ALTRUISTIK
Mungkin,
apa yang dikatakan Socrates pada ruang pengadilan itu - sedikit banyak
- ada benarnya. Setelah Sang Filsuf itu mati meneguk racun – memilih
mati dengan pembelaan - tak akan ada lagi manusia yang di utus Dewata
sebagai ‘bidan’ yang akan membantu melahirkan pikiran-pikiran ataupun
ide-ide baru, katanya. Kalaupun ada, maka itu akan susah dan juga berat.
Siapakah yang dimaksud Socrates selain dirinya? Apakah murid dan
teman-temannya, Plato, Crito, Critobulus, dan Apollodorus? Atau mungkin
orang-orang sebangsa dan sezamannya, spesimen warga Athena kala itu?
Bagi saya, tidak. Mungkin Socrates menunjuk sekumpulan manusia yang tak punya pikir dan cenderung menimbang dengan ukuran singkat pada waktu yang datang. Mungkin juga, socrates menunjuk kita, sekarang ini, dizaman ini, yang kena sesat, yang tak punya jalan yang jelas. Pada rangkaian hidup yang mencekik dan peceklik oleh kebutuhan yang meluap. Kulit dan perut jadi sesembahan. Manusia kini panik dan cemas.
Ketika matahari menyinsing di ufuk timur sana, tak ada manusia yang terbangun dengan pikiran ‘yang lain’, manusia lain. Semua berpusat pada yang satu. Bukan Tuhan yang satu. Tapi diri yang satu. Kita berjalan dan melibas waktu disepanjang hari untuk kita, diri kita. Persetan dengan yang lain. Tukang becak dan pengemis pun toh bisa hidup dengan mengais ‘recehan’ di jalanan. Kenapa kita yang punya ‘didik’ dan berpuluh-puluh diktat di tangan tak bisa menangkap sesuap nasi atau sekendi ringgit?
Semua manusia hidup di kotak masing-masing, dunia sempit masing-masing. Kita tak saling kenal, dan tak perlu saling kenal, untuk bercakap dan saling membantu. Kita semua punya sibuk. Dan sibuk adalah keniscayaan yang menghidupi keduniaan manusia. Ketika kita berhenti. Maka kita diserempet. Terserobot. Lalu mati, terbungkus kafan selembar dan tanah sejengkal.
Ahh..itu tak sepenuhnya benar – kata seorang Nasionalis plus politikus abangan Nusantara. Buktinya, ada ribuan manusia yang bekerja untuk manusia. Ada ratusan lembaga sosial yang kecipratan bantuan sosial. Ada ratusan komunitas yang tak jelas. Ada sejuta orang yang berhidmat untuk yang banyak. Itu betul..itu betul sekali…Bung, tapi dengan sederet catatan tentu saja. Dengan sederet rumus dan akal bulus. Aku untung dan beruntung. Titik.
Mungkin kita benarkan saja (untuk saat ini). Tak ada lagi manusia yang ingin hidup demi manusia lain. Tak ada lagi yang ingin memberi cerah dan bahagia untuk manusia lain seperti Socrates – yang berputar-putar kesana kemari berdiskusi - di jalan dan di pasar. Apalagi dengan konsekwensi ‘miskin’ dan ‘terhina’. Lebih-lebih mati seperti si Tua Socrates. Mungkin kita benarkan saja. Toh kitab suci juga berdaku demikian. Tak ada lagi nabi, tak ada lagi wali, apalagi ‘Bidan’. Kebenaran telah final kita cecap. Dan manusia hanya tinggal menjilat liur kebenaran itu. Sampai puas dan kelelahan.
Tapi bagaimana dengan Gandhi? Bagaimana dengan Sidharta, atau mungkin Marx? Bagaimana Tafsir Socrates menjelaskan mereka yang juga mati dengan tragis – yang tentu saja untuk kemanusiaan, atau kita mesti menafsirnya dengan teropong yang berbeda?
Mungkin saja Socrates keliru. Atau kita yang tak tahu malu?
[ ( J ), 31 Mei 2012 ]
Bagi saya, tidak. Mungkin Socrates menunjuk sekumpulan manusia yang tak punya pikir dan cenderung menimbang dengan ukuran singkat pada waktu yang datang. Mungkin juga, socrates menunjuk kita, sekarang ini, dizaman ini, yang kena sesat, yang tak punya jalan yang jelas. Pada rangkaian hidup yang mencekik dan peceklik oleh kebutuhan yang meluap. Kulit dan perut jadi sesembahan. Manusia kini panik dan cemas.
Ketika matahari menyinsing di ufuk timur sana, tak ada manusia yang terbangun dengan pikiran ‘yang lain’, manusia lain. Semua berpusat pada yang satu. Bukan Tuhan yang satu. Tapi diri yang satu. Kita berjalan dan melibas waktu disepanjang hari untuk kita, diri kita. Persetan dengan yang lain. Tukang becak dan pengemis pun toh bisa hidup dengan mengais ‘recehan’ di jalanan. Kenapa kita yang punya ‘didik’ dan berpuluh-puluh diktat di tangan tak bisa menangkap sesuap nasi atau sekendi ringgit?
Semua manusia hidup di kotak masing-masing, dunia sempit masing-masing. Kita tak saling kenal, dan tak perlu saling kenal, untuk bercakap dan saling membantu. Kita semua punya sibuk. Dan sibuk adalah keniscayaan yang menghidupi keduniaan manusia. Ketika kita berhenti. Maka kita diserempet. Terserobot. Lalu mati, terbungkus kafan selembar dan tanah sejengkal.
Ahh..itu tak sepenuhnya benar – kata seorang Nasionalis plus politikus abangan Nusantara. Buktinya, ada ribuan manusia yang bekerja untuk manusia. Ada ratusan lembaga sosial yang kecipratan bantuan sosial. Ada ratusan komunitas yang tak jelas. Ada sejuta orang yang berhidmat untuk yang banyak. Itu betul..itu betul sekali…Bung, tapi dengan sederet catatan tentu saja. Dengan sederet rumus dan akal bulus. Aku untung dan beruntung. Titik.
Mungkin kita benarkan saja (untuk saat ini). Tak ada lagi manusia yang ingin hidup demi manusia lain. Tak ada lagi yang ingin memberi cerah dan bahagia untuk manusia lain seperti Socrates – yang berputar-putar kesana kemari berdiskusi - di jalan dan di pasar. Apalagi dengan konsekwensi ‘miskin’ dan ‘terhina’. Lebih-lebih mati seperti si Tua Socrates. Mungkin kita benarkan saja. Toh kitab suci juga berdaku demikian. Tak ada lagi nabi, tak ada lagi wali, apalagi ‘Bidan’. Kebenaran telah final kita cecap. Dan manusia hanya tinggal menjilat liur kebenaran itu. Sampai puas dan kelelahan.
Tapi bagaimana dengan Gandhi? Bagaimana dengan Sidharta, atau mungkin Marx? Bagaimana Tafsir Socrates menjelaskan mereka yang juga mati dengan tragis – yang tentu saja untuk kemanusiaan, atau kita mesti menafsirnya dengan teropong yang berbeda?
Mungkin saja Socrates keliru. Atau kita yang tak tahu malu?
[ ( J ), 31 Mei 2012 ]
No Response to " "
Posting Komentar