Syahrul Al farabi
Beberapa kepingan realitas tersimpul dua hari kemarin. Menjelang 1433 H, hari itu menyuguhkan potongan-potongan kisah yang unik.
Kamu, mungkin juga mereka tahu, bahwa dalam seberapa waktu itu, manusia pada sibuk ‘pulang’. Mudik menjadi budaya pada setiap hari raya. Diantara budaya itu beberapa helai kisah tergelar. Bukan kisah yang rajut sebenarnya, tapi kesemuanya punya persambungan. Dan itu tergantung bagaimana anda melihatnya.
Seorang bayi mendadak tak hendak lahir dari rahim ibunya, dia tak lazim. Kepalanya berada pada posisi di atas. Dan dokter tak punya pilihan, jalan operasi sesar mesti digelar. Sang perut Ibu mesti dibelah. Dan bayi – yang mungkin tak dikehendki kelahirannya oleh sang ibu yang sudah menua – itupun menangis menyapa dunia yang timpang ini. Dunia yang keras dengan suguhan karakter manusia-manusianya yang punya haus tak berkesudahan.
Pada sudut lain, beberapa oknum petugas kepolisian menggelar razia diberbagai tempat. Sebuah panggilan tugas yang wajib katanya. Dan beberapa pengendara sepeda motor pun di tahan. Tak dibiarkan berlalu. Kecuali, dengan beberaa lembar ‘pelicin’ . Anak dan istriku menunggu di rumah. Aku harus mudik. Dan tidak mungkin tanpa sepeda motor, tutur bapak si pengendara yang tak memiliki SIM. Anak dan istriku juga sedang menunggu di rumah, tiga pasang baju telah aku janjikan. Dan kau pasti paham akan hal itu, bentak si petugas polisi. Adu mulut pun terjadi. Dan pada moment itu, kita tak tahu mesti memihak yang mana. Apa kalian tahu? Kita semua punya sibuk.
Seluruh kampus juga tampak sepi. Tak ada perkuliahan. Pemandanagan yang cukup wajar. Lorong –lorong kos menjadi lengang. Mahasiswa pada pulang. Kembali ke kampung hendak lebaran. Dan yang kita dapatkan hanyalah sebuah kota singgah. Makassar, di dalamnya hanya ramai oleh bangunan – bangunan tanpa jiwa. Kota itu tak lagi begitu menarik. Kecuali dengan kerusuhan dan kapitalisasi dimana-mana.
Malam lamat – lamat mengatup. Dan seorang mahasiswa sedang bersibuk untuk mengikut pulang seperti kawan - kawannya, setelah sebelumnya merasai takbir di sebuah masjid. Takbir yang agak berbeda katanya. Di masjid itu, dia merasakan rindu pada suatu bumi dimana dia tinggal. Sebuah rindu yang agak sumir sebenarnya. Lalu, diapun mempercepat langkahnya, mengambil sepeda motor, lalu berangkat menuju kampung halaman. Bumi tempat dia dilahirkan.
Tapi ,mudik tak mesti selalu adalah persoalan pulang. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mudik mungkin juga bisa berarti menetapkan jiwa pada suatu tanah yang lain. Tanah dimana jiwa kita bersemayam dengan kosmik yang tak terduga. Tak pernah terpikirkan. Disana, kita tumbuh seperti pepohonan, seperti ranting – ranting kayu yang memberi teduh pada jiwa – jiwa yang hendak singgah. Klise.
Di jalanan, sekumpulan anak kecil sedang asik mendengarkan music dandut sambil bergoyang dengan ekstasi yang puncak. Sekilas, mata mereka terpejam. Tapi dengan senyum mengembang bahagia yang tak terkatai sambil menggoyangkan seluruh tubuh mengikuti irama musik. Dan suara music dandut itu tetap mengalun, dan mereka masih tetap bergoyang diantara orang- orang yang sedang riuh di jalan - jalan.
[ Kamis, 25 Oct 2012 ; Perjalanan Pulang, Singgah di warung kopi dan memandang malam – malam takbir 1433 H ]
oleh : Syahrul Al farabi
Beberapa kepingan realitas tersimpul dua hari kemarin. Menjelang 1433 H, hari itu menyuguhkan potongan-potongan kisah yang unik.
Kamu, mungkin juga mereka tahu, bahwa dalam seberapa waktu itu, manusia pada sibuk ‘pulang’. Mudik menjadi budaya pada setiap hari raya. Diantara budaya itu beberapa helai kisah tergelar. Bukan kisah yang rajut sebenarnya, tapi kesemuanya punya persambungan. Dan itu tergantung bagaimana anda melihatnya.
Seorang bayi mendadak tak hendak lahir dari rahim ibunya, dia tak lazim. Kepalanya berada pada posisi di atas. Dan dokter tak punya pilihan, jalan operasi sesar mesti digelar. Sang perut Ibu mesti dibelah. Dan bayi – yang mungkin tak dikehendki kelahirannya oleh sang ibu yang sudah menua – itupun menangis menyapa dunia yang timpang ini. Dunia yang keras dengan suguhan karakter manusia-manusianya yang punya haus tak berkesudahan.
Pada sudut lain, beberapa oknum petugas kepolisian menggelar razia diberbagai tempat. Sebuah panggilan tugas yang wajib katanya. Dan beberapa pengendara sepeda motor pun di tahan. Tak dibiarkan berlalu. Kecuali, dengan beberaa lembar ‘pelicin’ . Anak dan istriku menunggu di rumah. Aku harus mudik. Dan tidak mungkin tanpa sepeda motor, tutur bapak si pengendara yang tak memiliki SIM. Anak dan istriku juga sedang menunggu di rumah, tiga pasang baju telah aku janjikan. Dan kau pasti paham akan hal itu, bentak si petugas polisi. Adu mulut pun terjadi. Dan pada moment itu, kita tak tahu mesti memihak yang mana. Apa kalian tahu? Kita semua punya sibuk.
Seluruh kampus juga tampak sepi. Tak ada perkuliahan. Pemandanagan yang cukup wajar. Lorong –lorong kos menjadi lengang. Mahasiswa pada pulang. Kembali ke kampung hendak lebaran. Dan yang kita dapatkan hanyalah sebuah kota singgah. Makassar, di dalamnya hanya ramai oleh bangunan – bangunan tanpa jiwa. Kota itu tak lagi begitu menarik. Kecuali dengan kerusuhan dan kapitalisasi dimana-mana.
Malam lamat – lamat mengatup. Dan seorang mahasiswa sedang bersibuk untuk mengikut pulang seperti kawan - kawannya, setelah sebelumnya merasai takbir di sebuah masjid. Takbir yang agak berbeda katanya. Di masjid itu, dia merasakan rindu pada suatu bumi dimana dia tinggal. Sebuah rindu yang agak sumir sebenarnya. Lalu, diapun mempercepat langkahnya, mengambil sepeda motor, lalu berangkat menuju kampung halaman. Bumi tempat dia dilahirkan.
Tapi ,mudik tak mesti selalu adalah persoalan pulang. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mudik mungkin juga bisa berarti menetapkan jiwa pada suatu tanah yang lain. Tanah dimana jiwa kita bersemayam dengan kosmik yang tak terduga. Tak pernah terpikirkan. Disana, kita tumbuh seperti pepohonan, seperti ranting – ranting kayu yang memberi teduh pada jiwa – jiwa yang hendak singgah. Klise.
Di jalanan, sekumpulan anak kecil sedang asik mendengarkan music dandut sambil bergoyang dengan ekstasi yang puncak. Sekilas, mata mereka terpejam. Tapi dengan senyum mengembang bahagia yang tak terkatai sambil menggoyangkan seluruh tubuh mengikuti irama musik. Dan suara music dandut itu tetap mengalun, dan mereka masih tetap bergoyang diantara orang- orang yang sedang riuh di jalan - jalan.
[ Kamis, 25 Oct 2012 ; Perjalanan Pulang, Singgah di warung kopi dan memandang malam – malam takbir 1433 H ]
No Response to " "
Posting Komentar